AS Kutuk Pembantaian Warga Sipil oleh Militer Myanmar
loading...
A
A
A
WASHINGTON - Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (AS) Antony Blinken mengutuk serangan yang dilakukan oleh militer Myanmar pekan lalu. Setidaknya 35 orang tewas, termasuk wanita, anak-anak dan dua anggota staf organisasi bantuan internasional Save the Children dalam serangan itu.
Blinken mengatakan AS khawatir dengan kebrutalan rezim militer dan menyerukan masyarakat internasional untuk mengakhiri penjualan senjata serta teknologi penggunaan ganda kepada militer Myanmar, yang pada Februari menggulingkan pemerintah sipil yang terpilih secara demokratis dalam sebuah kudeta.
“Penargetan orang tak bersalah dan aktor kemanusiaan tidak dapat diterima, dan kekejaman militer yang meluas terhadap rakyat Burma menggarisbawahi urgensi meminta pertanggungjawaban anggotanya,” kata Blinken dalam sebuah pernyataan menggunakan nama lain dari Myanmar seperti dikutip dari The Hill, Rabu (29/12/2021).
Sementara itu juru bicara Departemen Luar Negeri AS Ned Price mengatakan Washington mendukung seruan utusan khusus PBB untuk Myanmar guna melembagakan "gencatan senjata Tahun Baru" di seluruh negara Asia tenggara itu.
“Masyarakat internasional juga harus berbuat lebih banyak untuk memajukan tujuan ini dan membantu mencegah terulangnya kekejaman di Burma,” kata Price dalam briefing dengan wartawan.
Sebelumnya Save the Children mengkonfirmasi bahwa dua anggota staf mereka termasuk di antara sedikitnya 35 orang tewas, yang mayatnya ditemukan dalam kondiri terbakar di Myanmar setelah serangan 24 Desember oleh militer di Negara Bagian Kayah, sebelah timur negara itu.
Identitas kedua anggota staf dirahasiakan karena alasan keamanan, tetapi keduanya digambarkan oleh kelompok bantuan internasional itu baru menjadi seorang bapak. Satu, usia 32, memiliki seorang putra berusia 10 bulan, sementara yang lain, usia 28, memiliki seorang putri berusia tiga bulan.
Save the Children mengatakan para stafnya sedang dalam perjalanan kembali ke kantor setelah bekerja pada respon kemanusiaan di komunitas terdekat ketika mereka terjebak dalam serangan itu. Kelompok bantuan itu mengatakan bahwa militer memaksa orang-orang keluar dari mobil mereka, menangkap beberapa, membunuh puluhan dan membakar mayat-mayat itu.
Dalam sebuah pernyataan, militer Myanmar mengatakan, mereka telah menembaki "teroris" setelah menerima tembakan dari kendaraan yang tidak berhenti untuk diperiksa. Tidak disebutkan tentang pembakaran kendaraan atau mayat.
Inger Ashing, kepala eksekutif Save the Children, mengatakan bahwa penyelidikan mengenai sifat insiden itu sedang berlangsung.
“Kekerasan terhadap warga sipil tak berdosa termasuk pekerja bantuan tidak dapat ditoleransi, dan serangan tidak masuk akal ini merupakan pelanggaran Hukum Humaniter Internasional,” kata Ashing dalam sebuah pernyataan.
“Kami terguncang oleh kekerasan yang dilakukan terhadap warga sipil dan staf kami, yang berdedikasi pada kemanusiaan, mendukung jutaan anak yang membutuhkan di seluruh Myanmar,” sambungnya.
Ashling menyerukan Dewan Keamanan PBB untuk mengadakan pertemuan sesegera mungkin guna menetapkan langkah-langkah untuk menegakkan akuntabilitas atas serangan itu, dan menyuarakan kembali seruan untuk embargo senjata, termasuk fokus pada pembatasan serangan udara, serta pertemuan oleh Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara untuk mendorong penghentian kekerasan di Myanmar.
“Langkah-langkah ini sangat diperlukan untuk melindungi anak-anak dan pekerja bantuan kemanusiaan,” lanjut Ashling.
“Organisasi kami dalam keadaan berduka untuk dua kolega tercinta yang tak tergantikan yang kematiannya merupakan kehilangan bagi anak-anak Kayah dan Myanmar,” ia menambahkan.
Militer Myanmar telah melembagakan tindakan keras brutal terhadap masyarakat sipil sejak mengambil alih kekuasaan pada Februari, dengan penahanan para pemimpin serta mereka yang melakukan penentangan politik, dan laporan tentang penyiksaan serta pembantaian.
AS telah memberlakukan lusinan sanksi terhadap pejabat militer, keluarga dan entitas mereka yang menguntungkan militer dalam upaya untuk mengatasi pelanggaran hak asasi manusia, tindakan keras terhadap lembaga-lembaga demokrasi dan kampanye kekerasan serta pembantaian terhadap orang-orang Myanmar, termasuk anak-anak dan orang-orang dari kelompok etnis minoritas.
