Siapa yang Paria? Usai Tolak Biden, Saudi Aramco Bangun Kilang Besar di China

Jum'at, 11 Maret 2022 - 14:46 WIB
loading...
Siapa yang Paria? Usai Tolak Biden, Saudi Aramco Bangun Kilang Besar di China
Aparat keamanan berjalan melintasi logo Saudi Aramco di Plaza Conference Center, Dhahran, Arab Saudi, 3 November 2019. Foto/REUTERS/Hamad I Mohammed
A A A
RIYADH - Selama kampanye pemilu presiden Amerika Serikat (AS) pada 2019, Joe Biden berjanji mengubah Arab Saudi menjadi "paria" sebagai pembalasan atas pembunuhan jurnalis Jamal Khashoggi di konsulat Saudi di Istanbul, Turki.

Namun kini AS tampaknya harus merenungkan ulang bahwa pernyataan Biden bisa berbalik arah ke Negeri Paman Sam sendiri.

Perusahaan minyak negara Arab Saudi, Saudi Aramco, mengumumkan pada Kamis (10/3/2022) bahwa pihaknya akan membantu membangun fasilitas penyulingan baru yang besar di timur laut China.



Berita itu muncul sehari setelah Riyadh menolak permintaan Biden untuk meningkatkan produksi minyak guna melawan larangan AS membeli minyak Rusia.



Aramco mengatakan akan bekerja dengan Perusahaan Grup Industri Kimia Huajin Utara China dan Grup Industri Panjin Xincheng untuk membangun kompleks kilang dan petrokimia terintegrasi besar-besaran di Panjin, Provinsi Liaoning.



Fasilitas ini akan mampu memproduksi 300.000 barel minyak per hari dan akan memiliki 1,5 juta metrik ton per tahun ethylene cracker dan 1,3 juta metrik ton per tahun unit paraxylene.

Pembicaraan untuk membangun kompleks industri dimulai pada 2019 setelah kunjungan Putra Mahkota Arab Saudi Mohammed bin Salman ke Beijing, tetapi terhenti setelah pandemi COVID-19.



Rencana itu dihidupkan kembali pada awal Februari ketika Saudi berusaha memanfaatkan harga minyak yang meningkat pesat akibat perang Rusia dan Ukraina. Pada saat itu, kesepakatan itu bernilai USD10 miliar, menurut S&P Global.

Pengumuman kesepakatan itu mengikuti dua perkembangan terkait.

Pada 4 Februari 2022, perusahaan gas milik negara Rusia Rosneft menandatangani perjanjian 10 tahun dengan China National Petroleum Corp (CNPC) untuk mengirimkan 100 juta metrik ton, atau 200.821 barel per hari minyak ke kilang di barat laut China.

“Sesuai dengan kesepakatan Rosneft dan CNPC, ada prospek interaksi yang dikembangkan mengenai serangkaian area pembangunan rendah karbon, khususnya dalam pengurangan emisi gas rumah kaca, termasuk metana, teknologi efisiensi energi, serta penangkapan dan penyimpanan CO2 (CCS)," papar pernyataan Rosneft.

Kesepakatan itu datang hanya dua pekan sebelum Rusia meluncurkan operasi khusus di Ukraina yang bertujuan menetralkan negara itu sebelum dapat menjadi landasan peluncuran untuk serangan NATO di Rusia.

Operasi tersebut memicu sanksi besar-besaran dari Amerika Serikat dan sekutunya yang bertujuan menghancurkan ekonomi Rusia, termasuk keputusan 8 Maret untuk melarang impor minyak Rusia ke Amerika Serikat.

Akibatnya, harga minyak yang sudah naik melonjak menjadi USD130 per barel selama akhir pekan, dan harga bahan bakar minyak (BBM) di AS juga mulai naik tajam, sangat merusak pasar saham AS.

Sebagai tanggapan, Biden menjangkau beberapa produsen minyak dunia lainnya, termasuk Arab Saudi dan Venezuela, dua negara yang selama ini dia kritik tajam.

Pada Rabu, Gedung Putih mencoba mengatur panggilan telepon antara Biden, Putra Mahkota Saudi Mohammed bin Salman, dan Sheikh Mohammed bin Zayed al Nahyan, penguasa Uni Emirat Arab (UEA).

"Ada beberapa harapan dari panggilan telepon itu, tetapi itu tidak terjadi," ujar seorang pejabat AS yang merupakan bagian dari upaya itu mengatakan kepada Wall Street Journal.

Sumber itu menjelaskan, “Itu adalah bagian dari menyalakan keran (minyak Saudi).”

Tahun lalu, pemerintahan Biden mendeklasifikasi file dari Kantor Direktur Intelijen Nasional yang mengklaim bahwa Mohammed bin Salman secara langsung terkait dengan pembunuhan 2018 jurnalis pembangkang Saudi Jamal Khashoggi di konsulat Saudi di Istanbul, Turki.

Saudi telah membantah keterlibatan putra mahkota dalam pembunuhan itu.

Pada 2019, Biden mengatakan dia akan “membuat mereka (Saudi) membayar harganya, dan membuat mereka menyadari fakta bahwa mereka paria.”

Dalam wawancara dengan The Atlantic pekan lalu, putra mahkota Saudi mengatakan kepada majalah itu, "Sederhananya, saya tidak peduli" apakah Biden memahaminya atau tidak.

“Terserah dia untuk memikirkan kepentingan Amerika. Pergilah untuk itu,” tegas Mohammed bin Salman.

Demikian pula, juru bicara Gedung Putih Jen Psaki mengatakan kepada wartawan pada Kamis bahwa sementara diplomat AS telah melakukan perjalanan ke Caracas untuk mencoba merayu Presiden Venezuela Nicolas Maduro agar tidak mendukung Rusia, sejauh ini belum ada kesepakatan yang tercapai.

Upaya Biden selama setahun untuk menghidupkan kembali kesepakatan nuklir Iran 2015, yang ditorpedo Donald Trump, juga bisa berada di atas batu ketika Partai Republik menyerang Biden karena terus bekerja dengan diplomat Rusia dalam kesepakatan itu.

Baik AS dan Rusia adalah pihak yang terlibat dalam kesepakatan itu, bersama dengan beberapa kekuatan dunia lainnya.

Jika dihidupkan kembali, Iran harus menerima batasan tajam pada kualitas dan kuantitas uranium yang dapat disempurnakan untuk program tenaga nuklir sipilnya dengan imbalan penurunan sanksi AS, yang akan memungkinkan Washington membeli minyak Iran.
(sya)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2116 seconds (0.1#10.140)