Ajudan Zelensky Tuding Mantan Presiden Ukraina Picu Konflik dengan Rusia
loading...
A
A
A
KIEV - Seorang penasihat Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky, Alexey Arestovich, mengatakan Sabtu (19/3/2022) bahwa mantan Presiden Petro Poroshenko ikut bertanggung jawab atas konflik yang sedang berlangsung dengan Rusia.
Arestovich menuding keputusan Poroshenko untuk menulis aspirasi NATO ke dalam konstitusi negara Ukraina sebagai pemicu konflik dengan Rusia.
Klausul tersebut, yang menguraikan jalur Ukraina untuk menjadi anggota penuh Uni Eropa (UE) dan aliansi NATO yang dipimpin Amerika Serikat (AS), ditambahkan ke dalam konstitusi Ukraina pada Februari 2019 dan tak lama sebelum pemilu presiden.
“Meski langkah itu adalah aksi kampanye murni oleh mantan Presiden Poroshenko, ternyata memiliki konsekuensi jangka panjang,” ujar Arestovich mengatakan kepada media lokal, dilansir RT.com.
“Ketika Poroshenko memperkenalkan ini, itu adalah teknologi PR (public relation) pra-pemilu pribadinya. Dia tahu sebelumnya bahwa NATO tidak akan pernah menerima kita. Tidak sedikit pun dari kesalahan atas apa yang terjadi sekarang di Ukraina terletak pada mereka yang mengadopsi dan mempromosikan ketentuan konstitusional ini,” ujar dia.
Dia menyiratkan bahwa para anggota parlemen Ukraina yang mendukung klausul itu juga harus disalahkan.
Perubahan konstitusi itu mendapat dukungan luar biasa saat itu dengan 334 suara dari 450 anggota parlemen memberikan dukungan.
Di era Poroshenko, keinginan bergabung dengan NATO juga dimasukkan ke dalam doktrin militer negara itu pada 2015. Dokumen itu juga secara resmi menetapkan Rusia sebagai “musuh militer” Kiev.
Aspirasi NATO oleh Ukraina, bagaimanapun, sebenarnya sudah ada jauh sebelum reformasi konstitusi Februari 2019.
Ukraina menyesuaikan diri dengan blok pimpinan AS sejak akhir 1990-an, mengirim "unit penjaga perdamaian" ke Irak pada 2002, mengadopsi undang-undang yang memungkinkan akses militer pasukan NATO ke wilayahnya pada 2004, dan seterusnya.
NATO sendiri secara resmi mengakui aspirasi Ukraina pada 2008, ketika aliansi tersebut mengumumkan dalam Deklarasi KTT Bukares bahwa mereka menyambut “aspirasi Euro-Atlantik Ukraina dan Georgia untuk keanggotaan di NATO.”
Para peserta KTT sepakat bahwa pada akhirnya negara-negara itu akan “menjadi anggota NATO.”
Moskow menyerang Ukraina setelah kebuntuan selama tujuh tahun atas kegagalan Kiev mengimplementasikan ketentuan-ketentuan perjanjian gencatan senjata Minsk.
Rusia akhirnya mengakui kemerdekaan republik-republik Donbass di Donetsk dan Lugansk.
Protokol yang ditengahi Jerman dan Prancis dirancang untuk mengatur status wilayah yang memisahkan diri di dalam negara Ukraina.
Rusia kini menuntut agar Ukraina secara resmi menyatakan dirinya sebagai negara netral yang tidak akan pernah bergabung dengan blok militer NATO.
Kiev mengatakan serangan Rusia benar-benar tidak beralasan dan membantah klaim pihaknya berencana merebut kembali dua republik pemberontak dengan paksa.
Arestovich menuding keputusan Poroshenko untuk menulis aspirasi NATO ke dalam konstitusi negara Ukraina sebagai pemicu konflik dengan Rusia.
Klausul tersebut, yang menguraikan jalur Ukraina untuk menjadi anggota penuh Uni Eropa (UE) dan aliansi NATO yang dipimpin Amerika Serikat (AS), ditambahkan ke dalam konstitusi Ukraina pada Februari 2019 dan tak lama sebelum pemilu presiden.
“Meski langkah itu adalah aksi kampanye murni oleh mantan Presiden Poroshenko, ternyata memiliki konsekuensi jangka panjang,” ujar Arestovich mengatakan kepada media lokal, dilansir RT.com.
“Ketika Poroshenko memperkenalkan ini, itu adalah teknologi PR (public relation) pra-pemilu pribadinya. Dia tahu sebelumnya bahwa NATO tidak akan pernah menerima kita. Tidak sedikit pun dari kesalahan atas apa yang terjadi sekarang di Ukraina terletak pada mereka yang mengadopsi dan mempromosikan ketentuan konstitusional ini,” ujar dia.
Dia menyiratkan bahwa para anggota parlemen Ukraina yang mendukung klausul itu juga harus disalahkan.
Perubahan konstitusi itu mendapat dukungan luar biasa saat itu dengan 334 suara dari 450 anggota parlemen memberikan dukungan.
Di era Poroshenko, keinginan bergabung dengan NATO juga dimasukkan ke dalam doktrin militer negara itu pada 2015. Dokumen itu juga secara resmi menetapkan Rusia sebagai “musuh militer” Kiev.
Aspirasi NATO oleh Ukraina, bagaimanapun, sebenarnya sudah ada jauh sebelum reformasi konstitusi Februari 2019.
Ukraina menyesuaikan diri dengan blok pimpinan AS sejak akhir 1990-an, mengirim "unit penjaga perdamaian" ke Irak pada 2002, mengadopsi undang-undang yang memungkinkan akses militer pasukan NATO ke wilayahnya pada 2004, dan seterusnya.
NATO sendiri secara resmi mengakui aspirasi Ukraina pada 2008, ketika aliansi tersebut mengumumkan dalam Deklarasi KTT Bukares bahwa mereka menyambut “aspirasi Euro-Atlantik Ukraina dan Georgia untuk keanggotaan di NATO.”
Para peserta KTT sepakat bahwa pada akhirnya negara-negara itu akan “menjadi anggota NATO.”
Moskow menyerang Ukraina setelah kebuntuan selama tujuh tahun atas kegagalan Kiev mengimplementasikan ketentuan-ketentuan perjanjian gencatan senjata Minsk.
Rusia akhirnya mengakui kemerdekaan republik-republik Donbass di Donetsk dan Lugansk.
Protokol yang ditengahi Jerman dan Prancis dirancang untuk mengatur status wilayah yang memisahkan diri di dalam negara Ukraina.
Rusia kini menuntut agar Ukraina secara resmi menyatakan dirinya sebagai negara netral yang tidak akan pernah bergabung dengan blok militer NATO.
Kiev mengatakan serangan Rusia benar-benar tidak beralasan dan membantah klaim pihaknya berencana merebut kembali dua republik pemberontak dengan paksa.
(sya)