Siswi Prancis Bohong tentang Guru yang Dipenggal karena Kartun Nabi Muhammad
loading...
A
A
A
PARIS - Seorang siswi pemicu kampanye kebencian online terhadap guru Prancis setelah guru itu menunjukkan kartun Nabi Muhammad kepada para siswa mengaku berbohong dan menyebarkan klaim palsu tentang korban.
Siswi itu mengeklaim gurunya, Samuel Paty, yang dipenggal oleh seorang ekstremis di jalan pada Oktober tahun lalu, telah meminta para murid yang beragama Islam untuk meninggalkan kelas ketika dia menunjukkan kartun tersebut.
Ayah siswi yang tak disebutkan namanya itu kemudian mengajukan pengaduan hukum dan memperkuat tuduhan tersebut secara online. Kampanye kebencian online itulah yang mengarahkan seorang pengungsi Chechnya yang berusia 18 tahun melacak Paty di kota Conflans-Sainte-Honourine, barat laut Paris, dan kemudian memenggalnya.
"Dia berbohong karena merasa terjebak dalam spiral karena teman-teman sekelasnya memintanya menjadi juru bicara,” kata pengacara siswi itu, Mbeko Tabula, kepada AFP yang dilansir Selasa (9/3/2021). Pernyataan pengacara itu sekaligus membenarkan laporan serupa sebelumnya oleh surat kabar Parisien.
Paty menunjukkan kartun tersebut—yang pertama kali diterbitkan di majalah Charlie Hebdo dan dianggap ofensif oleh banyak Muslim—selama mengajar tentang kewarganegaraan di mana para siswa memperdebatkan kebebasan berbicara dan penistaan agama.
Anak sekolah, yang sudah diancam akan dikeluarkan karena masalah disiplin, tidak ada di dalam kelas ketika Paty mengajar.
Sejak saat itu, siswi yang membuat klaim palsu tentang Paty tersebut dituduh memfitnah, sementara ayahnya dan pria lain—seorang pengkhotbah dan juru kampanye Islam—telah didakwa dengan tuduhan "keterlibatan dalam pembunuhan".
Pemenggal Paty ditembak mati oleh polisi tak lama setelah melakukan serangan.
Surat kabar Parisien kemarin melaporkan bahwa kontak terakhir pelaku pemenggalan itu adalah dengan seseorang di Suriah yang merupakan anggota kelompok “jihadis”.
Rancangan undang-undang keamanan baru yang sedang dibahas di parlemen Prancis akan menjadikan hal seperti yang dilakukan siswi itu sebagai pelanggaran yang dapat dipenjara. Alasannya, karena mempublikasikan informasi secara online tentang pegawai negeri yang dapat membahayakan pegawai tersebut.
Siswi itu mengeklaim gurunya, Samuel Paty, yang dipenggal oleh seorang ekstremis di jalan pada Oktober tahun lalu, telah meminta para murid yang beragama Islam untuk meninggalkan kelas ketika dia menunjukkan kartun tersebut.
Ayah siswi yang tak disebutkan namanya itu kemudian mengajukan pengaduan hukum dan memperkuat tuduhan tersebut secara online. Kampanye kebencian online itulah yang mengarahkan seorang pengungsi Chechnya yang berusia 18 tahun melacak Paty di kota Conflans-Sainte-Honourine, barat laut Paris, dan kemudian memenggalnya.
"Dia berbohong karena merasa terjebak dalam spiral karena teman-teman sekelasnya memintanya menjadi juru bicara,” kata pengacara siswi itu, Mbeko Tabula, kepada AFP yang dilansir Selasa (9/3/2021). Pernyataan pengacara itu sekaligus membenarkan laporan serupa sebelumnya oleh surat kabar Parisien.
Paty menunjukkan kartun tersebut—yang pertama kali diterbitkan di majalah Charlie Hebdo dan dianggap ofensif oleh banyak Muslim—selama mengajar tentang kewarganegaraan di mana para siswa memperdebatkan kebebasan berbicara dan penistaan agama.
Anak sekolah, yang sudah diancam akan dikeluarkan karena masalah disiplin, tidak ada di dalam kelas ketika Paty mengajar.
Sejak saat itu, siswi yang membuat klaim palsu tentang Paty tersebut dituduh memfitnah, sementara ayahnya dan pria lain—seorang pengkhotbah dan juru kampanye Islam—telah didakwa dengan tuduhan "keterlibatan dalam pembunuhan".
Pemenggal Paty ditembak mati oleh polisi tak lama setelah melakukan serangan.
Surat kabar Parisien kemarin melaporkan bahwa kontak terakhir pelaku pemenggalan itu adalah dengan seseorang di Suriah yang merupakan anggota kelompok “jihadis”.
Rancangan undang-undang keamanan baru yang sedang dibahas di parlemen Prancis akan menjadikan hal seperti yang dilakukan siswi itu sebagai pelanggaran yang dapat dipenjara. Alasannya, karena mempublikasikan informasi secara online tentang pegawai negeri yang dapat membahayakan pegawai tersebut.
(min)