30 Ribu Pembelot Korut Kesulitan Beradaptasi dengan Kehidupan di Korsel
loading...
A
A
A
SEOUL - Bukan hal mudah bagi warga Korea Utara (Korut) untuk keluar dan melarikan diri dari negara mereka. Rezim Korut telah menerapkan penjagaan ketat di semua jalur perbatasan mereka. Namun nyatanya, masih ada warga Korut yang berhasil kabur ke luar negeri dengan berbagai cara dari negara mereka.
Dua negara yang menjadi tujuan utama para pembelot Korut adalah China dan Korea Selatan (Korsel). Namun, setelah berhasil melarikan diri, para pembelot nyatanya menghadapi tantangan berat untuk menyesuaikan diri dengan rumah baru mereka. Aktivis kemanusiaan mengatakan, Seoul harus berbuat lebih banyak untuk membantu para pembelot itu.
Seperti dilaporkan Deutsche Welle, Senin (25/10/2021), lebih dari 30.000 warga Korut telah membelot ke Selatan sejak kelaparan melanda Korut pada 1990-an. Menurut Kementerian Unifikasi Korsel, jumlah pembelot Korut turun dari 1.000 orang pada 2019, menjadi hanya 229 orang di tahun 2020. Hal ini terjadi setelah Korut melakukan kontrol perbatasan yang ketat untuk mencegah penyebaran virus corona.
Ironisnya, beberapa warga Korut yang berhasil lolos dari ketatnya pembatasan di perbatasan, akan terus menghadapi prasangka di Korsel. Sebuah studi yang dirilis pada bulan Februari oleh Korea Hana Foundation (KHF), sebuah organisasi yang dikelola negara, yang membantu pembelot Korut menemukan fakta bahwa 17% dari 3.000 orang yang disurvei mengatakan mereka telah mengalami diskriminasi selama 12 bulan sebelumnya.
Meskipun turun dari tahun sebelumnya, hal itu menunjukkan prasangka masyarakat Korsel terhadap pembelot dari Korut masih berlangsung. Menurut laporan itu, para pembelot menghadapi hambatan dalam pendidikan, akomodasi, dan kesempatan kerja.
Seorang pembelot, Yeong-nam Eom, yang melarikan diri dari Korut pada 2010 dan berafiliasi dengan organisasi nirlaba Freedom Speakers International (FSI) yang berbasis di Seoul, mengatakan, dia mengalami diskriminasi saat melamar pekerjaan.
"Awalnya, saya mengirimkan resume saya lebih dari 100 kali dengan semua latar belakang saya. Termasuk pendidikan dan pengalaman kerja saya di Korut,” kata Eom.
"Tapi, tidak ada satu pun perusahaan yang mengundang saya untuk wawancara. Jadi, saya hanya memasukkan pengalaman saya di Korsel pada resume saya dan saya dengan cepat mulai mendapat telepon dari perusahaan,” lanjutnya.
Dua negara yang menjadi tujuan utama para pembelot Korut adalah China dan Korea Selatan (Korsel). Namun, setelah berhasil melarikan diri, para pembelot nyatanya menghadapi tantangan berat untuk menyesuaikan diri dengan rumah baru mereka. Aktivis kemanusiaan mengatakan, Seoul harus berbuat lebih banyak untuk membantu para pembelot itu.
Seperti dilaporkan Deutsche Welle, Senin (25/10/2021), lebih dari 30.000 warga Korut telah membelot ke Selatan sejak kelaparan melanda Korut pada 1990-an. Menurut Kementerian Unifikasi Korsel, jumlah pembelot Korut turun dari 1.000 orang pada 2019, menjadi hanya 229 orang di tahun 2020. Hal ini terjadi setelah Korut melakukan kontrol perbatasan yang ketat untuk mencegah penyebaran virus corona.
Ironisnya, beberapa warga Korut yang berhasil lolos dari ketatnya pembatasan di perbatasan, akan terus menghadapi prasangka di Korsel. Sebuah studi yang dirilis pada bulan Februari oleh Korea Hana Foundation (KHF), sebuah organisasi yang dikelola negara, yang membantu pembelot Korut menemukan fakta bahwa 17% dari 3.000 orang yang disurvei mengatakan mereka telah mengalami diskriminasi selama 12 bulan sebelumnya.
Meskipun turun dari tahun sebelumnya, hal itu menunjukkan prasangka masyarakat Korsel terhadap pembelot dari Korut masih berlangsung. Menurut laporan itu, para pembelot menghadapi hambatan dalam pendidikan, akomodasi, dan kesempatan kerja.
Seorang pembelot, Yeong-nam Eom, yang melarikan diri dari Korut pada 2010 dan berafiliasi dengan organisasi nirlaba Freedom Speakers International (FSI) yang berbasis di Seoul, mengatakan, dia mengalami diskriminasi saat melamar pekerjaan.
"Awalnya, saya mengirimkan resume saya lebih dari 100 kali dengan semua latar belakang saya. Termasuk pendidikan dan pengalaman kerja saya di Korut,” kata Eom.
"Tapi, tidak ada satu pun perusahaan yang mengundang saya untuk wawancara. Jadi, saya hanya memasukkan pengalaman saya di Korsel pada resume saya dan saya dengan cepat mulai mendapat telepon dari perusahaan,” lanjutnya.