Padamkan Perlawanan Oposisi, Junta Myanmar Dilaporkan Bakar Desa demi Desa
loading...
A
A
A
YANGON - Hampir satu tahun lalu, militer Myanmar menggulingkan pemerintahan Aung San Suu Kyi yang terpilih secara demokratis dan merebut kekuasaan dalam sebuah kudeta. Sejak saat itu, negara tersebut dilanda kekacauan. Aksi protes yang awalnya berjalan damai, kini berubah menjadi perlawan dan mendapat sokongan dari sejumlah kelompok pemberontak.
Militer Myanmar telah menggunakan kekerasan dan teror untuk membasmi perbedaan pendapat dan membungkam lawan. Menurut kelompok hak asasi manusia lokal sekitar 1.500 orang telah dibunuh oleh militer dan 11.800 ditangkap.
Meski begitu, oposisi tetap ada. Selain gerakan aksi protes damai, pasukan pertahanan sipil lokal juga bermunculan, beberapa di antaranya didukung oleh kelompok etnis bersenjata yang mapan. Pada gilirannya, militer meluncurkan artileri dan serangan udara.
Di negara bagian Chin, di mana ada gerakan perlawanan yang kuat, sebanyak 80.000 orang terpaksa meninggalkan rumah mereka dengan berperang, menurut Organisasi Hak Asasi Manusia Chin (CHRO). Menurut kelompok itu hampir 900 orang ditangkap antara Februari dan Desember tahun lalu saja, sementara 182 orang tewas dalam periode yang sama. Beberapa diperkirakan telah diculik dan digunakan sebagai tameng manusia.
“Saya telah hidup melalui rezim militer sebelumnya dan saya membaca cerita dan laporan dari seluruh negara bagian Chin,” kata aktivis veteran Salai Za Uk Ling dari CHRO.
“Saya belum pernah melihat tingkat kebrutalan ini dalam hidup saya,” imbuhnya seperti dilansir dari The Guardian, Minggu (30/1/2022).
Pada bulan Desember, lebih dari 30 orang, termasuk anak-anak, tewas di negara bagian Kayah pada malam Natal. Tubuh mereka ditemukan terbakar tanpa bisa dikenali. Awal bulan ini, militer menangkap dan membunuh 11 orang di wilayah Sagaing di barat laut Myanmar. Menurut laporan media setempat kelompok itu ditembak dan kemudian dibakar.
Bersamaan dengan pembantaian semacam itu, militer semakin melancarkan kampanye bumi hangus sebagai bagian dari teror yang semakin intensif. Saksi Myanmar, yang mengumpulkan bukti pelanggaran militer, telah menguatkan 57 insiden di mana bangunan di desa-desa dan daerah sipil lainnya telah dibakar. Banyak yang dikaitkan dengan militer. Kerusakan parah telah tercatat di Thantlang, di negara bagian Chin barat laut.
"Kekerasan semacam itu mengingatkan pada tindakan keras terhadap etnis Rohingya di negara bagian Rakhine pada tahun 2017," kata Aung Myo Min, menteri hak asasi manusia Pemerintah Persatuan Nasional (NUG), pemerintah di pengasingan.
“Mereka mengirim lebih banyak pasukan, mereka pergi dari desa ke desa dan membakar semua rumah, dan memaksa pemindahan besar-besaran ke daerah lain,” imbuhnya.
"Polanya sama," ia menegaskan.
NUG sedang menyelidiki pembunuhan Boi Van Thang dan warga sipil lainnya. Boi Van Thang diketahui pergi meninggalkan rumahnya pada 6 Januari lalu namun ia tidak pernah kembali. Tiga hari kemudian, istrinya mendapat kabar mayat Boi Van Thang telah ditemukan bersama 8 mayat pria lainnya dan satu anak laki-laki.
Istrinya mengatakan bahwa leher suaminya dipotong, ada luka pisau di dadanya dan beberapa di punggungnya, serta salah satu kakinya patah.
Ia akan menyerahkan temuannya kepada kelompok yang dibentuk oleh Dewan Hak Asasi Manusia PBB untuk mengumpulkan bukti pelanggaran hukum internasional yang dilakukan di Myanmar.
“Penting bagi kami untuk membawa keadilan dan memastikan budaya impunitas tidak lagi ada di masa depan Myanmar,” kata Aung Myo Min.
Aktivis menduga junta telah menargetkan negara bagian Chin karena mereka salah percaya bahwa perlawanan lokal dapat dengan mudah dibungkam.
“Mereka selalu memiliki persepsi bahwa rakyat negara bagian Chin lemah dan dapat dengan mudah ditaklukkan,” kata Salai Za Uk Ling.
