Trump Jatuhkan Sanksi kepada ICC
loading...
A
A
A
WASHINGTON - Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump , menjatuhkan sanksi kepada pejabat Pengadilan Pidana Internasional (ICC) yang ikut serta dalam penyelidikan yang menargetkan AS dan sekutunya. Trump mewujudkan ancamannya untuk menghukum ICC yang disebut pemerintahannya sebagai ancaman terhadap kedaulatan AS.
Trump menandatangani perintah eksekutif yang menolak visa serta memblokir dana untuk karyawan ICC dan anggota keluarganya.
Sanksi ini dijatuhkan sebagai respon terhadap rencana ICC untuk menyelidiki tuduhan kejahatan perang oleh semua pihak yang dilakukan selama konflik di Afghanistan, serta kemungkinan investigasi perlakuan Israel terhadap Palestina.(Baca: Pompeo Sebut ICC Korup, akan Halangi Penyelidikan Terhadap Israel )
"Kami tidak bisa dan kami tidak akan berdiri karena orang-orang kami diancam oleh pengadilan kanguru," kata Menteri Luar Negeri AS Michael Pompeo dalam sebuah pengarahan di Departemen Luar Negeri AS seperti dikutip dari Bloomberg, Jumat (12/6/2020).
Hadir dalam pengarahan tersebut Menteri Pertahanan AS Mark Esper, Penasihat Keamanan Nasional Robert O'Brien dan Jaksa Agung William Barr.
Pompeo dan pejabat administrasi senior lainnya telah lama menentang ICC, yang mereka anggap sebagai simbol penjangkauan globalis dan campur tangan yang tidak adil dalam urusan Amerika. AS sendiri belum pernah menjadi pihak dalam ICC, yang memulai kerjanya pada tahun 2002 sebagai "pengadilan pilihan terakhir" bagi para korban genosida, kejahatan perang, dan kekejaman lainnya, meskipun pemerintahan Obama bekerja sama dalam beberapa kasus.
Langkah pemerintah itu mengikuti putusan hakim ICC pada bulan Maret yang memungkinkannya untuk menyelidiki tuduhan kejahatan perang di Afghanistan, termasuk oleh pasukan AS. Sementara target utama investigasi adalah pasukan Taliban dan Afghanistan, putusan itu akan menandai pertama kalinya pasukan Amerika berada di bawah pengawasan ICC.(Baca: ICC Setuju Dilakukannya Penyelidikan Kejahatan Perang di Afghanistan )
"Bangsa kita dan pemerintahan ini tidak akan membiarkan warga negara Amerika yang telah melayani negara kita menjadi sasaran investigasi tidak sah," kata Esper kepada wartawan. Dia mengatakan sistem peradilan AS dapat menangani pengaduan semacam itu.
Para pejabat juga menawarkan pengaduan baru, dengan mengatakan bahwa kantor kepala penuntut ICC Fatou Bensouda penuh dengan korupsi dan ketidakmampuan. AS mengatakan pihaknya juga memiliki bukti bahwa musuh mereka, termasuk Rusia, telah berusaha menggunakan pengaruhnya untuk mempengaruhi pengadilan guna menyelidiki pasukan Amerika.
"Dalam praktiknya, institusi ini menjadi lebih dari sekadar alat politik," cetus Barr.
Trump menandatangani perintah eksekutif yang menolak visa serta memblokir dana untuk karyawan ICC dan anggota keluarganya.
Sanksi ini dijatuhkan sebagai respon terhadap rencana ICC untuk menyelidiki tuduhan kejahatan perang oleh semua pihak yang dilakukan selama konflik di Afghanistan, serta kemungkinan investigasi perlakuan Israel terhadap Palestina.(Baca: Pompeo Sebut ICC Korup, akan Halangi Penyelidikan Terhadap Israel )
"Kami tidak bisa dan kami tidak akan berdiri karena orang-orang kami diancam oleh pengadilan kanguru," kata Menteri Luar Negeri AS Michael Pompeo dalam sebuah pengarahan di Departemen Luar Negeri AS seperti dikutip dari Bloomberg, Jumat (12/6/2020).
Hadir dalam pengarahan tersebut Menteri Pertahanan AS Mark Esper, Penasihat Keamanan Nasional Robert O'Brien dan Jaksa Agung William Barr.
Pompeo dan pejabat administrasi senior lainnya telah lama menentang ICC, yang mereka anggap sebagai simbol penjangkauan globalis dan campur tangan yang tidak adil dalam urusan Amerika. AS sendiri belum pernah menjadi pihak dalam ICC, yang memulai kerjanya pada tahun 2002 sebagai "pengadilan pilihan terakhir" bagi para korban genosida, kejahatan perang, dan kekejaman lainnya, meskipun pemerintahan Obama bekerja sama dalam beberapa kasus.
Langkah pemerintah itu mengikuti putusan hakim ICC pada bulan Maret yang memungkinkannya untuk menyelidiki tuduhan kejahatan perang di Afghanistan, termasuk oleh pasukan AS. Sementara target utama investigasi adalah pasukan Taliban dan Afghanistan, putusan itu akan menandai pertama kalinya pasukan Amerika berada di bawah pengawasan ICC.(Baca: ICC Setuju Dilakukannya Penyelidikan Kejahatan Perang di Afghanistan )
"Bangsa kita dan pemerintahan ini tidak akan membiarkan warga negara Amerika yang telah melayani negara kita menjadi sasaran investigasi tidak sah," kata Esper kepada wartawan. Dia mengatakan sistem peradilan AS dapat menangani pengaduan semacam itu.
Para pejabat juga menawarkan pengaduan baru, dengan mengatakan bahwa kantor kepala penuntut ICC Fatou Bensouda penuh dengan korupsi dan ketidakmampuan. AS mengatakan pihaknya juga memiliki bukti bahwa musuh mereka, termasuk Rusia, telah berusaha menggunakan pengaruhnya untuk mempengaruhi pengadilan guna menyelidiki pasukan Amerika.
"Dalam praktiknya, institusi ini menjadi lebih dari sekadar alat politik," cetus Barr.