Dewan Gereja Swedia Serukan Israel Diselidiki dalam Kasus Apartheid
loading...
A
A
A
STOCKHOLM - Dewan Gereja Swedia (SCC) menyerukan organisasi ekumenis dunia mempertimbangkan menyelidiki Israel sebagai "negara apartheid". Seruan ini langsung mendapat respon dari Dewan Pusat Yahudi (JCC) di negara itu.
Dewan Pusat Yahudi berpendapat Dewan Gereja Swedia pada dasarnya telah melabeli Israel sebagai "negara apartheid" dan merusak reputasi serta hubungannya dengan organisasi-organisasi Yahudi.
Keputusan Dewan Gereja juga dianggap mempolarisasi klerus (kependetaan), karena banyak uskup menyebutnya anti-Semit dan mengutuknya.
Dalam keputusan resminya, Sinode Umum, yang merupakan badan pembuat keputusan gereja, telah menugaskan Dewan Pusat Gereja untuk mengangkat masalah pemeriksaan “implementasi hukum internasional di Israel dan Palestina, juga dari perspektif konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang apartheid dan definisi apartheid dalam Statuta Roma”.
Dewan Pusat Yahudi percaya Dewan Gereja pada dasarnya melabeli Israel sebagai "negara apartheid" sehingga telah merusak hubungan antara gereja dan jemaat Yahudi.
“Liga Pemuda Yahudi melangkah lebih jauh dengan menyebut keputusan itu menjijikkan,” ungkap laporan surat kabar gereja Kyrkans Tidning, dilansir Sputnik pada Kamis (2/12/2021).
Ketua Dewan Pusat Yahudi Aron Verstandig berpendapat keputusan tersebut berfokus secara sepihak pada Israel, dan ini bukan pertama kalinya terjadi.
“Dari apa yang saya lihat, situasinya belum ditangani di negara lain di mana orang Kristen terpapar. Dengan sejarah yang Anda miliki sebagai gereja Lutheran Eropa, Anda harus berhati-hati dalam mengkritik negara Yahudi secara sepihak,” bantah dia.
Ketua Liga Pemuda Yahudi Benjamin Blecher menyebut keputusan itu "tidak masuk akal".
“Menyelidiki apakah Israel adalah negara apartheid tidak masuk akal, menurut pendapat kami. Dengan mengatakan itu, seseorang hanya mengobarkan gagasan anti-Semit tentang kekuatan dan kebencian orang Yahudi di dunia,” ujar dia, menunjukkan bahwa itu hanya menjelekkan negara orang Yahudi dan tidak membantu populasi Yahudi di Swedia.
Pendapat ini dibagikan bahkan di antara pendeta Swedia. Uskup Ake Bonnier dan Soren Dalevi menulis opini yang berjudul “Kami terkejut dengan keputusan Dewan Gereja,” di mana mereka menekankan bahwa seluruhnya 103 anggota memilih untuk menolak.
Uskup Stockholm Andreas Holmberg berargumen kepada surat kabar relijius Dagen bahwa ada risiko keputusan tersebut akan berkontribusi pada sentimen anti-Yahudi.
Pastor Patrik Pettersson melangkah lebih jauh dengan menyebutnya tidak dapat diterima bagi perwakilan dari partai politik terkemuka di negara itu untuk menjadikan "model pemikiran anti-Semit sebagai bagian dari apa yang diklaim Gereja Swedia untuk diperjuangkan".
“Keputusan itu membawa dua konsekuensi langsung dan menghancurkan bagi Gereja Swedia: kredibilitas Gereja Swedia sebagai mitra dalam dialog agama Yahudi-Kristen di Swedia dihancurkan dan peluang Gereja Swedia untuk bertindak dalam konteks internasional bagi dialog agama Yahudi-Kristen dibatalkan,” tulis Petterson dalam opininya di Dagen. Dia menekankan, “Keputusan ini sama sekali tidak mendapat dukungan paroki.”
Kepala gereja Uskup Agung Antje Jackelen mengatakan dia secara pribadi menentang keputusan tersebut. Dia menambahkan dia sendiri tidak akan menggunakan kata itu dalam konteks itu.
Namun demikian, Dewan Gereja Swedia, yang telah aktif di kawasan Timur Tengah selama bertahun-tahun, secara terbuka mendukung solusi dua negara berdasarkan garis demarkasi gencatan senjata sebelum Perang Enam Hari 1967, dan telah berulang kali meminta Israel mengakhiri “pendudukan Palestina”.
Hubungan Swedia-Israel dalam beberapa tahun terakhir telah dirusak beberapa pertikaian diplomatik.
Pada 2009, pertikaian meletus setelah harian Swedia Aftonbladet mengklaim Pasukan Pertahanan Israel terlibat dalam pengambilan secara ilegal organ tubuh dari orang-orang Palestina yang mati.
Israel meminta pemerintah Swedia mengutuk artikel itu sebagai "manifestasi anti-Semitisme" dan "fitnah darah" modern. Permintaan Israel itu ditolak pemerintah Swedia, dengan alasan kebebasan pers.
Pada Oktober 2014, pemerintah Swedia yang baru terpilih saat itu Stefan Lofven mengumumkan akan mengakui negara Palestina, menekankan konflik antara Israel dan Palestina hanya dapat diselesaikan dengan solusi dua negara.
