Rusia Putus Jalur Keluar Chernihiv, Warga Kota Terjebak di Zona Perang
loading...
A
A
A
LVIV - Serangan udara yang dilancarkan Rusia secara berturut-turut telah mengguncang kota yang telah menjadi surga bagi sekitar 200.000 orang yang harus meninggalkan kampung halaman mereka. Sebagian besar wilayah Lviv telah terhindar sejak invasi Rusia dimulai, meskipun rudal menghantam fasilitas perbaikan pesawat di dekat bandara utama seminggu yang lalu.
Di tempat perlindungan bom yang redup dan penuh sesak, di bawah blok apartemen tidak jauh dari lokasi ledakan pertama, Olana Ukrainets, seorang profesional IT berusia 34 tahun, mengatakan, dia tidak percaya harus bersembunyi lagi setelah melarikan diri dari kota timur laut Kharkiv, salah satu kota yang paling parah dibombardir.
“Kami berada di satu sisi jalan dan melihatnya di sisi lain,” katanya. “Kami melihat api. Saya berkata kepada teman saya, 'Apa ini?' Kemudian kami mendengar suara ledakan dan kaca pecah. Kami mencoba bersembunyi di antara gedung-gedung. Saya tidak tahu apa targetnya,” lanjutnya pada AP.
Dua kota di ujung yang berlawanan dari negara itu mengalami beberapa penderitaan terburuk saat ini, Chernihiv di utara — berlokasi strategis di jalan dari perbatasan Belarusia ke ibu kota, Kiev — dan Mariupol di selatan, kota pelabuhan utama di Laut Azov. Keduanya dikepung oleh pasukan Rusia, tetapi masih bertahan.
Chernihiv telah diserang sejak hari-hari awal invasi dan selama seminggu terakhir, Rusia menghancurkan jembatan kendaraan utama yang mengarah ke luar kota dan membuat jembatan pejalan kaki di dekatnya tidak dapat dilewati. Serangan ini juga telah memotong rute terakhir bagi warga sipil untuk melarikan diri, atau untuk makanan dan obat-obatan yang akan dibawa.
Penduduk Chernihiv yang tersisa, saat ini dibekap ketakutan, bahwa setiap ledakan, bom, dan mayat yang tergeletak di jalan-jalan menjerat mereka dalam perangkap mengerikan yang sama dengan pembunuhan dan penghancuran yang tak terhindarkan.
“Di ruang bawah tanah pada malam hari, semua orang membicarakan satu hal: Chernihiv menjadi Mariupol berikutnya,” kata penduduk berusia 38 tahun, Ihar Kazmerchak, seorang sarjana linguistik.
Dia berbicara kepada The Associated Press melalui ponsel, di tengah bunyi bip yang tak henti-hentinya menandakan bahwa baterainya sekarat. Kota ini tanpa listrik, air mengalir dan pemanas. Di apotek, daftar obat-obatan yang tidak lagi tersedia bertambah panjang dari hari ke hari.
Di tempat perlindungan bom yang redup dan penuh sesak, di bawah blok apartemen tidak jauh dari lokasi ledakan pertama, Olana Ukrainets, seorang profesional IT berusia 34 tahun, mengatakan, dia tidak percaya harus bersembunyi lagi setelah melarikan diri dari kota timur laut Kharkiv, salah satu kota yang paling parah dibombardir.
“Kami berada di satu sisi jalan dan melihatnya di sisi lain,” katanya. “Kami melihat api. Saya berkata kepada teman saya, 'Apa ini?' Kemudian kami mendengar suara ledakan dan kaca pecah. Kami mencoba bersembunyi di antara gedung-gedung. Saya tidak tahu apa targetnya,” lanjutnya pada AP.
Dua kota di ujung yang berlawanan dari negara itu mengalami beberapa penderitaan terburuk saat ini, Chernihiv di utara — berlokasi strategis di jalan dari perbatasan Belarusia ke ibu kota, Kiev — dan Mariupol di selatan, kota pelabuhan utama di Laut Azov. Keduanya dikepung oleh pasukan Rusia, tetapi masih bertahan.
Chernihiv telah diserang sejak hari-hari awal invasi dan selama seminggu terakhir, Rusia menghancurkan jembatan kendaraan utama yang mengarah ke luar kota dan membuat jembatan pejalan kaki di dekatnya tidak dapat dilewati. Serangan ini juga telah memotong rute terakhir bagi warga sipil untuk melarikan diri, atau untuk makanan dan obat-obatan yang akan dibawa.
Penduduk Chernihiv yang tersisa, saat ini dibekap ketakutan, bahwa setiap ledakan, bom, dan mayat yang tergeletak di jalan-jalan menjerat mereka dalam perangkap mengerikan yang sama dengan pembunuhan dan penghancuran yang tak terhindarkan.
“Di ruang bawah tanah pada malam hari, semua orang membicarakan satu hal: Chernihiv menjadi Mariupol berikutnya,” kata penduduk berusia 38 tahun, Ihar Kazmerchak, seorang sarjana linguistik.
Dia berbicara kepada The Associated Press melalui ponsel, di tengah bunyi bip yang tak henti-hentinya menandakan bahwa baterainya sekarat. Kota ini tanpa listrik, air mengalir dan pemanas. Di apotek, daftar obat-obatan yang tidak lagi tersedia bertambah panjang dari hari ke hari.