Bantu Rampungkan CoC dengan China, RI Harus Perluas Hubungan dengan Negara ASEAN
loading...
A
A
A
JAKARTA - Proses pembahasan Kode Perilaku atau Code of Conduct (CoC) antara ASEAN dan China sudah berjalan selama lebih dari satu dekade lamanya. Namun, sampai saat ini perjanjian yang diharapkan bisa mengurangi ketegangan di Laut China Selata n itu belum juga disepakati.
Peneliti Senior Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Evan Laksmana menuturkan bahwa Indonesia bisa berperan dalam perumusan dan penyelesaian CoC. Baca Juga: Jaga Keamanan Laut Indonesia, Intip Patroli KPLP di Perbatasan Kepulauan Riau dan Singapura
Untuk bisa melakukan hal ini, jelasnya, Indonesia harus mampu membangun dan memperluas hubungan erat dengan negara-negara ASEAN lainnya, khususnya mereka yang turut mengklaim kawasan Laut China Selatan, seperti Vietnam dan Malaysia.
“Menyamakan posisi dan membangun hubungan pertahanan dan keamanan dengan negara-negara yang mengklaim di Laut China Selatan akan membantu dalam proses negosiasi CoC,” ucapnya, saat berbicara dalam webinar berjudul Threat Assessment of China's South China Sea Policy pada Rabu (9/6/2021).
Dia lalu menuturkan, merumuskan CoC yang bermutu itu adalah hal yang terpenting dalam mengelola ketegangan di Laut China Selatan.
“Indonesia harus lebih tegas dalam membentuk dan memproduksi CoC yang berkualitas tinggi lebih baik dibandingkan dengan memenuhi tenggat waktu tertentu,” ungkapnya.
“CoC sendiri itu gunanya untuk manajemen ketegangan, bukan untuk penyelesaian perselisihan. Sembari menunggu CoC yang lebih berkualitas, kita jangan menaruh harapan pada CoC ini saja,” tukas Evan.
Di kesempatan yang sama, dia juga menyinggung soal kebijakan yang diambil pemerintah Indonesia dalam "melawan" agresi China di Laut Natuna Utara. Dia menyebut, kebijakan yag diambil hanya "menyenangkan" publik dalam negeri, tapi tidak ampuh cegah agresi China.
Dirinya menyinggung soal kebijakan pengerahan personel militer, jem tempur, hingga kapal perang ke Perairan Natuna Utara. Pengerahan ini dilakukan setelah beberapa kapal China tetap berlayar di perairan tersebut meski telah diusir oleh Badan Keamanan Laut Indonesia (Bakamla).
"Secara teori, kebijakan ini bagus untuk konsumsi publik dalam negeri, tetapi nyaris tidak menyelesaikan tantangan strategis yang dihadapi RI dari China di Natuna Utara," ucapnya pada Rabu (9/6/2021).
Menurutya, strategi militer seperti ini tidaklah efektif, Terlebih, ujarnya pemerintah hanya menerapkannya saat krisis terjadi.
Selain militer, dia juga menyinggung langkah-langkah diplomasi Indonesia untuk merespon aksi China di Laut Natuna Utara. Seperti diketahui, pemerintah Indonesia, melalui Kementerian Luar Negeri melayangkan protes diplomatik kepada China sebagai wujud ketidaksukaan atas manuver Beijing di perairan Natuna Utara.
Menurutnya, protes diplomatik seperti ini tetap penting meski tidak memberi dampak langsung untuk menyelesaikan masalah yang ada. Dia menyebut, dengan adanya protes diplomatik, posisi Indonesia dalam mempertahankan wilayah tersebut sebagai bagian kedaulatan terekam dan semakin kuat.
Evan menambahkan bahwa, Jakarta harus mulai memperluas opsi strategis dalam menangani China, terutama terkait klaimnya atas Laut Natuna Utara.
"Indonesia harus segera mempertimbangkan opsi strategis yang lebih luas, tidak hanya melalui diplomatik, tapi juga posisi strategisnya, termasuk menyelaraskan posisi strategis seluruh instrumen negara terkait saat krisis terjadi,"tukasnya.