Blinken mengatakan AS khawatir dengan kebrutalan rezim militer dan menyerukan masyarakat internasional untuk mengakhiri penjualan senjata serta teknologi penggunaan ganda kepada militer Myanmar, yang pada Februari menggulingkan pemerintah sipil yang terpilih secara demokratis dalam sebuah kudeta.
“Penargetan orang tak bersalah dan aktor kemanusiaan tidak dapat diterima, dan kekejaman militer yang meluas terhadap rakyat Burma menggarisbawahi urgensi meminta pertanggungjawaban anggotanya,” kata Blinken dalam sebuah pernyataan menggunakan nama lain dari Myanmar seperti dikutip dari The Hill, Rabu (29/12/2021).
Sementara itu juru bicara Departemen Luar Negeri AS Ned Price mengatakan Washington mendukung seruan utusan khusus PBB untuk Myanmar guna melembagakan "gencatan senjata Tahun Baru" di seluruh negara Asia tenggara itu.
“Masyarakat internasional juga harus berbuat lebih banyak untuk memajukan tujuan ini dan membantu mencegah terulangnya kekejaman di Burma,” kata Price dalam briefing dengan wartawan.
Sebelumnya Save the Children mengkonfirmasi bahwa dua anggota staf mereka termasuk di antara sedikitnya 35 orang tewas, yang mayatnya ditemukan dalam kondiri terbakar di Myanmar setelah serangan 24 Desember oleh militer di Negara Bagian Kayah, sebelah timur negara itu.
Identitas kedua anggota staf dirahasiakan karena alasan keamanan, tetapi keduanya digambarkan oleh kelompok bantuan internasional itu baru menjadi seorang bapak. Satu, usia 32, memiliki seorang putra berusia 10 bulan, sementara yang lain, usia 28, memiliki seorang putri berusia tiga bulan.
Save the Children mengatakan para stafnya sedang dalam perjalanan kembali ke kantor setelah bekerja pada respon kemanusiaan di komunitas terdekat ketika mereka terjebak dalam serangan itu. Kelompok bantuan itu mengatakan bahwa militer memaksa orang-orang keluar dari mobil mereka, menangkap beberapa, membunuh puluhan dan membakar mayat-mayat itu.
Dalam sebuah pernyataan, militer Myanmar mengatakan, mereka telah menembaki "teroris" setelah menerima tembakan dari kendaraan yang tidak berhenti untuk diperiksa. Tidak disebutkan tentang pembakaran kendaraan atau mayat.
Inger Ashing, kepala eksekutif Save the Children, mengatakan bahwa penyelidikan mengenai sifat insiden itu sedang berlangsung.
“Kekerasan terhadap warga sipil tak berdosa termasuk pekerja bantuan tidak dapat ditoleransi, dan serangan tidak masuk akal ini merupakan pelanggaran Hukum Humaniter Internasional,” kata Ashing dalam sebuah pernyataan.
“Kami terguncang oleh kekerasan yang dilakukan terhadap warga sipil dan staf kami, yang berdedikasi pada kemanusiaan, mendukung jutaan anak yang membutuhkan di seluruh Myanmar,” sambungnya.
Ashling menyerukan Dewan Keamanan PBB untuk mengadakan pertemuan sesegera mungkin guna menetapkan langkah-langkah untuk menegakkan akuntabilitas atas serangan itu, dan menyuarakan kembali seruan untuk embargo senjata, termasuk fokus pada pembatasan serangan udara, serta pertemuan oleh Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara untuk mendorong penghentian kekerasan di Myanmar.
“Langkah-langkah ini sangat diperlukan untuk melindungi anak-anak dan pekerja bantuan kemanusiaan,” lanjut Ashling.
“Organisasi kami dalam keadaan berduka untuk dua kolega tercinta yang tak tergantikan yang kematiannya merupakan kehilangan bagi anak-anak Kayah dan Myanmar,” ia menambahkan.
Militer Myanmar telah melembagakan tindakan keras brutal terhadap masyarakat sipil sejak mengambil alih kekuasaan pada Februari, dengan penahanan para pemimpin serta mereka yang melakukan penentangan politik, dan laporan tentang penyiksaan serta pembantaian.
AS telah memberlakukan lusinan sanksi terhadap pejabat militer, keluarga dan entitas mereka yang menguntungkan militer dalam upaya untuk mengatasi pelanggaran hak asasi manusia, tindakan keras terhadap lembaga-lembaga demokrasi dan kampanye kekerasan serta pembantaian terhadap orang-orang Myanmar, termasuk anak-anak dan orang-orang dari kelompok etnis minoritas.
(ian)