Horor, 40 Mayat Diduga Korban COVID-19 Dibuang di Sungai Gangga India
loading...
A
A
A
NEW DELHI - Sekitar 40 mayat manusia yang diduga korban COVID-19 dibuang di Sungai Gangga di India . Temuan mengerikan itu diungkap para pejabat setempat.
Mereka mengatakan mayat-mayat itu ditemukan terdampar di tepi Sungai Gangga di perbatasan antara negara bagian Bihar dengan Uttar Pradesh.
Mengutip laporan NDTV, Selasa (11/5/2021), beberapa mayat terlihat ada bekas luka bakar. Mereka kemungkinan akibat kremasi massal pasien COVID-19 yang meninggal.
"Ada kemungkinan mayat-mayat ini telah keluar dari Uttar Pradesh," kata pejabat setempat Ashok Kumar kepada BBC.
Menurut laporan media lokal, rumah sakit swasta sekarang membebankan biaya yang sangat besar kepada warga untuk mengeluarkan mayat-mayat kerabat mereka dari ambulans.
Penduduk mengatakan situasi yang mengerikan membuat beberapa warga tidak punya pilihan selain membuang anggota keluarga mereka yang telah meninggal ke sungai.
“Rumah sakit swasta menjarah orang. Orang biasa tidak memiliki uang untuk membayar pendeta dan menghabiskan lebih banyak untuk kremasi di tepi sungai," kata warga setempat, Chandra Mohan.
"Mereka meminta 2.000 rupee hanya untuk mengeluarkan jenazah dari ambulans. Sungai telah menjadi jalan terakhir mereka sehingga orang-orang membenamkan mayat ke sungai."
India saat ini telah mencatat lebih dari 22,6 juta kasus COVID-19 dan 246.116 kematian sejak dimulainya pandemi.
Gelombang infeksi COVID-19 di India saat ini menyumbang separuh dari angka kasus COVID-19 harian dunia selama lebih dari seminggu. Kondisi itu telah membuat pemerintah bertekuk lutut saat dunia mencari solusi.
WHO telah menyatakan gelombang kedua COVID-19 di India sebagai krisis, mengirimkan ribuan pekerja tambahan untuk membantu sistem perawatan kesehatan mereka, yang telah berjuang dengan kekurangan oksigen dan ICU yang tidak cukup selama berminggu-minggu.
Mungkin yang lebih mengkhawatirkan, para pejabat sekarang memperingatkan gelombang ketiga "tak terhindarkan". Pada Rabu pekan lalu, penasihat ilmiah utama India K. Vijay Raghavan mengatakan negara berpenduduk 1,3 miliar itu harus siap menghadapi gelombang infeksi lain setelah gelombang saat ini.
“Fase 3 tidak bisa dihindari mengingat tingginya tingkat virus yang bersirkulasi. Tetapi tidak jelas pada skala waktu apa fase 3 ini akan terjadi. Kita harus mempersiapkan gelombang baru," kata Raghavan dalam konferensi pers.
Temuan mengerikan di Sungai Gangga terjadi setelah para ilmuwan mengecam pemerintah India karena "menyia-nyiakan" keberhasilan awal dalam mengelola wabah COVID-19. Kecaman itu mereka tulis dalam jurnal medis The Lancet.
Para ilmuwan mengatakan upaya Perdana Menteri Narendra Modi "untuk membungkam kritik" saat krisis COVID-19 meningkat "tidak dapat dimaafkan".
Itu terjadi ketika pakar penyakit menular terkemuka Amerika Serikat Anthony Fauci mengatakan bahwa India harus "ditutup" untuk mengendalikan wabah yang menghancurkan itu.
“Anda harus ditutup. Saya yakin beberapa negara bagian India telah melakukan itu, tetapi Anda perlu memutus rantai penularan, dan salah satu cara untuk melakukannya adalah dengan menutupnya," kata penasihat virus korona Gedung Putih itu kepada ABC's This Week pada hari Minggu.
Mereka mengatakan mayat-mayat itu ditemukan terdampar di tepi Sungai Gangga di perbatasan antara negara bagian Bihar dengan Uttar Pradesh.
Mengutip laporan NDTV, Selasa (11/5/2021), beberapa mayat terlihat ada bekas luka bakar. Mereka kemungkinan akibat kremasi massal pasien COVID-19 yang meninggal.
"Ada kemungkinan mayat-mayat ini telah keluar dari Uttar Pradesh," kata pejabat setempat Ashok Kumar kepada BBC.
Menurut laporan media lokal, rumah sakit swasta sekarang membebankan biaya yang sangat besar kepada warga untuk mengeluarkan mayat-mayat kerabat mereka dari ambulans.
Penduduk mengatakan situasi yang mengerikan membuat beberapa warga tidak punya pilihan selain membuang anggota keluarga mereka yang telah meninggal ke sungai.
“Rumah sakit swasta menjarah orang. Orang biasa tidak memiliki uang untuk membayar pendeta dan menghabiskan lebih banyak untuk kremasi di tepi sungai," kata warga setempat, Chandra Mohan.
"Mereka meminta 2.000 rupee hanya untuk mengeluarkan jenazah dari ambulans. Sungai telah menjadi jalan terakhir mereka sehingga orang-orang membenamkan mayat ke sungai."
India saat ini telah mencatat lebih dari 22,6 juta kasus COVID-19 dan 246.116 kematian sejak dimulainya pandemi.
Gelombang infeksi COVID-19 di India saat ini menyumbang separuh dari angka kasus COVID-19 harian dunia selama lebih dari seminggu. Kondisi itu telah membuat pemerintah bertekuk lutut saat dunia mencari solusi.
WHO telah menyatakan gelombang kedua COVID-19 di India sebagai krisis, mengirimkan ribuan pekerja tambahan untuk membantu sistem perawatan kesehatan mereka, yang telah berjuang dengan kekurangan oksigen dan ICU yang tidak cukup selama berminggu-minggu.
Mungkin yang lebih mengkhawatirkan, para pejabat sekarang memperingatkan gelombang ketiga "tak terhindarkan". Pada Rabu pekan lalu, penasihat ilmiah utama India K. Vijay Raghavan mengatakan negara berpenduduk 1,3 miliar itu harus siap menghadapi gelombang infeksi lain setelah gelombang saat ini.
“Fase 3 tidak bisa dihindari mengingat tingginya tingkat virus yang bersirkulasi. Tetapi tidak jelas pada skala waktu apa fase 3 ini akan terjadi. Kita harus mempersiapkan gelombang baru," kata Raghavan dalam konferensi pers.
Temuan mengerikan di Sungai Gangga terjadi setelah para ilmuwan mengecam pemerintah India karena "menyia-nyiakan" keberhasilan awal dalam mengelola wabah COVID-19. Kecaman itu mereka tulis dalam jurnal medis The Lancet.
Para ilmuwan mengatakan upaya Perdana Menteri Narendra Modi "untuk membungkam kritik" saat krisis COVID-19 meningkat "tidak dapat dimaafkan".
Itu terjadi ketika pakar penyakit menular terkemuka Amerika Serikat Anthony Fauci mengatakan bahwa India harus "ditutup" untuk mengendalikan wabah yang menghancurkan itu.
“Anda harus ditutup. Saya yakin beberapa negara bagian India telah melakukan itu, tetapi Anda perlu memutus rantai penularan, dan salah satu cara untuk melakukannya adalah dengan menutupnya," kata penasihat virus korona Gedung Putih itu kepada ABC's This Week pada hari Minggu.
(min)