Demokrasi Malaysia Butuh Reformasi Struktural

Jum'at, 20 Agustus 2021 - 08:32 WIB
loading...
Demokrasi Malaysia Butuh Reformasi Struktural
Anggota kabinet Malaysia berpose setelah rapat di Putrajaya, Malaysia, 16 Agustus 2021. Foto/REUTERS
A A A
KUALA LUMPUR - Pengunduran diri Perdana Menteri (PM) Malaysia Muhyiddin Yassin menimbulkan kekacauan politik setelah terjadi perseturuan di dalam koalisi pemerintahan.

Padahal, Muhyiddin baru berkuasa selama 17 bulan setelah menumbangkan PM Mahathir Mohamad. Seruan untuk memperbaiki demokrasi Malaysia pun mulai muncul ke permukaan.

Reformasi struktural untuk memperkuat demokrasi Malaysia menjadi solusi yang ditawarkan Roger Chin, Presiden Sabah Law Society, menyikapi ketidakstabilan politik yang tidak berakhir sejak pemilu umum 2018.



Dalam beberapa bulan lalu, Malaysia mengalami dua tantangan ketegangan konstitusional di saat kondisi pandemi.



Dua pemerintahan koalisi tumbang sejak pemilu 2018 dan dua PM mengundurkan diri sebelum masa kekuasaannya berakhir.



“Saat debu mulai mengendap di pergolakan politik lainnya, waktunya telah tiba untuk berhenti sejenak dan merenungkan,” kata China, dilansir The Star.

Dia mengatakan, anggota parlemen seharus mengamendemen Konstitusi Federal untuk mengimplementasikan undang-undang yang mengatur partai tidak boleh berpindah koalisi dan memisahkan kekuasaan antara Kantor Jaksa Publik dan Jaksa Agung. Dia menambahkan, anggota parlemen bisa mulai mengimplementasikan penurunan usia pemilih menjadi 18 tahun.

Malaysia, menurut China, dikenal menerapkan politik partisan di mana partai politik hanya mementingkan kepentingannya tanpa kompromi.

Partai politik pun kurang bisa bekerja sama dengan partai politik rivalnya. “Itu menjadi bahaya ketika suatu kelompok memaksakan kehendaknya sehingga mengabaikan kepentingan nasional,” kata Chin.

Dengan begitu, solusi yang bisa ditawarkan adalah politik non-partisan di mana partai politik yang bermusuh bisa menemukan kompromi, seperti di Amerika Serikat dan Australia, serta Inggris.

“Setelah lebih dari 60 tahun Malaysia berdiri kini memasuki fase ketiga. Kini waktunya bagi kita untuk mengesampingkan politik dan menuju masa depan dengan yurisdiksi demokrasi,” ujar Chin. Dia pun mendukung PM mendatang bisa mampu mereformasi struktur untuk demokrasi Malaysia yang lebih baik.

Dalam pandangan KK Tan, analis politik dan pendiri Covid Research Centre, memandang Malaysia membutuhkan PM yang memiliki banyak kemampuan.

“PM harus orang yang memiliki kompetensi, keahlian kepemimpinan, dukungan berbasis kekuasaan, permainan angka dan janji yang dibuat masa lalu,” katanya dilansir New Straits Times. Hal paling penting bagi seorang PM yang kerap dilupakan adalah integritas.

“Dikarenakan banyak PM tidak memiliki integrritas menjadikan kurang kuat pertarungan kekuasaan lokal dan kenapa negara ini kacau seperti sekarang ini,” imbuhnya.

Muhyiddin naik menjadi PM Malaysia pada Maret tahun lalu karena menyusul hancurnya pemerintahan reformis berusia dua tahun yang dipimpin politikus senior Mahathir Mohamad.

Namun pemerintahan Muhyiddin menghadapi gejolak sejak hari pertama dia berkuasa. Mayoritas anggota parlemen meragukan kapabilitasnya dan legitimasinya terus-menerus dipertanyakan. Dia juga menghadapi tentangan dari pimpinan kelompok oposisi, Anwar Ibrahim.

Runtuhnya pemerintahan Muhyiddin memperpanjang periode drama politik di negara multi-etnis berpenduduk 32 juta jiwa itu.

Setelah kemerdekaan dari Inggris pada 1957, Malaysia diperintah selama lebih dari enam dekade oleh koalisi yang didominasi oleh masyarakat muslim beretnis Melayu yang mayoritas di negara itu.

Selain pertanyaan tentang legitimasinya, Muhyiddin menghadapi kritik yang terus meningkat atas kegagalannya mengendalikan wabah virus Corona - laporan resmi menyebutkan ada lebih dari 1,1 juta kasus dan 12.000 kasus kematian.

Pada Januari, Muhyiddin membujuk Raja untuk menyatakan keadaan darurat nasional di Malaysia - keputusan politik pertama selama lebih dari setengah abad - yang diharapkan dapat menanggulangi pandemi.

Status darurat nasional ini dikritik kubu oposisi di parlemen, yang menyebut langkah Muhyiddin itu sebagai tameng untuk menghindari mosi tidak percaya. Posisi Muhyiddin akhirnya menjadi makin melemah setelah sekelompok anggota parlemen yang dulunya bersekutu dengannya menarik dukungan.
(sya)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.0912 seconds (0.1#10.140)