Pengakuan Eks Diplomat Amerika: Teroris HTS Aset AS di Idlib Suriah

Senin, 05 April 2021 - 11:41 WIB
loading...
Pengakuan Eks Diplomat Amerika: Teroris HTS Aset AS di Idlib Suriah
Abu Mohammad al-Jolani, pemimpin kelompok Hayat Tahrir al-Sham (HTS), yang dinyatakan teroris oleh AS. Foto/PBS
A A A
DAMASKUS - James Jeffrey, mantan diplomat yang belum lama ini menjadi utusan khusus Amerika Serikat (AS) untuk berhubungan dengan Suriah membuat pengakuan mengejutkan. Dia mengatakan kelompok teroris Hayat Tahrir al-Sham (HTS) merupakan aset untuk strategi Amerika di Idlib, Suriah .

Jeffrey pernah menjabat duta besar AS untuk negara-negara Timur Tengah, termasuk Irak dan Turki. Dia baru-baru ini menjadi utusan khusus AS untuk koalisi global melawan ISIS selama pemerintahan Presiden Donald Trump.



"Mereka adalah pilihan paling buruk dari berbagai opsi di Idlib, dan Idlib adalah salah satu tempat terpenting di Suriah, yang merupakan salah satu tempat terpenting saat ini di Timur Tengah," kata Jeffrey dalam sebuah wawancara dengan koresponden FRONTLINE, Martin Smith, pada 8 Maret, yang dipublikasikan PBS, kemarin.

HTS, yang sebelumnya bernama Jabhat al-Nusra, sudah lama dinyatakan sebagai kelompok teroris oleh AS, Rusia, Turki dan Dewan Keamanan PBB. Kelompok itu dipimpin oleh Abu Mohammad al-Jolani.

Selama lebih dari dua dekade, kehidupan Jolani telah menjadi peta jalan kelompok militan yang mengatasnamakan Islam di Irak dan Suriah.

Dia bergabung dalam perang melawan pasukan AS di Irak dan pernah dipenjara oleh Amerika. Dia menjadi komandan dalam kelompok yang dikenal sebagai Islamic State of Iraq (ISI). Dia mendirikan afiliasi al-Qaeda di Suriah dan kemudian memutuskan hubungan dengan al-Qaeda dan ISI, menyerang dengan kelompoknya sendiri untuk menentang Presiden Suriah Bashar al-Assad.

Amerika Serikat telah memberinya label teroris sejak 2013 dan menawarkan hadiah USD10 juta untuk informasi yang mengarah pada penangkapannya.

Saat ini, Jolani adalah pemimpin kekuatan paling dominan di wilayah Suriah yang dikuasai oposisi. Dari markasnya di sudut barat laut negara itu, dia dan organisasinya telah berperang melawan pasukan Assad, sekutu Assad; Rusia dan Iran, dan bekas sekutu Jolani sendiri di ISIS dan al-Qaeda.

Smith, seorang jurnalis Amerika, juga mewawancarai Jolani untuk pertama kalinya. Jolani mengatakan bahwa perannya dalam memerangi Assad dan ISIS, dan dalam mengendalikan daerah dengan jutaan pengungsi Suriah, mencerminkan kepentingan yang sama dengan Amerika Serikat dan Barat.

Jolani memberi tahu Smith bahwa kelompoknya, HTS, tidak menimbulkan ancaman bagi Amerika Serikat, dan pemerintah Biden harus menghapusnya dari daftar teroris yang telah ditetapkan sebelumnya.

“Pertama dan terpenting, kawasan ini tidak mewakili ancaman bagi keamanan Eropa dan Amerika,” kata Jolani kepada Smith. “Wilayah ini bukanlah tempat pertempuran untuk melaksanakan jihad asing.”

Smith yang bepergian ke Suriah dari Turki, melakukan wawancara dengan Jolani pada 1 Februari dan 14 Februari 2021. Wawancara itu akan menjadi bagian dari film dokumenter FRONTLINE mendatang yang memeriksa kemunculan Jolani sebagai militan Islamis terkemuka dan usahanya, terlepas dari sejarahnya dengan al-Qaeda dan tuduhan pelanggaran hak asasi manusia, untuk memposisikan dirinya sebagai kekuatan yang berpengaruh di masa depan Suriah.

Smith bertanya kepada Jolani mengapa orang harus menganggapnya sebagai pemimpin di Suriah jika dia telah ditetapkan sebagai teroris oleh AS, PBB dan negara lain. Jolani menyebut penunjukan teroris itu sebagai keputusan "tidak adil" dan "politis".

Jolani mengatakan bahwa meskipun dia telah mengkritik kebijakan Barat terhadap Timur Tengah, "Kami tidak mengatakan kami ingin berperang."



Jolani mengatakan keterlibatannya dengan al-Qaeda telah berakhir, dan bahkan di masa lalu kelompoknya menentang melakukan operasi di luar Suriah.

Wawancara itu berlangsung di provinsi Idlib, di mana HTS telah bekerja untuk membangun otoritas sipil melalui apa yang disebut "pemerintahan keselamatan".

Idlib, salah satu kantong perlawanan terakhir yang tersisa terhadap rezim Assad, telah menjadi rumah bagi sekitar 3 juta warga sipil, banyak di antaranya melarikan diri dari bagian lain Suriah.

Selama beberapa tahun terakhir, Idlib mendapat serangan dari pasukan Suriah, Rusia, dan Iran, di mana Turki mendukung kelompok oposisi—termasuk dan terkadang kelompok Jolani. Langkah Turki ini membingungkan karena negara itu juga menetapkan HTS sebagai kelompok teroris.
(min)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.0910 seconds (0.1#10.140)