Bos NATO Tiba-tiba Ubah Sikap, Bilang Rusia dan China Bukan Ancaman
loading...
A
A
A
BRUSSELS - Sekretaris Jenderal NATO Jens Stolteberg tiba-tiba mengubah sikap dengan mengatakan tidak ada ancaman serangan militer yang akan segera terjadi dari Rusia atau China terhadap negara anggota aliansi tersebut.
Stoltenberg membuat pernyataan itu—agak tidak biasa mengingat retorika NATO yang biasanya keras anti-Rusia—selama pidatonya di depan Komite Urusan Luar Negeri Parlemen Uni Eropa pada hari Senin.
“Saya ditanya tentang apakah saya melihat adanya ancaman terhadap sekutu NATO dari China atau dari Rusia. Saya tidak melihat adanya ancaman serangan militer terhadap sekutu NATO mana pun," katanya.
Kendati demikian, bos NATO itu menegaskan bahwa keberadaan blok yang dia pimpin tersebut adalah alasan utama untuk situasi seperti itu.
"Tapi satu alasan untuk itu adalah bahwa kita memiliki NATO dan sistem pertahanan kolektif 'semua untuk satu dan satu untuk semua'," paparnya merujuk pada Pasal 5 dari perjanjian NATO yang menetapkan bahwa serangan terhadap satu negara anggota NATO memicu respons dari seluruh aliansi.
"Itulah salah satu alasan utama mengapa kami mampu menjaga perdamaian di Eropa selama lebih dari 70 tahun," katanya, seperti dikutip Russia Today, Selasa (16/3/2021).
Namun, Stoltenberg masih menyesali apa yang disebutnya "perilaku destabilisasi Rusia" dan "kebangkitan China" di antara tantangan keamanan utama untuk blok tersebut—bersama dengan terorisme, serangan siber dan perubahan iklim.
Bulan lalu, Sekjen NATO bersikeras bahwa aliansi militer dari 30 negara Eropa dan negara-negara Amerika Utara akan senang untuk bekerjasama dengan Rusia, tetapi juga siap untuk konfrontasi jika diperlukan. Dia juga menyerukan agar lebih banyak dana dialokasikan untuk meningkatkan kehadiran pasukan blok itu di dekat perbatasan Rusia.
Ketegangan antara NATO dan Moskow telah memuncak sejak 2014 ketika Crimea bergabung kembali dengan Rusia setelah referendum, yang oleh Ukraina dan negara-negara Barat dianggap sebagai aneksasi oleh Rusia.
Blok tersebut menanggapi dengan mengerahkan lebih banyak pasukan dan perangkat keras militer di Eropa Timur, sementara secara tajam mengintensifkan patroli udara dan laut di wilayah tersebut.
Bertentangan dengan klaim berulang dari Polandia, negara-negara Baltik dan lainnya, Moskow telah membantah menyembunyikan niat agresif terhadap setiap anggota NATO—dan telah melabeli penumpukan pasukan NATO dan latihan militer di "depan pintu"-nya sebagai ancaman keamanan utama bagi benua itu, dengan alasan bahwa itu hanya meningkatkan potensi konflik secara nyata.
Stoltenberg membuat pernyataan itu—agak tidak biasa mengingat retorika NATO yang biasanya keras anti-Rusia—selama pidatonya di depan Komite Urusan Luar Negeri Parlemen Uni Eropa pada hari Senin.
“Saya ditanya tentang apakah saya melihat adanya ancaman terhadap sekutu NATO dari China atau dari Rusia. Saya tidak melihat adanya ancaman serangan militer terhadap sekutu NATO mana pun," katanya.
Kendati demikian, bos NATO itu menegaskan bahwa keberadaan blok yang dia pimpin tersebut adalah alasan utama untuk situasi seperti itu.
"Tapi satu alasan untuk itu adalah bahwa kita memiliki NATO dan sistem pertahanan kolektif 'semua untuk satu dan satu untuk semua'," paparnya merujuk pada Pasal 5 dari perjanjian NATO yang menetapkan bahwa serangan terhadap satu negara anggota NATO memicu respons dari seluruh aliansi.
"Itulah salah satu alasan utama mengapa kami mampu menjaga perdamaian di Eropa selama lebih dari 70 tahun," katanya, seperti dikutip Russia Today, Selasa (16/3/2021).
Namun, Stoltenberg masih menyesali apa yang disebutnya "perilaku destabilisasi Rusia" dan "kebangkitan China" di antara tantangan keamanan utama untuk blok tersebut—bersama dengan terorisme, serangan siber dan perubahan iklim.
Bulan lalu, Sekjen NATO bersikeras bahwa aliansi militer dari 30 negara Eropa dan negara-negara Amerika Utara akan senang untuk bekerjasama dengan Rusia, tetapi juga siap untuk konfrontasi jika diperlukan. Dia juga menyerukan agar lebih banyak dana dialokasikan untuk meningkatkan kehadiran pasukan blok itu di dekat perbatasan Rusia.
Ketegangan antara NATO dan Moskow telah memuncak sejak 2014 ketika Crimea bergabung kembali dengan Rusia setelah referendum, yang oleh Ukraina dan negara-negara Barat dianggap sebagai aneksasi oleh Rusia.
Blok tersebut menanggapi dengan mengerahkan lebih banyak pasukan dan perangkat keras militer di Eropa Timur, sementara secara tajam mengintensifkan patroli udara dan laut di wilayah tersebut.
Bertentangan dengan klaim berulang dari Polandia, negara-negara Baltik dan lainnya, Moskow telah membantah menyembunyikan niat agresif terhadap setiap anggota NATO—dan telah melabeli penumpukan pasukan NATO dan latihan militer di "depan pintu"-nya sebagai ancaman keamanan utama bagi benua itu, dengan alasan bahwa itu hanya meningkatkan potensi konflik secara nyata.
(min)