Cerita Pilu Waria Malaysia Nur Sajat Diborgol dan Dipukuli: Saya Harus Lari!
loading...
A
A
A
Ada lebih banyak kontroversi tahun lalu ketika foto-foto Nur Sajat, yang mengenakan pakaian salat wanita, dengan keluarganya dalam perjalanan haji ke Mekah diterbitkan. Foto itu memicu kritik dari kalangan Muslim konservatif.
Dia kemudian meminta maaf karena menjadi penyebab kegemparan seperti itu, tetapi dalam waktu satu tahun dia menghadapi tuntutan pidana.
"Ketika saya berada di tanah suci, saya hanya ingin bertanya pada diri sendiri ... mungkin ada alasan mengapa saya dilahirkan?" ujar Nur Sajat.
Dia menambahkan, "Sebagai seorang wanita transgender, dan Muslim, saya percaya saya memiliki hak untuk mengekspresikan agama saya dengan cara saya sendiri. Tidak ada alasan bagi mereka untuk menghukum saya seolah-olah mereka melakukan pekerjaan Tuhan."
BBC meminta Departemen Agama Malaysia untuk mengomentari kasus Nur Sajat tetapi belum mendapat tanggapan.
Pada September, Menteri Agama Malaysia Idris Ahmad mengatakan, “Jika dia mau datang kepada kami, mengaku salah, jika dia mau kembali ke fitrahnya yang sebenarnya, tidak ada masalah. Kami tidak ingin menghukumnya, kami hanya ingin mendidiknya."
Kami bertanya kepada Mohammad Asri Zainul Abidin, Mufti, atau penasihat senior Islam di negara bagian Perlis, apakah mungkin Muslim Malaysia menerima transgender.
"Bagi saya Sajat adalah kasus yang berbeda. Sajat melakukan banyak hal yang memprovokasi otoritas agama untuk bereaksi. Biasanya dalam Islam kami tidak ikut campur dalam masalah pribadi. Itu antara Anda dan Tuhan. Tapi kami tidak akan pernah mengakui dosa ini. Jika Anda hanya merasa Anda seorang wanita, dan ingin memasuki toilet wanita, Anda tidak bisa melakukan itu," papar dia.
Malaysia memiliki sistem hukum jalur ganda, dengan hukum syariah Islam yang digunakan di 13 negara bagian dan tiga wilayah federal negara itu untuk mengatur masalah keluarga dan moral bagi 60% penduduk yang beragama Islam. Ini menciptakan masalah konstan bagi komunitas LGBTQI.
“Hukum Syariah secara khusus menargetkan komunitas kami di setiap negara bagian,” ujar Nisha Ayub, juru kampanye transgender yang pernah dipenjara karena mengenakan pakaian wanita.
Dia kemudian meminta maaf karena menjadi penyebab kegemparan seperti itu, tetapi dalam waktu satu tahun dia menghadapi tuntutan pidana.
"Ketika saya berada di tanah suci, saya hanya ingin bertanya pada diri sendiri ... mungkin ada alasan mengapa saya dilahirkan?" ujar Nur Sajat.
Dia menambahkan, "Sebagai seorang wanita transgender, dan Muslim, saya percaya saya memiliki hak untuk mengekspresikan agama saya dengan cara saya sendiri. Tidak ada alasan bagi mereka untuk menghukum saya seolah-olah mereka melakukan pekerjaan Tuhan."
BBC meminta Departemen Agama Malaysia untuk mengomentari kasus Nur Sajat tetapi belum mendapat tanggapan.
Pada September, Menteri Agama Malaysia Idris Ahmad mengatakan, “Jika dia mau datang kepada kami, mengaku salah, jika dia mau kembali ke fitrahnya yang sebenarnya, tidak ada masalah. Kami tidak ingin menghukumnya, kami hanya ingin mendidiknya."
Kami bertanya kepada Mohammad Asri Zainul Abidin, Mufti, atau penasihat senior Islam di negara bagian Perlis, apakah mungkin Muslim Malaysia menerima transgender.
"Bagi saya Sajat adalah kasus yang berbeda. Sajat melakukan banyak hal yang memprovokasi otoritas agama untuk bereaksi. Biasanya dalam Islam kami tidak ikut campur dalam masalah pribadi. Itu antara Anda dan Tuhan. Tapi kami tidak akan pernah mengakui dosa ini. Jika Anda hanya merasa Anda seorang wanita, dan ingin memasuki toilet wanita, Anda tidak bisa melakukan itu," papar dia.
Malaysia memiliki sistem hukum jalur ganda, dengan hukum syariah Islam yang digunakan di 13 negara bagian dan tiga wilayah federal negara itu untuk mengatur masalah keluarga dan moral bagi 60% penduduk yang beragama Islam. Ini menciptakan masalah konstan bagi komunitas LGBTQI.
“Hukum Syariah secara khusus menargetkan komunitas kami di setiap negara bagian,” ujar Nisha Ayub, juru kampanye transgender yang pernah dipenjara karena mengenakan pakaian wanita.