Nasib Suu Kyi: Bintang Demokrasi, Tutup Mata Genosida Rohingya, Dikudeta Militer
loading...
A
A
A
Oktober 2016
Militan Rohingya menyerang tiga pos perbatasan polisi di Negara Bagian Rakhine, menewaskan sembilan petugas polisi. Militer Myanmar kemudian melakukan operasi keamanan, mengakibatkan sekitar 70.000 orang meninggalkan wilayah itu menuju negara tetangga Bangladesh.
25 Agustus 2017
Militan Rohingya melancarkan serangan di seluruh Rakhine, memicu kampanye yang dipimpin militer yang mendorong lebih dari 730.000 warga Rohingya yang didominasi Muslim ke Bangladesh. PBB mengatakan kampanye pembunuhan massal, pemerkosaan, dan pembakaran dilakukan dengan "niat genosida" telah terjadi. Namun Suu Kyi mengatakan "teroris" berada di balik "gunung es kesalahan informasi".
Baca Juga: Produktivitas Sawit Indonesia Kalah dari Malaysia, Ini Penyebabnya
Januari 2019
Pertempuran baru dimulai di Rakhine antara pasukan pemerintah Myanmar dan Tentara Arakan (AA), sebuah kelompok pemberontak yang mencari otonomiwilayah yang lebih besar. Suu Kyi mendesak tentara untuk "menghancurkan" para pemberontak.
11 November 2019
Gambia, negara mayoritas Muslim, mengajukan kasus genosida terhadap Myanmar di Mahkamah Kriminal Internasional (ICJ) atas pengusiran etnis Muslim Rohingya.
11 Desember 2019
Suu Kyi muncul di ICJ di Den Haag dan menolak tuduhan genosida terhadap etnis Rohingya sebagai "informasi tidak lengkap dan menyesatkan", tetapi mengatakan kejahatan perang mungkin telah dilakukan.
September 2020
Virus corona baru melanda Myanmar, yang sebelumnya sebagian besar selamat. Pemerintah mengunci Yangon, ibu kota komersial, dan daerah lain tetapi bersikeras pemilihan umum (pemilu) 8 November harus tetap digelar.
22 September 2020
Thomas Andrews, penyelidik hak asasi manusia (HAM) PBB untuk Myanmar, mengatakan pemungutan suara akan gagal memenuhi standar internasional karena pencabutan hak ratusan ribu orang Rohingya. Dari setidaknya selusin orang Rohingya yang melamar untuk mencalonkan diri sebagai kandidat legislator dalam pemilu, enam di antaranya ditolak.
17 Oktober 2020
Komisi pemilu Myanmar membatalkan pemungutan suara di sebagian besar Negara Bagian Rakhine, di mana pertempuran antara pasukan pemerintah dengan pasukan pemberontk AA telah menewaskan puluhan orang dan membuat puluhan ribu orang mengungsi. "Beberapa daerah tidak dalam posisi untuk mengadakan pemilihan yang bebas dan adil," kata komisi tersebut kala itu.
3 November 2020
Panglima Militer Jenderal Min Aung Hlaing mengatakan pemerintah sipil membuat "kesalahan yang tidak dapat diterima" menjelang pemilu, sebuah peringatan kedua dalam dua hari tentang potensi bias dalam kecurangan pemungutan suara. Suu Kyi, melalui Facebook, menyerukan semua pihak tenang dan mendesak para pemilih untuk tidak diintimidasi.
Militan Rohingya menyerang tiga pos perbatasan polisi di Negara Bagian Rakhine, menewaskan sembilan petugas polisi. Militer Myanmar kemudian melakukan operasi keamanan, mengakibatkan sekitar 70.000 orang meninggalkan wilayah itu menuju negara tetangga Bangladesh.
25 Agustus 2017
Militan Rohingya melancarkan serangan di seluruh Rakhine, memicu kampanye yang dipimpin militer yang mendorong lebih dari 730.000 warga Rohingya yang didominasi Muslim ke Bangladesh. PBB mengatakan kampanye pembunuhan massal, pemerkosaan, dan pembakaran dilakukan dengan "niat genosida" telah terjadi. Namun Suu Kyi mengatakan "teroris" berada di balik "gunung es kesalahan informasi".
Baca Juga: Produktivitas Sawit Indonesia Kalah dari Malaysia, Ini Penyebabnya
Januari 2019
Pertempuran baru dimulai di Rakhine antara pasukan pemerintah Myanmar dan Tentara Arakan (AA), sebuah kelompok pemberontak yang mencari otonomiwilayah yang lebih besar. Suu Kyi mendesak tentara untuk "menghancurkan" para pemberontak.
11 November 2019
Gambia, negara mayoritas Muslim, mengajukan kasus genosida terhadap Myanmar di Mahkamah Kriminal Internasional (ICJ) atas pengusiran etnis Muslim Rohingya.
11 Desember 2019
Suu Kyi muncul di ICJ di Den Haag dan menolak tuduhan genosida terhadap etnis Rohingya sebagai "informasi tidak lengkap dan menyesatkan", tetapi mengatakan kejahatan perang mungkin telah dilakukan.
September 2020
Virus corona baru melanda Myanmar, yang sebelumnya sebagian besar selamat. Pemerintah mengunci Yangon, ibu kota komersial, dan daerah lain tetapi bersikeras pemilihan umum (pemilu) 8 November harus tetap digelar.
22 September 2020
Thomas Andrews, penyelidik hak asasi manusia (HAM) PBB untuk Myanmar, mengatakan pemungutan suara akan gagal memenuhi standar internasional karena pencabutan hak ratusan ribu orang Rohingya. Dari setidaknya selusin orang Rohingya yang melamar untuk mencalonkan diri sebagai kandidat legislator dalam pemilu, enam di antaranya ditolak.
17 Oktober 2020
Komisi pemilu Myanmar membatalkan pemungutan suara di sebagian besar Negara Bagian Rakhine, di mana pertempuran antara pasukan pemerintah dengan pasukan pemberontk AA telah menewaskan puluhan orang dan membuat puluhan ribu orang mengungsi. "Beberapa daerah tidak dalam posisi untuk mengadakan pemilihan yang bebas dan adil," kata komisi tersebut kala itu.
3 November 2020
Panglima Militer Jenderal Min Aung Hlaing mengatakan pemerintah sipil membuat "kesalahan yang tidak dapat diterima" menjelang pemilu, sebuah peringatan kedua dalam dua hari tentang potensi bias dalam kecurangan pemungutan suara. Suu Kyi, melalui Facebook, menyerukan semua pihak tenang dan mendesak para pemilih untuk tidak diintimidasi.