Lihat Juga: 5 Negara Sahabat Korea Utara, Semua Musuh AS Termasuk Pemilik Bom Nuklir Terbanyak di Dunia
Peneliti Senior Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Evan Laksmana menuturkan bahwa Indonesia bisa berperan dalam perumusan dan penyelesaian CoC. Baca Juga: Jaga Keamanan Laut Indonesia, Intip Patroli KPLP di Perbatasan Kepulauan Riau dan Singapura
Untuk bisa melakukan hal ini, jelasnya, Indonesia harus mampu membangun dan memperluas hubungan erat dengan negara-negara ASEAN lainnya, khususnya mereka yang turut mengklaim kawasan Laut China Selatan, seperti Vietnam dan Malaysia.
“Menyamakan posisi dan membangun hubungan pertahanan dan keamanan dengan negara-negara yang mengklaim di Laut China Selatan akan membantu dalam proses negosiasi CoC,” ucapnya, saat berbicara dalam webinar berjudul Threat Assessment of China's South China Sea Policy pada Rabu (9/6/2021).
Dia lalu menuturkan, merumuskan CoC yang bermutu itu adalah hal yang terpenting dalam mengelola ketegangan di Laut China Selatan.
“Indonesia harus lebih tegas dalam membentuk dan memproduksi CoC yang berkualitas tinggi lebih baik dibandingkan dengan memenuhi tenggat waktu tertentu,” ungkapnya.
“CoC sendiri itu gunanya untuk manajemen ketegangan, bukan untuk penyelesaian perselisihan. Sembari menunggu CoC yang lebih berkualitas, kita jangan menaruh harapan pada CoC ini saja,” tukas Evan.
Di kesempatan yang sama, dia juga menyinggung soal kebijakan yang diambil pemerintah Indonesia dalam "melawan" agresi China di Laut Natuna Utara. Dia menyebut, kebijakan yag diambil hanya "menyenangkan" publik dalam negeri, tapi tidak ampuh cegah agresi China.
Dirinya menyinggung soal kebijakan pengerahan personel militer, jem tempur, hingga kapal perang ke Perairan Natuna Utara. Pengerahan ini dilakukan setelah beberapa kapal China tetap berlayar di perairan tersebut meski telah diusir oleh Badan Keamanan Laut Indonesia (Bakamla).
"Secara teori, kebijakan ini bagus untuk konsumsi publik dalam negeri, tetapi nyaris tidak menyelesaikan tantangan strategis yang dihadapi RI dari China di Natuna Utara," ucapnya pada Rabu (9/6/2021).
Menurutya, strategi militer seperti ini tidaklah efektif, Terlebih, ujarnya pemerintah hanya menerapkannya saat krisis terjadi.
Selain militer, dia juga menyinggung langkah-langkah diplomasi Indonesia untuk merespon aksi China di Laut Natuna Utara. Seperti diketahui, pemerintah Indonesia, melalui Kementerian Luar Negeri melayangkan protes diplomatik kepada China sebagai wujud ketidaksukaan atas manuver Beijing di perairan Natuna Utara.
Menurutnya, protes diplomatik seperti ini tetap penting meski tidak memberi dampak langsung untuk menyelesaikan masalah yang ada. Dia menyebut, dengan adanya protes diplomatik, posisi Indonesia dalam mempertahankan wilayah tersebut sebagai bagian kedaulatan terekam dan semakin kuat.
Evan menambahkan bahwa, Jakarta harus mulai memperluas opsi strategis dalam menangani China, terutama terkait klaimnya atas Laut Natuna Utara.
"Indonesia harus segera mempertimbangkan opsi strategis yang lebih luas, tidak hanya melalui diplomatik, tapi juga posisi strategisnya, termasuk menyelaraskan posisi strategis seluruh instrumen negara terkait saat krisis terjadi,"tukasnya.
Lihat Juga: 5 Negara Sahabat Korea Utara, Semua Musuh AS Termasuk Pemilik Bom Nuklir Terbanyak di Dunia
(ian)