Biden Pamer Otot Kebijakan Luar Negeri: Amerika Kembali
loading...
A
A
A
WASHINGTON - Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden menjanjikan era baru setelah mengkritik sejumlah kebijakan luar negeri pendahulunya, Donald Trump .
Biden menegaskan "Amerika kembali" di panggung global dalam pidato diplomatik pertamanya sebagai presiden.
Baca Juga: Laporan Kongres: AS Harus Tunda Penarikan Pasukan di Afghanistan
Dalam pidatonya, Biden mengisyaratkan pendekatan agresif ke China dan Rusia, mendesak para pemimpin militer Myanmar menghentikan kudeta.
Dia juga menyatakan diakhirinya dukungan AS untuk kampanye militer yang dipimpin Arab Saudi di Yaman.
Baca Juga: Menhan Iran: AS dan Israel Gunakan Terorisme untuk Perkuat Pengaruh
“Kepemimpinan Amerika harus menghadapi momen baru menguatnya otoritarianisme, termasuk ambisi China yang berkembang untuk menyaingi Amerika Serikat dan tekad Rusia untuk merusak dan mengganggu demokrasi kita. Kita harus menghadapi momen baru cepatnya tantangan global dari pandemi hingga krisis iklim serta proliferasi nuklir,” ungkap Biden.
Lihat infografis: Blinken: Iran Hampir Miliki Semua Bahan Baku Produksi Bom Nuklir
Trump membuat marah para pemimpin Eropa dan Asia dengan tarif, pecahnya aliansi global, dan ancaman menarik pasukan AS. Dia tidak berbuat banyak untuk melawan gelombang otoritarianisme di beberapa negara.
Setelah massa yang terinspirasi oleh Trump menyerang US Capitol pada 6 Januari, aliansi dan lawan asing sama-sama menyatakan keraguan tentang kesehatan demokrasi AS.
Pidato Biden pada Kamis (4/2) adalah upaya menghilangkan keraguan itu dan meyakinkan rakyat Amerika tentang nilai pendekatan internasional yang kuat.
“Berinvestasi dalam diplomasi kita bukanlah sesuatu yang kita lakukan hanya karena itu hal yang benar untuk dunia,” papar dia.
“Kita melakukannya untuk hidup damai, aman, dan sejahtera. Kita melakukannya karena itu demi kepentingan pribadi kami sendiri," ungkap dia.
Pilihan Biden atas Departemen Luar Negeri (Deplu) AS sebagai tempat untuk pidato diplomatik besar pertamanya adalah simbol penting dari nilai yang dia tempatkan pada diplomat karir, yang sebagian besar dilihat Trump sebagai lawannya.
“Aliansi Amerika adalah aset terbesar kita. Dan memimpin dengan diplomasi berarti berdiri bahu membahu dengan sekutu dan mitra utama kita sekali lagi,” papar Biden.
Biden di masa awal pemerintahannya berusaha memperbaiki apa yang disebutnya sebagai kerusakan pada posisi Amerika di penjuru dunia. Dia pun mencabut berbagai kebijakan Trump.
Biden bekerja menghidupkan kembali kesepakatan Iran dan memperbarui keanggotaan AS dalam kesepakatan Paris dan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Dia menantang Presiden Rusia Vladimir Putin.
“Saya menjelaskan kepada Presiden Putin, dengan cara yang sangat berbeda dari pendahulu saya, bahwa hari-hari Amerika Serikat berguling-guling di hadapan tindakan agresif Rusia, mengganggu pemilu kita, serangan siber, meracuni warganya, telah berakhir,” tegas Biden.
Trump awalnya mencari hubungan yang hangat dengan Presiden China Xi Jinping, tetapi konflik perdagangan, Hong Kong dan apa yang disebut militer AS sebagai perilaku tidak stabil dan agresif Beijing di Laut China Selatan memicu keretakan.
China memperluas militernya dan berupaya menumbuhkan pengaruhnya di dunia. Beijing mungkin merupakan tantangan internasional terbesar Biden saat dia memulai masa kepresidenannya.
Biden menyebut Beijing sebagai "pesaing kita yang paling serius".
“Kami akan menghadapi pelanggaran ekonomi China, melawan tindakan agresif dan koersifnya untuk mendorong kembali serangan China terhadap hak asasi manusia, kekayaan intelektual, dan pemerintahan global. Tapi kami siap bekerja dengan Beijing jika Amerika berkepentingan untuk melakukannya," papar dia.
Tidak semua sekutu AS mungkin senang dengan perubahan tajam dalam kebijakan luar negeri AS, termasuk Polandia, di mana Trump pernah berjanji mengerahkan pasukan AS, atau sejumlah negara yang mengkritik intervensi keras oleh Washington di masa lalu.
