Ruqyah dan Pemerkosaan 'Korektif', Terapi Konversi LGBT yang Kontroversial di Indonesia
loading...
A
A
A
“Ini hanyalah penipuan. Saya harap tidak ada yang terbuai olehnya. Polisi harus menyelidiki kelompok ini," katanya, seperti dikutip dari South China Morning Post, Senin (26/4/2021).
"Kami telah mendokumentasikan bagaimana pernyataan pejabat yang bias dan tidak benar tentang lesbian, gay, biseksual, dan transgender [LGBT] memberikan sanksi sosial atas pelecehan dan kekerasan terhadap LGBT Indonesia, dan bahkan ancaman pembunuhan oleh militan Islamis.”
Harsono mengatakan, tidak membantu lembaga negara seperti Komisi Penyiaran Nasional dan Komisi Perlindungan Anak Nasional mengeluarkan arahan sensor yang melarang informasi dan siaran yang menggambarkan kehidupan orang LGBT secara normal.
“Kombinasi retorika diskriminatif dan keputusan kebijakan tersebut telah merugikan keamanan fisik dan hak kebebasan berekspresi kelompok LGBT di seluruh Indonesia,” imbuh dia.
Pelangi Nusantara, sebuah organisasi hak-hak LGBT Indonesia, mengatakan dalam sebuah pernyataan anggotanya “sangat marah dan kecewa karena praktik-praktik yang tidak manusiawi [seperti 'terapi seks'] dijajakan sebagai obat untuk homoseksualitas”.
“Bisnis lokal ini diberikan kebebasan untuk beroperasi di Indonesia sementara otoritas sipil dan pemimpin agama menutup mata terhadap betapa ekstremnya penganiayaan seperti itu,” katanya.
Christine, transpuan di Bekasi, mengatakan bahwa meskipun situs "Terapi Konversi" mungkin telah ditutup, terapi konversi masih banyak dilakukan di Indonesia—terutama di daerah-daerah yang secara agama konservatif.
Dia mengatakan pendidikan anggota keluarga dan komunitas LGBT Indonesia adalah kunci, jika orang lain ingin terhindar dari pengalaman traumatis yang harus dia tanggung.
“Saya berharap lebih banyak orang akan mendukung terapi konversi dan mendidik keluarga orang LGBT tentang keragaman gender. Otoritas juga perlu dididik karena mereka masih menganggap orang dengan penis harus bersikap seperti laki-laki," ujarnya.
"Kami telah mendokumentasikan bagaimana pernyataan pejabat yang bias dan tidak benar tentang lesbian, gay, biseksual, dan transgender [LGBT] memberikan sanksi sosial atas pelecehan dan kekerasan terhadap LGBT Indonesia, dan bahkan ancaman pembunuhan oleh militan Islamis.”
Harsono mengatakan, tidak membantu lembaga negara seperti Komisi Penyiaran Nasional dan Komisi Perlindungan Anak Nasional mengeluarkan arahan sensor yang melarang informasi dan siaran yang menggambarkan kehidupan orang LGBT secara normal.
“Kombinasi retorika diskriminatif dan keputusan kebijakan tersebut telah merugikan keamanan fisik dan hak kebebasan berekspresi kelompok LGBT di seluruh Indonesia,” imbuh dia.
Pelangi Nusantara, sebuah organisasi hak-hak LGBT Indonesia, mengatakan dalam sebuah pernyataan anggotanya “sangat marah dan kecewa karena praktik-praktik yang tidak manusiawi [seperti 'terapi seks'] dijajakan sebagai obat untuk homoseksualitas”.
“Bisnis lokal ini diberikan kebebasan untuk beroperasi di Indonesia sementara otoritas sipil dan pemimpin agama menutup mata terhadap betapa ekstremnya penganiayaan seperti itu,” katanya.
Christine, transpuan di Bekasi, mengatakan bahwa meskipun situs "Terapi Konversi" mungkin telah ditutup, terapi konversi masih banyak dilakukan di Indonesia—terutama di daerah-daerah yang secara agama konservatif.
Dia mengatakan pendidikan anggota keluarga dan komunitas LGBT Indonesia adalah kunci, jika orang lain ingin terhindar dari pengalaman traumatis yang harus dia tanggung.
“Saya berharap lebih banyak orang akan mendukung terapi konversi dan mendidik keluarga orang LGBT tentang keragaman gender. Otoritas juga perlu dididik karena mereka masih menganggap orang dengan penis harus bersikap seperti laki-laki," ujarnya.