Tahun Baru Imlek: Orang-orang China Terjebak dan Tak Berdaya di Luar Negeri
loading...
A
A
A
SINGAPURA - Yang, seorang warga negara China yang bekerja di Singapura selama lebih dari satu dekade, biasanya terbangpulang ke kampung halamannya di Wuhan, China tengah, setiap tahun untuk merayakan Tahun Baru Imlek bersama keluarganya. Tapi ini adalah tahun kedua berturut-turut dia melewatkan mudik tahunannya.
“Sungguh perasaan yang sangat menyedihkan tidak dapat merayakan tahun baru bersama keluarga dan teman-teman saya di rumah,” kata pria berusia 29 tahun tersebut, yang bekerja di industri pendidikan. "Dan lebih buruk lagi tidak mengetahui kapan saya bisa melihat mereka selanjutnya.”
Tahun lalu, Yang—yang hanya ingin diidentifikasi dengan nama belakangnya—membatalkan rencananya untuk mudik setelah pihak berwenang China memberlakukan penguncian ketat di provinsi Hubei, pusat awal pandemi virus corona baru (COVID-19) yang mematikan. Pada saat itu, virus tersebut tak hanya merenggut beberapa lusin nyawa dan menginfeksi sekitar seribu orang, tetapi juga mengacaukan perayaan nasional dari hari libur paling penting di China.
Kali ini, dengan virus Corona SARS-CoV-2 penyebab COVID-19 yang masih berkecamuk di seluruh dunia. Rasa ketidakpastian dan kerugian tetap ada di antara warga negara China yang tinggal di luar negeri sebagai daftar pertimbangan yang lebih panjang membuat mereka tidak berada di rumah, di antaranya adalah harga tiket pesawat yang lebih tinggi, masa karantina yang lama, dan risiko terinfeksi dalam perjalanan kembali.
Yang, yang terakhir melihat keluarganya di Wuhan pada Oktober 2019, mengatakan biaya tiket pesawat pulang telah melonjak drastis karena terbatasnya jumlah penerbangan ke China—harga tiket perjalanan hingga SD1.600 untuk satu putaran. Biasanya, sekitar SD600.
You Feifei, 45, warga Shenyang yang bekerja di sebuah restoran kebab di distrik Chinatown Singapura, mengatakan bahwa periode karantina wajib bagi para pelancong yang memasuki daratan China "tidak masuk akal" baginya. Itulah alasan utama dia tidak punya rencana untuk mudik.
Saat ini, pemerintah China mengamanatkan agar pelancong yang masuk menjalani karantina "terpusat" selama 14 hari di fasilitas yang ditentukan, seperti hotel, diikuti dengan masa isolasi tujuh hari di kediaman mereka sendiri.
Situasinya bahkan lebih mengerikan bagi mereka yang tidak memiliki koneksi udara langsung ke provinsi asal mereka. Amy, 33, dari Jiangxi yang bekerja di industri e-commerce Singapura, mengatakan dia kemungkinan akan diminta untuk menjalani karantina awal di bandara besar mana pun tempat dia pertama kali mendarat di China, kemudian menghadapi karantina lain setelah tiba di tujuan akhir.
“Sungguh perasaan yang sangat menyedihkan tidak dapat merayakan tahun baru bersama keluarga dan teman-teman saya di rumah,” kata pria berusia 29 tahun tersebut, yang bekerja di industri pendidikan. "Dan lebih buruk lagi tidak mengetahui kapan saya bisa melihat mereka selanjutnya.”
Tahun lalu, Yang—yang hanya ingin diidentifikasi dengan nama belakangnya—membatalkan rencananya untuk mudik setelah pihak berwenang China memberlakukan penguncian ketat di provinsi Hubei, pusat awal pandemi virus corona baru (COVID-19) yang mematikan. Pada saat itu, virus tersebut tak hanya merenggut beberapa lusin nyawa dan menginfeksi sekitar seribu orang, tetapi juga mengacaukan perayaan nasional dari hari libur paling penting di China.
Kali ini, dengan virus Corona SARS-CoV-2 penyebab COVID-19 yang masih berkecamuk di seluruh dunia. Rasa ketidakpastian dan kerugian tetap ada di antara warga negara China yang tinggal di luar negeri sebagai daftar pertimbangan yang lebih panjang membuat mereka tidak berada di rumah, di antaranya adalah harga tiket pesawat yang lebih tinggi, masa karantina yang lama, dan risiko terinfeksi dalam perjalanan kembali.
Yang, yang terakhir melihat keluarganya di Wuhan pada Oktober 2019, mengatakan biaya tiket pesawat pulang telah melonjak drastis karena terbatasnya jumlah penerbangan ke China—harga tiket perjalanan hingga SD1.600 untuk satu putaran. Biasanya, sekitar SD600.
You Feifei, 45, warga Shenyang yang bekerja di sebuah restoran kebab di distrik Chinatown Singapura, mengatakan bahwa periode karantina wajib bagi para pelancong yang memasuki daratan China "tidak masuk akal" baginya. Itulah alasan utama dia tidak punya rencana untuk mudik.
Saat ini, pemerintah China mengamanatkan agar pelancong yang masuk menjalani karantina "terpusat" selama 14 hari di fasilitas yang ditentukan, seperti hotel, diikuti dengan masa isolasi tujuh hari di kediaman mereka sendiri.
Situasinya bahkan lebih mengerikan bagi mereka yang tidak memiliki koneksi udara langsung ke provinsi asal mereka. Amy, 33, dari Jiangxi yang bekerja di industri e-commerce Singapura, mengatakan dia kemungkinan akan diminta untuk menjalani karantina awal di bandara besar mana pun tempat dia pertama kali mendarat di China, kemudian menghadapi karantina lain setelah tiba di tujuan akhir.