Dubes Rusia: Kami Tidak Menyerang Penduduk, Tapi Rezim Ukraina yang Jahat
loading...
A
A
A
JAKARTA - Duta Besar (Dubes) Rusia untuk Indonesia Lyudmila Georgievna Vorobieva menegaskan bahwa Rusia sama sekali tidak menginginkan perang terhadap Ukraina . Bahkan, dia mengatakan bahwa penduduk Ukraina ibarat saudara bagi Rusia.
Hal ini mengingat banyaknya populasi Ukraina menganggap diri mereka sebagai etnis Rusia dan seluruh penduduk Ukraina berbahasa Rusia. Terlebih, Rusia sudah lama menyediakan dan menyalurkan suplai SDA dan migas dengan harga yang sangat ramah untuk Ukraina.
"Jadi, kami sama sekali tidak menginginkan perang. Tetapi, operasi militer ini kami jalankan juga karena kawan Barat kami ingin menjadikan Ukraina sebagai bagian dari proyek Anti Rusia dan memisahkan negara saudara ini, dan kami tidak menyerang penduduk sipil," ujar Lyudmila dalam wawancara eksklusif dengan MNC Portal Indonesia di Jakarta, Selasa(1/3/2022).
Dia juga menegaskan bahwa rezim yang sekarang berkuasa di Ukraina setelah kudeta presiden sebelumnya sangatlah pro terhadap pandangan dan ideologi NAZI, serta membiarkan organisasi dan dukungan terhadap NAZI berkembang di sana. Padahal, di Perang Dunia, Rusia ikut turun melawan NAZI.
"Ideologi NAZI ini kan sudah dilarang di Rusia, Eropa, bahkan di Jerman dan di dunia. Kenapa Barat seakan berpura-pura buta terhadap masalah ini? Lihat betapa berstandar ganda masalah ini," ucapnya.
Lyudmila mengatakan bahwa rezim terbaru dibawah Presiden Volodymyr Zelensky justru menekan orang-orang Rusia, mencoba melarang bahasa dan budaya Rusia, yang menurutnya sangat tidak mungkin untuk dilakukan. Menurut dia, itu ibarat mencoba melarang penggunaan bahasa dan budaya Jawa di pulau Jawa.
"Wilayah Donetsk dan Luhansk memprotes masalah ini. Kedua wilayah ini juga baru-baru saja kami akui kemerdekaan dan kedaulatannya. Kedua wilayah ini sebenarnya adalah wilayah Rusia di dalam kawasan Ukraina," ungkapnya.
Lyudmila kemudian membeberkan ketika rezim Anti Rusia ini berkuasa, mereka mulai menekan dan bahkan membunuh orang-orang Rusia, dan ada ancaman fisik, bukan lagi ancaman budaya. Rezim ini memiliki batalion sukarela, dan kelompok bersenjata berideologi Pro NAZI mulai meluncurkan teror terhadap orang-orang berbahasa Rusia.
"Di Ukraina, Anda bisa dihajar sampai babak belur kalau berbahasa Rusia, Anda bisa di-ban atau bahkan dipecat dari pekerjaan jika Anda adalah orang Rusia, dan akhir-akhir ini mereka mulai menggunakan ancaman fisik. Jadi, Republik Donetsk dan Luhansk memprotes hal ini, dan kemudian terjadilah perang saudara di dalam wilayah Ukraina, bahkan 90% penduduk Krimea mem-vote untuk kembali ke Rusia," jelasnya.
Sehingga, Rusia menerima Krimea karena pihaknya tidak bisa mengecewakan harapan mereka dan untuk melindungi mereka.
"Hal ini karena kelompok bersenjata ini mulai bergerak masuk ke Crimea dan mereka menginginkan perang saudara terjadi," pungkas Lyudmila.
Lihat Juga: 5 Negara Sahabat Korea Utara, Semua Musuh AS Termasuk Pemilik Bom Nuklir Terbanyak di Dunia
Hal ini mengingat banyaknya populasi Ukraina menganggap diri mereka sebagai etnis Rusia dan seluruh penduduk Ukraina berbahasa Rusia. Terlebih, Rusia sudah lama menyediakan dan menyalurkan suplai SDA dan migas dengan harga yang sangat ramah untuk Ukraina.
"Jadi, kami sama sekali tidak menginginkan perang. Tetapi, operasi militer ini kami jalankan juga karena kawan Barat kami ingin menjadikan Ukraina sebagai bagian dari proyek Anti Rusia dan memisahkan negara saudara ini, dan kami tidak menyerang penduduk sipil," ujar Lyudmila dalam wawancara eksklusif dengan MNC Portal Indonesia di Jakarta, Selasa(1/3/2022).
Dia juga menegaskan bahwa rezim yang sekarang berkuasa di Ukraina setelah kudeta presiden sebelumnya sangatlah pro terhadap pandangan dan ideologi NAZI, serta membiarkan organisasi dan dukungan terhadap NAZI berkembang di sana. Padahal, di Perang Dunia, Rusia ikut turun melawan NAZI.
"Ideologi NAZI ini kan sudah dilarang di Rusia, Eropa, bahkan di Jerman dan di dunia. Kenapa Barat seakan berpura-pura buta terhadap masalah ini? Lihat betapa berstandar ganda masalah ini," ucapnya.
Lyudmila mengatakan bahwa rezim terbaru dibawah Presiden Volodymyr Zelensky justru menekan orang-orang Rusia, mencoba melarang bahasa dan budaya Rusia, yang menurutnya sangat tidak mungkin untuk dilakukan. Menurut dia, itu ibarat mencoba melarang penggunaan bahasa dan budaya Jawa di pulau Jawa.
"Wilayah Donetsk dan Luhansk memprotes masalah ini. Kedua wilayah ini juga baru-baru saja kami akui kemerdekaan dan kedaulatannya. Kedua wilayah ini sebenarnya adalah wilayah Rusia di dalam kawasan Ukraina," ungkapnya.
Lyudmila kemudian membeberkan ketika rezim Anti Rusia ini berkuasa, mereka mulai menekan dan bahkan membunuh orang-orang Rusia, dan ada ancaman fisik, bukan lagi ancaman budaya. Rezim ini memiliki batalion sukarela, dan kelompok bersenjata berideologi Pro NAZI mulai meluncurkan teror terhadap orang-orang berbahasa Rusia.
"Di Ukraina, Anda bisa dihajar sampai babak belur kalau berbahasa Rusia, Anda bisa di-ban atau bahkan dipecat dari pekerjaan jika Anda adalah orang Rusia, dan akhir-akhir ini mereka mulai menggunakan ancaman fisik. Jadi, Republik Donetsk dan Luhansk memprotes hal ini, dan kemudian terjadilah perang saudara di dalam wilayah Ukraina, bahkan 90% penduduk Krimea mem-vote untuk kembali ke Rusia," jelasnya.
Sehingga, Rusia menerima Krimea karena pihaknya tidak bisa mengecewakan harapan mereka dan untuk melindungi mereka.
"Hal ini karena kelompok bersenjata ini mulai bergerak masuk ke Crimea dan mereka menginginkan perang saudara terjadi," pungkas Lyudmila.
Lihat Juga: 5 Negara Sahabat Korea Utara, Semua Musuh AS Termasuk Pemilik Bom Nuklir Terbanyak di Dunia
(ian)