Sikap ini memicu reaksi Israel, sehingga para diplomat ditarik kembali dan kunjungan dibatalkan.
Dewan Pusat Yahudi berpendapat Dewan Gereja Swedia pada dasarnya telah melabeli Israel sebagai "negara apartheid" dan merusak reputasi serta hubungannya dengan organisasi-organisasi Yahudi.
Keputusan Dewan Gereja juga dianggap mempolarisasi klerus (kependetaan), karena banyak uskup menyebutnya anti-Semit dan mengutuknya.
Dalam keputusan resminya, Sinode Umum, yang merupakan badan pembuat keputusan gereja, telah menugaskan Dewan Pusat Gereja untuk mengangkat masalah pemeriksaan “implementasi hukum internasional di Israel dan Palestina, juga dari perspektif konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang apartheid dan definisi apartheid dalam Statuta Roma”.
Dewan Pusat Yahudi percaya Dewan Gereja pada dasarnya melabeli Israel sebagai "negara apartheid" sehingga telah merusak hubungan antara gereja dan jemaat Yahudi.
“Liga Pemuda Yahudi melangkah lebih jauh dengan menyebut keputusan itu menjijikkan,” ungkap laporan surat kabar gereja Kyrkans Tidning, dilansir Sputnik pada Kamis (2/12/2021).
Ketua Dewan Pusat Yahudi Aron Verstandig berpendapat keputusan tersebut berfokus secara sepihak pada Israel, dan ini bukan pertama kalinya terjadi.
“Dari apa yang saya lihat, situasinya belum ditangani di negara lain di mana orang Kristen terpapar. Dengan sejarah yang Anda miliki sebagai gereja Lutheran Eropa, Anda harus berhati-hati dalam mengkritik negara Yahudi secara sepihak,” bantah dia.
Ketua Liga Pemuda Yahudi Benjamin Blecher menyebut keputusan itu "tidak masuk akal".
“Menyelidiki apakah Israel adalah negara apartheid tidak masuk akal, menurut pendapat kami. Dengan mengatakan itu, seseorang hanya mengobarkan gagasan anti-Semit tentang kekuatan dan kebencian orang Yahudi di dunia,” ujar dia, menunjukkan bahwa itu hanya menjelekkan negara orang Yahudi dan tidak membantu populasi Yahudi di Swedia.
Pendapat ini dibagikan bahkan di antara pendeta Swedia. Uskup Ake Bonnier dan Soren Dalevi menulis opini yang berjudul “Kami terkejut dengan keputusan Dewan Gereja,” di mana mereka menekankan bahwa seluruhnya 103 anggota memilih untuk menolak.
Uskup Stockholm Andreas Holmberg berargumen kepada surat kabar relijius Dagen bahwa ada risiko keputusan tersebut akan berkontribusi pada sentimen anti-Yahudi.
Pastor Patrik Pettersson melangkah lebih jauh dengan menyebutnya tidak dapat diterima bagi perwakilan dari partai politik terkemuka di negara itu untuk menjadikan "model pemikiran anti-Semit sebagai bagian dari apa yang diklaim Gereja Swedia untuk diperjuangkan".
“Keputusan itu membawa dua konsekuensi langsung dan menghancurkan bagi Gereja Swedia: kredibilitas Gereja Swedia sebagai mitra dalam dialog agama Yahudi-Kristen di Swedia dihancurkan dan peluang Gereja Swedia untuk bertindak dalam konteks internasional bagi dialog agama Yahudi-Kristen dibatalkan,” tulis Petterson dalam opininya di Dagen. Dia menekankan, “Keputusan ini sama sekali tidak mendapat dukungan paroki.”
Kepala gereja Uskup Agung Antje Jackelen mengatakan dia secara pribadi menentang keputusan tersebut. Dia menambahkan dia sendiri tidak akan menggunakan kata itu dalam konteks itu.
Namun demikian, Dewan Gereja Swedia, yang telah aktif di kawasan Timur Tengah selama bertahun-tahun, secara terbuka mendukung solusi dua negara berdasarkan garis demarkasi gencatan senjata sebelum Perang Enam Hari 1967, dan telah berulang kali meminta Israel mengakhiri “pendudukan Palestina”.
Hubungan Swedia-Israel dalam beberapa tahun terakhir telah dirusak beberapa pertikaian diplomatik.
Pada 2009, pertikaian meletus setelah harian Swedia Aftonbladet mengklaim Pasukan Pertahanan Israel terlibat dalam pengambilan secara ilegal organ tubuh dari orang-orang Palestina yang mati.
Israel meminta pemerintah Swedia mengutuk artikel itu sebagai "manifestasi anti-Semitisme" dan "fitnah darah" modern. Permintaan Israel itu ditolak pemerintah Swedia, dengan alasan kebebasan pers.
Pada Oktober 2014, pemerintah Swedia yang baru terpilih saat itu Stefan Lofven mengumumkan akan mengakui negara Palestina, menekankan konflik antara Israel dan Palestina hanya dapat diselesaikan dengan solusi dua negara.
Sikap ini memicu reaksi Israel, sehingga para diplomat ditarik kembali dan kunjungan dibatalkan.
(sya)