Jenderal Iran: Status Super Power AS Semakin Memudar
loading...
A
A
A
TEHERAN - Komandan Korps Garda Revolusi Iran (IRGC) mengatakan kerusuhan di Amerika Serikat (AS) adalah bukti status superpower Amerika yang semakin memudar.
Mayor Jenderal Hossein Salami mengklaim bahwa Iran tetap kuat meskipun ada sanksi Amerika, ekonomi yang kesulitan, dan dampak virus Corona, sementara para politisi AS bergulat dengan protes massa atas kebrutalan polisi dan rasisme sistemik.
"Dunia menyaksikan awal dan cepatnya penurunan musuh bebuyutan kita, terutama AS," kata Salami menurut kantor berita Tasnim.
"Semua simbol yang digunakan Amerika Serikat menampilkan dirinya sendiri dan menampilkan gambar yang tidak benar kepada dunia sedang jatuh, dan AS menghancurkan citra yang telah dibuatnya tentang dirinya sendiri," imbuhnya seperti dikutip dari Newsweek, Kamis (11/6/2020).
"Kita bisa melihat bahwa rakyat Amerika sekarang membakar bendera AS yang menjadikan citra palsu Washington bagi dunia," kata Salami, merujuk pada demonstran yang telah membakar bendera Amerika selama aksi protes.
Salami juga mengatakan bahwa AS tidak dapat menahan virus Corona dan krisis telah menjerumuskan negara itu ke dalam kondisi ekonomi terburuk.
Nada yang sama juga dilontarkan ulama senior Iran Ayatollah Amoli Larijani. Larijani mengklaim bahwa kerusuhan di AS menunjukkan bahwa pemerintah Amerika hanya peduli dengan hak asasi manusia ketika menggunakannya untuk memajukan tujuannya di luar negeri.
"Amerika telah bertahun-tahun mengajarkan negara-negara lain tentang hak asasi manusia," kata Larijani.
Dia juga mengatakan protes baru-baru ini menunjukkan bahwa hak asasi manusia hanyalah alat untuk mencapai tujuan AS.
AS dilanda kerusu setelah George Floyd , seorang pria kulit hitam, dibunuh oleh polisi di Minneapolis bulan lalu. Kematian George Floyd memicu aksi menentang rasisme di Amerika Serikat dan berbagai kota di seluruh dunia. Ribuan orang turun ke jalan guna memprotes rasisme, kebanyakan ikut unjuk rasa untuk pertama kalinya dalam hidup mereka dan terdiri dari multietnis. (Baca: Keluarga Floyd Minta PBB Selidiki Kebrutalan Polisi AS )
Unjuk rasa menyebar ke seluruh 50 negara bagian dan Washington DC, termasuk di kota-kota dan kawasan pedesaan yang sebagian besar warganya berkulit putih. Gelombang protes Black Lives Matter kali ini tampaknya lebih beragam secara rasial, dengan jumlah yang lebih besar dari pengunjuk rasa kulit putih dan pendemo dari etnis lain bergabung dengan para aktivis kulit hitam.
Lihat Juga: Orientalis Zionis: Erdogan Berambisi Kembalikan Kejayaan Kekaisaran Ottoman yang Benci Israel
Mayor Jenderal Hossein Salami mengklaim bahwa Iran tetap kuat meskipun ada sanksi Amerika, ekonomi yang kesulitan, dan dampak virus Corona, sementara para politisi AS bergulat dengan protes massa atas kebrutalan polisi dan rasisme sistemik.
"Dunia menyaksikan awal dan cepatnya penurunan musuh bebuyutan kita, terutama AS," kata Salami menurut kantor berita Tasnim.
"Semua simbol yang digunakan Amerika Serikat menampilkan dirinya sendiri dan menampilkan gambar yang tidak benar kepada dunia sedang jatuh, dan AS menghancurkan citra yang telah dibuatnya tentang dirinya sendiri," imbuhnya seperti dikutip dari Newsweek, Kamis (11/6/2020).
"Kita bisa melihat bahwa rakyat Amerika sekarang membakar bendera AS yang menjadikan citra palsu Washington bagi dunia," kata Salami, merujuk pada demonstran yang telah membakar bendera Amerika selama aksi protes.
Salami juga mengatakan bahwa AS tidak dapat menahan virus Corona dan krisis telah menjerumuskan negara itu ke dalam kondisi ekonomi terburuk.
Nada yang sama juga dilontarkan ulama senior Iran Ayatollah Amoli Larijani. Larijani mengklaim bahwa kerusuhan di AS menunjukkan bahwa pemerintah Amerika hanya peduli dengan hak asasi manusia ketika menggunakannya untuk memajukan tujuannya di luar negeri.
"Amerika telah bertahun-tahun mengajarkan negara-negara lain tentang hak asasi manusia," kata Larijani.
Dia juga mengatakan protes baru-baru ini menunjukkan bahwa hak asasi manusia hanyalah alat untuk mencapai tujuan AS.
AS dilanda kerusu setelah George Floyd , seorang pria kulit hitam, dibunuh oleh polisi di Minneapolis bulan lalu. Kematian George Floyd memicu aksi menentang rasisme di Amerika Serikat dan berbagai kota di seluruh dunia. Ribuan orang turun ke jalan guna memprotes rasisme, kebanyakan ikut unjuk rasa untuk pertama kalinya dalam hidup mereka dan terdiri dari multietnis. (Baca: Keluarga Floyd Minta PBB Selidiki Kebrutalan Polisi AS )
Unjuk rasa menyebar ke seluruh 50 negara bagian dan Washington DC, termasuk di kota-kota dan kawasan pedesaan yang sebagian besar warganya berkulit putih. Gelombang protes Black Lives Matter kali ini tampaknya lebih beragam secara rasial, dengan jumlah yang lebih besar dari pengunjuk rasa kulit putih dan pendemo dari etnis lain bergabung dengan para aktivis kulit hitam.
Lihat Juga: Orientalis Zionis: Erdogan Berambisi Kembalikan Kejayaan Kekaisaran Ottoman yang Benci Israel
(ian)