“Kita adalah negara yang melakukan hal-hal besar. Diplomasi Amerika mewujudkannya dan pemerintahan kami siap mengambil alih dan memimpin sekali lagi,” tegas Biden.
Biden menegaskan "Amerika kembali" di panggung global dalam pidato diplomatik pertamanya sebagai presiden.
Baca Juga: Laporan Kongres: AS Harus Tunda Penarikan Pasukan di Afghanistan
Dalam pidatonya, Biden mengisyaratkan pendekatan agresif ke China dan Rusia, mendesak para pemimpin militer Myanmar menghentikan kudeta.
Dia juga menyatakan diakhirinya dukungan AS untuk kampanye militer yang dipimpin Arab Saudi di Yaman.
Baca Juga: Menhan Iran: AS dan Israel Gunakan Terorisme untuk Perkuat Pengaruh
“Kepemimpinan Amerika harus menghadapi momen baru menguatnya otoritarianisme, termasuk ambisi China yang berkembang untuk menyaingi Amerika Serikat dan tekad Rusia untuk merusak dan mengganggu demokrasi kita. Kita harus menghadapi momen baru cepatnya tantangan global dari pandemi hingga krisis iklim serta proliferasi nuklir,” ungkap Biden.
Lihat infografis: Blinken: Iran Hampir Miliki Semua Bahan Baku Produksi Bom Nuklir
Trump membuat marah para pemimpin Eropa dan Asia dengan tarif, pecahnya aliansi global, dan ancaman menarik pasukan AS. Dia tidak berbuat banyak untuk melawan gelombang otoritarianisme di beberapa negara.
Setelah massa yang terinspirasi oleh Trump menyerang US Capitol pada 6 Januari, aliansi dan lawan asing sama-sama menyatakan keraguan tentang kesehatan demokrasi AS.
Pidato Biden pada Kamis (4/2) adalah upaya menghilangkan keraguan itu dan meyakinkan rakyat Amerika tentang nilai pendekatan internasional yang kuat.
“Berinvestasi dalam diplomasi kita bukanlah sesuatu yang kita lakukan hanya karena itu hal yang benar untuk dunia,” papar dia.
“Kita melakukannya untuk hidup damai, aman, dan sejahtera. Kita melakukannya karena itu demi kepentingan pribadi kami sendiri," ungkap dia.
Pilihan Biden atas Departemen Luar Negeri (Deplu) AS sebagai tempat untuk pidato diplomatik besar pertamanya adalah simbol penting dari nilai yang dia tempatkan pada diplomat karir, yang sebagian besar dilihat Trump sebagai lawannya.
“Aliansi Amerika adalah aset terbesar kita. Dan memimpin dengan diplomasi berarti berdiri bahu membahu dengan sekutu dan mitra utama kita sekali lagi,” papar Biden.
Biden di masa awal pemerintahannya berusaha memperbaiki apa yang disebutnya sebagai kerusakan pada posisi Amerika di penjuru dunia. Dia pun mencabut berbagai kebijakan Trump.
Biden bekerja menghidupkan kembali kesepakatan Iran dan memperbarui keanggotaan AS dalam kesepakatan Paris dan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Dia menantang Presiden Rusia Vladimir Putin.
“Saya menjelaskan kepada Presiden Putin, dengan cara yang sangat berbeda dari pendahulu saya, bahwa hari-hari Amerika Serikat berguling-guling di hadapan tindakan agresif Rusia, mengganggu pemilu kita, serangan siber, meracuni warganya, telah berakhir,” tegas Biden.
Trump awalnya mencari hubungan yang hangat dengan Presiden China Xi Jinping, tetapi konflik perdagangan, Hong Kong dan apa yang disebut militer AS sebagai perilaku tidak stabil dan agresif Beijing di Laut China Selatan memicu keretakan.
China memperluas militernya dan berupaya menumbuhkan pengaruhnya di dunia. Beijing mungkin merupakan tantangan internasional terbesar Biden saat dia memulai masa kepresidenannya.
Biden menyebut Beijing sebagai "pesaing kita yang paling serius".
“Kami akan menghadapi pelanggaran ekonomi China, melawan tindakan agresif dan koersifnya untuk mendorong kembali serangan China terhadap hak asasi manusia, kekayaan intelektual, dan pemerintahan global. Tapi kami siap bekerja dengan Beijing jika Amerika berkepentingan untuk melakukannya," papar dia.
Tidak semua sekutu AS mungkin senang dengan perubahan tajam dalam kebijakan luar negeri AS, termasuk Polandia, di mana Trump pernah berjanji mengerahkan pasukan AS, atau sejumlah negara yang mengkritik intervensi keras oleh Washington di masa lalu.
“Kita adalah negara yang melakukan hal-hal besar. Diplomasi Amerika mewujudkannya dan pemerintahan kami siap mengambil alih dan memimpin sekali lagi,” tegas Biden.
(sya)