Demokrasi Malaysia Butuh Reformasi Struktural
loading...
A
A
A
Malaysia, menurut China, dikenal menerapkan politik partisan di mana partai politik hanya mementingkan kepentingannya tanpa kompromi.
Partai politik pun kurang bisa bekerja sama dengan partai politik rivalnya. “Itu menjadi bahaya ketika suatu kelompok memaksakan kehendaknya sehingga mengabaikan kepentingan nasional,” kata Chin.
Dengan begitu, solusi yang bisa ditawarkan adalah politik non-partisan di mana partai politik yang bermusuh bisa menemukan kompromi, seperti di Amerika Serikat dan Australia, serta Inggris.
“Setelah lebih dari 60 tahun Malaysia berdiri kini memasuki fase ketiga. Kini waktunya bagi kita untuk mengesampingkan politik dan menuju masa depan dengan yurisdiksi demokrasi,” ujar Chin. Dia pun mendukung PM mendatang bisa mampu mereformasi struktur untuk demokrasi Malaysia yang lebih baik.
Dalam pandangan KK Tan, analis politik dan pendiri Covid Research Centre, memandang Malaysia membutuhkan PM yang memiliki banyak kemampuan.
“PM harus orang yang memiliki kompetensi, keahlian kepemimpinan, dukungan berbasis kekuasaan, permainan angka dan janji yang dibuat masa lalu,” katanya dilansir New Straits Times. Hal paling penting bagi seorang PM yang kerap dilupakan adalah integritas.
“Dikarenakan banyak PM tidak memiliki integrritas menjadikan kurang kuat pertarungan kekuasaan lokal dan kenapa negara ini kacau seperti sekarang ini,” imbuhnya.
Muhyiddin naik menjadi PM Malaysia pada Maret tahun lalu karena menyusul hancurnya pemerintahan reformis berusia dua tahun yang dipimpin politikus senior Mahathir Mohamad.
Namun pemerintahan Muhyiddin menghadapi gejolak sejak hari pertama dia berkuasa. Mayoritas anggota parlemen meragukan kapabilitasnya dan legitimasinya terus-menerus dipertanyakan. Dia juga menghadapi tentangan dari pimpinan kelompok oposisi, Anwar Ibrahim.
Runtuhnya pemerintahan Muhyiddin memperpanjang periode drama politik di negara multi-etnis berpenduduk 32 juta jiwa itu.
Partai politik pun kurang bisa bekerja sama dengan partai politik rivalnya. “Itu menjadi bahaya ketika suatu kelompok memaksakan kehendaknya sehingga mengabaikan kepentingan nasional,” kata Chin.
Dengan begitu, solusi yang bisa ditawarkan adalah politik non-partisan di mana partai politik yang bermusuh bisa menemukan kompromi, seperti di Amerika Serikat dan Australia, serta Inggris.
“Setelah lebih dari 60 tahun Malaysia berdiri kini memasuki fase ketiga. Kini waktunya bagi kita untuk mengesampingkan politik dan menuju masa depan dengan yurisdiksi demokrasi,” ujar Chin. Dia pun mendukung PM mendatang bisa mampu mereformasi struktur untuk demokrasi Malaysia yang lebih baik.
Dalam pandangan KK Tan, analis politik dan pendiri Covid Research Centre, memandang Malaysia membutuhkan PM yang memiliki banyak kemampuan.
“PM harus orang yang memiliki kompetensi, keahlian kepemimpinan, dukungan berbasis kekuasaan, permainan angka dan janji yang dibuat masa lalu,” katanya dilansir New Straits Times. Hal paling penting bagi seorang PM yang kerap dilupakan adalah integritas.
“Dikarenakan banyak PM tidak memiliki integrritas menjadikan kurang kuat pertarungan kekuasaan lokal dan kenapa negara ini kacau seperti sekarang ini,” imbuhnya.
Muhyiddin naik menjadi PM Malaysia pada Maret tahun lalu karena menyusul hancurnya pemerintahan reformis berusia dua tahun yang dipimpin politikus senior Mahathir Mohamad.
Namun pemerintahan Muhyiddin menghadapi gejolak sejak hari pertama dia berkuasa. Mayoritas anggota parlemen meragukan kapabilitasnya dan legitimasinya terus-menerus dipertanyakan. Dia juga menghadapi tentangan dari pimpinan kelompok oposisi, Anwar Ibrahim.
Runtuhnya pemerintahan Muhyiddin memperpanjang periode drama politik di negara multi-etnis berpenduduk 32 juta jiwa itu.