Iran Akui Punya 25 Kg Uranium Pengayaan 60%, Barat Makin Khawatir
loading...
A
A
A
TEHERAN - Iran telah meningkatkan persediaan uranium pengayaan 60% menjadi 25kg. Laporan terbaru itu diungkapkan media pemerintah.
Pengumuman itu datang tak lama setelah tanggal yang ditetapkan untuk dimulainya kembali pembicaraan nuklir antara Teheran dan kekuatan dunia lainnya.
“Republik Islam sejauh ini menghasilkan 25 kilogram uranium 60%," ungkap juru bicara Organisasi Energi Atom Iran Behrouz Kamalvandi pada Jumat (5/11/2021).
Dia menegaskan, “Kecuali negara-negara dengan senjata nuklir, tidak ada negara lain yang mampu memproduksi sebanyak ini.”
Pengungkapan Kamalvandi datang hanya beberapa hari setelah negosiator nuklir utama Iran, Ali Bagheri Kani, menjelaskan Teheran telah setuju memulai kembali negosiasi di Wina pada 29 November 2021.
Pernyataan itu dikonfirmasi badan tindakan eksternal Uni Eropa tak lama setelah itu.
Amerika Serikat (AS), Inggris, Prancis, dan Jerman mengeluarkan pernyataan bersama pada akhir Oktober di konferensi G20, yang mengungkapkan, "Keprihatinan yang mendalam dan berkembang atas program atom Republik Islam. Negara-negara tersebut juga mendesak Presiden Ebrahim Raisi untuk kembali ke upaya itikad baik untuk menyelesaikan negosiasi kita sebagai hal yang mendesak.”
Pembicaraan tentang menghidupkan kembali Rencana Aksi Komprehensif Gabungan (JCPOA) telah terhenti sejak Raisi menjabat pada Agustus.
Kesepakatan itu awalnya ditandatangani pada 2015 antara Teheran, Beijing, Paris, Moskow, London, Washington, dan Berlin.
Namun, mantan Presiden AS Donald Trump secara sepihak menarik keluar Amerika dari perjanjian itu pada 2018 dan menjatuhkan sanksi berat terhadap Teheran.
Iran, sebagai tanggapan, mulai memperkaya uraniumnya di atas kemurnian 3,67% yang digariskan dalam JCPOA, tingkat yang dianggap cocok untuk sebagian besar energi nuklir sipil.
Presiden Iran saat itu, Hassan Rouhani, mengatakan pada Juli bahwa Teheran memiliki kapasitas, jika dianggap perlu oleh otoritas Iran, untuk memperkaya uranium hingga 90%, yang dianggap sebagai patokan untuk produksi senjata nuklir.
Iran, bagaimanapun, telah bersumpah tidak memiliki keinginan untuk membuat persenjataan atom.
Pemerintahan Presiden AS Joe Biden telah menunjukkan minat yang besar untuk menghidupkan kembali perjanjian itu, tetapi telah menolak tuntutan Iran agar sanksi dicabut sebagai prasyarat untuk kembali ke meja perundingan.
Pengumuman itu datang tak lama setelah tanggal yang ditetapkan untuk dimulainya kembali pembicaraan nuklir antara Teheran dan kekuatan dunia lainnya.
“Republik Islam sejauh ini menghasilkan 25 kilogram uranium 60%," ungkap juru bicara Organisasi Energi Atom Iran Behrouz Kamalvandi pada Jumat (5/11/2021).
Dia menegaskan, “Kecuali negara-negara dengan senjata nuklir, tidak ada negara lain yang mampu memproduksi sebanyak ini.”
Pengungkapan Kamalvandi datang hanya beberapa hari setelah negosiator nuklir utama Iran, Ali Bagheri Kani, menjelaskan Teheran telah setuju memulai kembali negosiasi di Wina pada 29 November 2021.
Pernyataan itu dikonfirmasi badan tindakan eksternal Uni Eropa tak lama setelah itu.
Amerika Serikat (AS), Inggris, Prancis, dan Jerman mengeluarkan pernyataan bersama pada akhir Oktober di konferensi G20, yang mengungkapkan, "Keprihatinan yang mendalam dan berkembang atas program atom Republik Islam. Negara-negara tersebut juga mendesak Presiden Ebrahim Raisi untuk kembali ke upaya itikad baik untuk menyelesaikan negosiasi kita sebagai hal yang mendesak.”
Pembicaraan tentang menghidupkan kembali Rencana Aksi Komprehensif Gabungan (JCPOA) telah terhenti sejak Raisi menjabat pada Agustus.
Kesepakatan itu awalnya ditandatangani pada 2015 antara Teheran, Beijing, Paris, Moskow, London, Washington, dan Berlin.
Namun, mantan Presiden AS Donald Trump secara sepihak menarik keluar Amerika dari perjanjian itu pada 2018 dan menjatuhkan sanksi berat terhadap Teheran.
Iran, sebagai tanggapan, mulai memperkaya uraniumnya di atas kemurnian 3,67% yang digariskan dalam JCPOA, tingkat yang dianggap cocok untuk sebagian besar energi nuklir sipil.
Presiden Iran saat itu, Hassan Rouhani, mengatakan pada Juli bahwa Teheran memiliki kapasitas, jika dianggap perlu oleh otoritas Iran, untuk memperkaya uranium hingga 90%, yang dianggap sebagai patokan untuk produksi senjata nuklir.
Iran, bagaimanapun, telah bersumpah tidak memiliki keinginan untuk membuat persenjataan atom.
Pemerintahan Presiden AS Joe Biden telah menunjukkan minat yang besar untuk menghidupkan kembali perjanjian itu, tetapi telah menolak tuntutan Iran agar sanksi dicabut sebagai prasyarat untuk kembali ke meja perundingan.
(sya)