Anak 11 Tahun Hamil akibat Diperkosa Picu Perdebatan Aborsi di Bolivia
loading...
A
A
A
LA PAZ - Anak perempuan berusia 11 tahun di Bolivia hamil setelah diperkosa oleh anggota keluarganya. Nasibnya telah memicu perdebatan publik tentang boleh tidaknya korban menjalani aborsi.
Perdebatan sengit pecah antara para aktivis hak asasi manusia (HAM) dan kubu Gereja Katolik di Bolivia. Pedebatan muncul ketika kelompok-kelompok agama berusaha memaksa korban untuk menyelesaikan kehamilan dan melahirkan bayinya.
Korban hamil setelah berulang kali diperkosa dan menderita pelecehan seksual lainnya oleh ayah dari ayah tirinya di kota YapacanĂ, di wilayah Santa Cruz timur Bolivia.
Korban tinggal bersama saudara perempuannya dan kakek tirinya yang berusia 61 tahun—yang sekarang dipenjara karena kejahatan itu—, karena orang tuanya bekerja di La Paz.
Kasus ini semakin melebarkan lubang menganga dalam perlindungan negara bagi perempuan dan anak perempuan di Bolivia, yang memiliki salah satu tingkat kekerasan dan pelecehan seksual antar-familiar tertinggi di Amerika Latin, dan apa yang oleh beberapa aktivis disebut sebagai budaya pemerkosaan.
Intervensi Gereja Katolik juga dipertanyakan, setelah kelompok agama menghubungi ibu korban dan membujuknya untuk menentang penghentian kehamilan, sebuah langkah yang telah mendorong tindakan hukum oleh kantor ombudsman HAM Bolivia.
“Gadis itu bahkan tidak tahu apa artinya hamil; dia memberi tahu sepupunya bahwa dia merasakan sesuatu bergerak di dalam perutnya. Sepupunya memberi tahu ibunya—bibi gadis itu—yang melaporkannya ke polisi,” kata Ana Paola GarcĂa, direktur eksekutif La Casa de la Mujer, sebuah LSM hak-hak perempuan Bolivia, seperti dikutip dari The Guardian, Sabtu (30/10/2021).
Korban dibawa ke rumah sakit Percy Boland Women di kota Santa Cruz, di mana korban secara hukum dinyatakan sebagai korban pemerkosaan di bawah umur, dia dijadwalkan menjalani aborsi pada Jumat lalu.
Menurut Garcia, sebuah keputusan konstitusional tahun 2014 membuat penghentian kehamilan menjadi legal dalam kasus pemerkosaan tanpa perlu mendapatkan perintah pengadilan.
Perdebatan sengit pecah antara para aktivis hak asasi manusia (HAM) dan kubu Gereja Katolik di Bolivia. Pedebatan muncul ketika kelompok-kelompok agama berusaha memaksa korban untuk menyelesaikan kehamilan dan melahirkan bayinya.
Korban hamil setelah berulang kali diperkosa dan menderita pelecehan seksual lainnya oleh ayah dari ayah tirinya di kota YapacanĂ, di wilayah Santa Cruz timur Bolivia.
Korban tinggal bersama saudara perempuannya dan kakek tirinya yang berusia 61 tahun—yang sekarang dipenjara karena kejahatan itu—, karena orang tuanya bekerja di La Paz.
Kasus ini semakin melebarkan lubang menganga dalam perlindungan negara bagi perempuan dan anak perempuan di Bolivia, yang memiliki salah satu tingkat kekerasan dan pelecehan seksual antar-familiar tertinggi di Amerika Latin, dan apa yang oleh beberapa aktivis disebut sebagai budaya pemerkosaan.
Intervensi Gereja Katolik juga dipertanyakan, setelah kelompok agama menghubungi ibu korban dan membujuknya untuk menentang penghentian kehamilan, sebuah langkah yang telah mendorong tindakan hukum oleh kantor ombudsman HAM Bolivia.
“Gadis itu bahkan tidak tahu apa artinya hamil; dia memberi tahu sepupunya bahwa dia merasakan sesuatu bergerak di dalam perutnya. Sepupunya memberi tahu ibunya—bibi gadis itu—yang melaporkannya ke polisi,” kata Ana Paola GarcĂa, direktur eksekutif La Casa de la Mujer, sebuah LSM hak-hak perempuan Bolivia, seperti dikutip dari The Guardian, Sabtu (30/10/2021).
Korban dibawa ke rumah sakit Percy Boland Women di kota Santa Cruz, di mana korban secara hukum dinyatakan sebagai korban pemerkosaan di bawah umur, dia dijadwalkan menjalani aborsi pada Jumat lalu.
Menurut Garcia, sebuah keputusan konstitusional tahun 2014 membuat penghentian kehamilan menjadi legal dalam kasus pemerkosaan tanpa perlu mendapatkan perintah pengadilan.