Kelompok itu menggunakan ponsel pintar untuk melakukan doxxing terhadap ratusan orang kerabat junta. Data-data pribadi kerabat militer yang dicap pengkhianat itu dibeberkan dalam sebuah situs web sehingga orang-orang yang marah dengan tindakan militer bisa dengan mudah memburu mereka.
Baca juga: Menelisik Bom Makassar, Terorisme Keluarga dan Warisan ISIS
Negara itu berada dalam kekacauan sejak militer menggulingkan pemimpin sipil Aung San Suu Kyi pada 1 Februari lalu. Jumlah korban tewas akibat kekerasan telah meningkat lebih dari 500 orang saat junta militer berupaya untuk meredam perbedaan pendapat.
Kemarahan dan kesedihan atas tindakan keras militer disalurkan ke dalam kampanye online. Situs dan halaman Facebook terkait kampanye itu memiliki 67.000 pengikut sebelum ditutup. Isinya merinci informasi pribadi orang-orang dari kerabat junta, seperti tempat kerja, universitas, dan tautan ke akun media sosial mereka.
Baca Juga:
“Kami di sini untuk menghukum keluarga militer atau orang-orang yang mendukung militer. Jangan pernah memaafkan, jangan pernah lupa!," bunyi halaman Facebook tersebut.
Pihak Facebook menutup halaman tersebut karena melanggar standar komunitas, tetapi halaman lain dengan jumlah pengikut yang lebih kecil masih ada.
"Kami akan terus memantau situasi di lapangan di Myanmar," kata seorang juru bicara Facebook.
Menurut laporan media lokal, konsekuensi dari hukuman sosial telah mengakibatkan beberapa korban terpaksa menutup bisnis online mereka dan seorang mahasiswa Myanmar di Jepang berhenti kuliah.
Kampanye ini memiliki cakupan yang lebih luas daripada kampanye yang memiliki hubungan keluarga dengan militer, di mana orang-orang yang tidak berpartisipasi dalam aksi mogok kerja sebagai pembangkangan sipil juga menjadi sasaran. Kalangan jurnalis yang meliput konferensi pers junta militer ikut jadi target.
"Bagi orang Burma [Myanmar] yang tinggal di luar negeri, memberikan 'hukuman sosial' kepada mereka yang memiliki koneksi junta membantu meringankan rasa ketidakberdayaan mereka saat mereka menonton dari jauh," kata Cho Yee Latt, kelahiran Yangon, yang sekarang tinggal di Singapura.
“Orang (Myanmar) di Singapura tidak bisa berbuat apa-apa, jadi mereka merasa sangat stres...mereka sangat marah,” katanya kepada AFP, Jumat (2/4/2021).
Cho Yee Latt mengatakan dia menghubungi majikannya di Singapura dari seorang wanita Myanmar yang memiliki pacar tentara dan mem-posting pesan pro-kudeta secara online.