Sekolah Menengah Putri Masih Ditutup, Gadis Remaja Afghanistan Meratapi Nasib
loading...
A
A
A
KABUL - Seorang remaja putri Afghanistan yang tinggal di Kabul, Rahela Nussrat (17), saat ini sedang berada di tahun terakhir sekolah menengahnya. Tetapi, dia belum bisa menghadiri kelas. Alasannya: penguasa baru Afghanistan telah memutuskan untuk melarang gadis remaja untuk bersekolah untuk saat ini.
Bulan lalu, Taliban mengumumkan sekolah akan dibuka, tetapi hanya anak laki-laki dari segala usia yang diminta untuk kembali ke sekolah. Taliban masih belum memperbolehkan kaum perempuan untuk bersekolah. Langkah tersebut menimbulkan pertanyaan tentang kebijakan kelompok tersebut mengenai pendidikan bagi kaum perempuan.
Taliban mengatakan "lingkungan belajar yang aman" diperlukan sebelum anak perempuan yang lebih tua dapat kembali ke sekolah. Taliban juga menambahkan bahwa sekolah akan dibuka kembali "sesegera mungkin", tanpa memberikan jangka waktu.
“Pendidikan adalah salah satu hak asasi manusia yang paling mendasar. Tetapi, hari ini, hak dasar itu telah diambil dari saya dan jutaan gadis Afghanistan lainnya,” kata Nussrat kepada Al Jazeera, Kamis (14/10/2021).
Afghanistan telah berjuang untuk mendapatkan anak perempuan kembali ke sekolah selama pemerintahan Presiden Ashraf Ghani yang didukung Barat. Menurut survei 2015 yang disiapkan untuk UNESCO oleh Forum Pendidikan Dunia, hampir 50 persen sekolah Afghanistan tidak memiliki bangunan yang dapat digunakan.
Lebih dari 2,2 juta anak perempuan Afghanistan tidak dapat bersekolah baru-baru ini, seperti tahun lalu. Dan, 60 persen dari total anak putus sekolah di negara itu. Ketidakjelasan Taliban tentang pembukaan kembali sekolah menengah telah memperparah masalah dan merupakan pukulan bagi jutaan anak perempuan, terutama mereka yang keluarganya mengira akhir perang dapat kembali ke kehidupan normal.
“Ketika pemerintah Afghanistan jatuh, saya kehilangan hak atas pendidikan, ini pertama kalinya saya menangis karena jenis kelamin saya,” kata Nussrat. Dia mengaku masih tidak mengerti alasan menjauhkan gadis remaja dari pendidikan. Tetapi dia yakin, jika terus berlanjut, itu hanya akan menjadi bumerang bagi Taliban.
“Mereka terus mengatakan bahwa mereka ingin orang-orang muda tetap tinggal dan menggunakan bakat mereka, tetapi mereka hanya mengusir kita semua,” kata Nussrat melalui telepon dari rumahnya di Kabul.
Ribuan pemuda Afghanistan melarikan diri dari negara itu setelah Taliban kembali berkuasa pada 15 Agustus, 20 tahun setelah dilengserkan dari kekuasaan dalam invasi militer pimpinan AS. Nussrat melihat dirinya sebagai contoh. Saat ini Ia sedang mempersiapkan ujian bahasa Inggris sehingga dia dapat mendaftar untuk kesempatan belajar di luar negeri.
“Saya belajar selama 14 tahun di Kabul. Saya menjalani sekolah dasar dan menengah selama perang, tetapi sekarang saya harus meninggalkan negara itu,” katanya.
“Saya akan mendaftar ke universitas di luar negeri dan beberapa negara lain akan mengambil saya dan bakat saya, karena mereka tahu tidak mungkin untuk belajar di Afghanistan yang dipimpin Taliban,” lanjutnya.
Bulan lalu, Taliban mengumumkan sekolah akan dibuka, tetapi hanya anak laki-laki dari segala usia yang diminta untuk kembali ke sekolah. Taliban masih belum memperbolehkan kaum perempuan untuk bersekolah. Langkah tersebut menimbulkan pertanyaan tentang kebijakan kelompok tersebut mengenai pendidikan bagi kaum perempuan.
Taliban mengatakan "lingkungan belajar yang aman" diperlukan sebelum anak perempuan yang lebih tua dapat kembali ke sekolah. Taliban juga menambahkan bahwa sekolah akan dibuka kembali "sesegera mungkin", tanpa memberikan jangka waktu.
“Pendidikan adalah salah satu hak asasi manusia yang paling mendasar. Tetapi, hari ini, hak dasar itu telah diambil dari saya dan jutaan gadis Afghanistan lainnya,” kata Nussrat kepada Al Jazeera, Kamis (14/10/2021).
Afghanistan telah berjuang untuk mendapatkan anak perempuan kembali ke sekolah selama pemerintahan Presiden Ashraf Ghani yang didukung Barat. Menurut survei 2015 yang disiapkan untuk UNESCO oleh Forum Pendidikan Dunia, hampir 50 persen sekolah Afghanistan tidak memiliki bangunan yang dapat digunakan.
Lebih dari 2,2 juta anak perempuan Afghanistan tidak dapat bersekolah baru-baru ini, seperti tahun lalu. Dan, 60 persen dari total anak putus sekolah di negara itu. Ketidakjelasan Taliban tentang pembukaan kembali sekolah menengah telah memperparah masalah dan merupakan pukulan bagi jutaan anak perempuan, terutama mereka yang keluarganya mengira akhir perang dapat kembali ke kehidupan normal.
“Ketika pemerintah Afghanistan jatuh, saya kehilangan hak atas pendidikan, ini pertama kalinya saya menangis karena jenis kelamin saya,” kata Nussrat. Dia mengaku masih tidak mengerti alasan menjauhkan gadis remaja dari pendidikan. Tetapi dia yakin, jika terus berlanjut, itu hanya akan menjadi bumerang bagi Taliban.
“Mereka terus mengatakan bahwa mereka ingin orang-orang muda tetap tinggal dan menggunakan bakat mereka, tetapi mereka hanya mengusir kita semua,” kata Nussrat melalui telepon dari rumahnya di Kabul.
Ribuan pemuda Afghanistan melarikan diri dari negara itu setelah Taliban kembali berkuasa pada 15 Agustus, 20 tahun setelah dilengserkan dari kekuasaan dalam invasi militer pimpinan AS. Nussrat melihat dirinya sebagai contoh. Saat ini Ia sedang mempersiapkan ujian bahasa Inggris sehingga dia dapat mendaftar untuk kesempatan belajar di luar negeri.
“Saya belajar selama 14 tahun di Kabul. Saya menjalani sekolah dasar dan menengah selama perang, tetapi sekarang saya harus meninggalkan negara itu,” katanya.
“Saya akan mendaftar ke universitas di luar negeri dan beberapa negara lain akan mengambil saya dan bakat saya, karena mereka tahu tidak mungkin untuk belajar di Afghanistan yang dipimpin Taliban,” lanjutnya.
(esn)