Ia mengatakan Selasa mendatang menandai peringatan pertama perebutan kekuasaan militer di Myanmar.
"Kudeta belum berhasil," ucapnya sembari menambahkan di beberapa desa, sebagian besar anak muda telah bergabung dengan perlawanan bersenjata.
Militer Myanmar telah menggunakan kekerasan dan teror untuk membasmi perbedaan pendapat dan membungkam lawan. Menurut kelompok hak asasi manusia lokal sekitar 1.500 orang telah dibunuh oleh militer dan 11.800 ditangkap.
Meski begitu, oposisi tetap ada. Selain gerakan aksi protes damai, pasukan pertahanan sipil lokal juga bermunculan, beberapa di antaranya didukung oleh kelompok etnis bersenjata yang mapan. Pada gilirannya, militer meluncurkan artileri dan serangan udara.
Di negara bagian Chin, di mana ada gerakan perlawanan yang kuat, sebanyak 80.000 orang terpaksa meninggalkan rumah mereka dengan berperang, menurut Organisasi Hak Asasi Manusia Chin (CHRO). Menurut kelompok itu hampir 900 orang ditangkap antara Februari dan Desember tahun lalu saja, sementara 182 orang tewas dalam periode yang sama. Beberapa diperkirakan telah diculik dan digunakan sebagai tameng manusia.
“Saya telah hidup melalui rezim militer sebelumnya dan saya membaca cerita dan laporan dari seluruh negara bagian Chin,” kata aktivis veteran Salai Za Uk Ling dari CHRO.
“Saya belum pernah melihat tingkat kebrutalan ini dalam hidup saya,” imbuhnya seperti dilansir dari The Guardian, Minggu (30/1/2022).
Pada bulan Desember, lebih dari 30 orang, termasuk anak-anak, tewas di negara bagian Kayah pada malam Natal. Tubuh mereka ditemukan terbakar tanpa bisa dikenali. Awal bulan ini, militer menangkap dan membunuh 11 orang di wilayah Sagaing di barat laut Myanmar. Menurut laporan media setempat kelompok itu ditembak dan kemudian dibakar.
Bersamaan dengan pembantaian semacam itu, militer semakin melancarkan kampanye bumi hangus sebagai bagian dari teror yang semakin intensif. Saksi Myanmar, yang mengumpulkan bukti pelanggaran militer, telah menguatkan 57 insiden di mana bangunan di desa-desa dan daerah sipil lainnya telah dibakar. Banyak yang dikaitkan dengan militer. Kerusakan parah telah tercatat di Thantlang, di negara bagian Chin barat laut.
"Kekerasan semacam itu mengingatkan pada tindakan keras terhadap etnis Rohingya di negara bagian Rakhine pada tahun 2017," kata Aung Myo Min, menteri hak asasi manusia Pemerintah Persatuan Nasional (NUG), pemerintah di pengasingan.
“Mereka mengirim lebih banyak pasukan, mereka pergi dari desa ke desa dan membakar semua rumah, dan memaksa pemindahan besar-besaran ke daerah lain,” imbuhnya.
"Polanya sama," ia menegaskan.
NUG sedang menyelidiki pembunuhan Boi Van Thang dan warga sipil lainnya. Boi Van Thang diketahui pergi meninggalkan rumahnya pada 6 Januari lalu namun ia tidak pernah kembali. Tiga hari kemudian, istrinya mendapat kabar mayat Boi Van Thang telah ditemukan bersama 8 mayat pria lainnya dan satu anak laki-laki.
Istrinya mengatakan bahwa leher suaminya dipotong, ada luka pisau di dadanya dan beberapa di punggungnya, serta salah satu kakinya patah.
Ia akan menyerahkan temuannya kepada kelompok yang dibentuk oleh Dewan Hak Asasi Manusia PBB untuk mengumpulkan bukti pelanggaran hukum internasional yang dilakukan di Myanmar.
“Penting bagi kami untuk membawa keadilan dan memastikan budaya impunitas tidak lagi ada di masa depan Myanmar,” kata Aung Myo Min.
Aktivis menduga junta telah menargetkan negara bagian Chin karena mereka salah percaya bahwa perlawanan lokal dapat dengan mudah dibungkam.
“Mereka selalu memiliki persepsi bahwa rakyat negara bagian Chin lemah dan dapat dengan mudah ditaklukkan,” kata Salai Za Uk Ling.
Ia mengatakan Selasa mendatang menandai peringatan pertama perebutan kekuasaan militer di Myanmar.
"Kudeta belum berhasil," ucapnya sembari menambahkan di beberapa desa, sebagian besar anak muda telah bergabung dengan perlawanan bersenjata.
(ian)