Nasib Suu Kyi: Bintang Demokrasi, Tutup Mata Genosida Rohingya, Dikudeta Militer

Senin, 01 Februari 2021 - 13:13 WIB
loading...
Nasib Suu Kyi: Bintang Demokrasi, Tutup Mata Genosida Rohingya, Dikudeta Militer
Pemimpin de facto Myanmar Aung San Suu Kyi ditangkap militer, Senin (2/1/2021). Diduga terjadi kudeta militer. Foto/REUTERS
A A A
YANGON - Pemimpin de facto Myanmar Daw Aung San Suu Kyi dan pejabat tinggi lain, termasuk Presiden U Win Myint, ditangkapi para tentara dini hari tadi (1/2/2021). Militer Myanmar telah mengambil alih kekuasaan alias kudeta terhadap pemerintah sipil pimpinan Suu Kyi.



Meski enggan mengakui telah melakukan kudeta, militer Myanmar telah mengumumkan keadaan darurat selama setahun dan menunjuk seorang jenderal sebagai Pelaksana Tugas (Plt) Presiden.

Kudeta militer terjadi setelah berminggu-minggu ketegangan antara kubu militer dengan kubu pemerintah sipil yang dikendalikan Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD), partainya Suu Kyi. Krisis politik ini pecah setelah pemilu November 2020 dimenangkan NLD secara telak, namun tidak diakui militer. Pihak militer menuduh pemilu dicurangi secara luas.

Baca Juga: Legenda Liverpool Sebut Mohamed Salah sebagai Pemain Rakus

Peristiwa hari ini kembali membuat Suu Kyi jadi sorotan dunia. Nasib politisi perempuan ini laksana zigzag, dari pemimpin gerakan demokrasi yang membuatnya dipenjara hingga dikecam secara internasional karena diam atas nasib etnis Muslim Rohingya yang oleh Komisi HAM PBB dinyatakan sebagai "contoh buku teks tentang pembersihan etnis".



Mengutip Reuters, berikut adalah timeline dari beberapa peristiwa penting dalam sejarah pergolakan Myanmar yang terkait dengan Suu Kyi:

November 2015
Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) memenangkan pemilihan umum (pemilu) dengan telak dan Suu Kyi mengambil alih kekuasaan dalam peran yang dibuat khusus sebagai penasihat negara. Dia bersumpah untuk menyelesaikan berbagai konflik etnis di negara itu, menarik investasi asing dan melanjutkan reformasi yang dimulai oleh mantan jenderal Thein Sein.

Baca Juga: Virus Nipah di China dengan Tingkat Kematian 75% Bisa Menjadi Pandemi Baru

Oktober 2016
Militan Rohingya menyerang tiga pos perbatasan polisi di Negara Bagian Rakhine, menewaskan sembilan petugas polisi. Militer Myanmar kemudian melakukan operasi keamanan, mengakibatkan sekitar 70.000 orang meninggalkan wilayah itu menuju negara tetangga Bangladesh.

25 Agustus 2017
Militan Rohingya melancarkan serangan di seluruh Rakhine, memicu kampanye yang dipimpin militer yang mendorong lebih dari 730.000 warga Rohingya yang didominasi Muslim ke Bangladesh. PBB mengatakan kampanye pembunuhan massal, pemerkosaan, dan pembakaran dilakukan dengan "niat genosida" telah terjadi. Namun Suu Kyi mengatakan "teroris" berada di balik "gunung es kesalahan informasi".

Baca Juga: Produktivitas Sawit Indonesia Kalah dari Malaysia, Ini Penyebabnya

Januari 2019
Pertempuran baru dimulai di Rakhine antara pasukan pemerintah Myanmar dan Tentara Arakan (AA), sebuah kelompok pemberontak yang mencari otonomiwilayah yang lebih besar. Suu Kyi mendesak tentara untuk "menghancurkan" para pemberontak.

11 November 2019
Gambia, negara mayoritas Muslim, mengajukan kasus genosida terhadap Myanmar di Mahkamah Kriminal Internasional (ICJ) atas pengusiran etnis Muslim Rohingya.

11 Desember 2019
Suu Kyi muncul di ICJ di Den Haag dan menolak tuduhan genosida terhadap etnis Rohingya sebagai "informasi tidak lengkap dan menyesatkan", tetapi mengatakan kejahatan perang mungkin telah dilakukan.

September 2020
Virus corona baru melanda Myanmar, yang sebelumnya sebagian besar selamat. Pemerintah mengunci Yangon, ibu kota komersial, dan daerah lain tetapi bersikeras pemilihan umum (pemilu) 8 November harus tetap digelar.

22 September 2020
Thomas Andrews, penyelidik hak asasi manusia (HAM) PBB untuk Myanmar, mengatakan pemungutan suara akan gagal memenuhi standar internasional karena pencabutan hak ratusan ribu orang Rohingya. Dari setidaknya selusin orang Rohingya yang melamar untuk mencalonkan diri sebagai kandidat legislator dalam pemilu, enam di antaranya ditolak.

17 Oktober 2020
Komisi pemilu Myanmar membatalkan pemungutan suara di sebagian besar Negara Bagian Rakhine, di mana pertempuran antara pasukan pemerintah dengan pasukan pemberontk AA telah menewaskan puluhan orang dan membuat puluhan ribu orang mengungsi. "Beberapa daerah tidak dalam posisi untuk mengadakan pemilihan yang bebas dan adil," kata komisi tersebut kala itu.

3 November 2020
Panglima Militer Jenderal Min Aung Hlaing mengatakan pemerintah sipil membuat "kesalahan yang tidak dapat diterima" menjelang pemilu, sebuah peringatan kedua dalam dua hari tentang potensi bias dalam kecurangan pemungutan suara. Suu Kyi, melalui Facebook, menyerukan semua pihak tenang dan mendesak para pemilih untuk tidak diintimidasi.

9 November 2020
NLD mengklaim kemenangan telak dalam pemilu parlemen. Juru bicara NLD, Myo Nyunt, mengatakan perolehan kursi parlemen oleh NLD diharapkan melampui 390.

11 November 2020
Oposisi utama, Partai Pembangunan dan Solidaritas Persatuan (USDP) yang didukung militer, menuntut pemilihan ulang dan menyerukan bantuan militer untuk memastikan keadilan. USDP menuduh ada kecurangan dalam pemungutan suara pemilu.

13 November 2020
NLD mengatakan akan berupaya membentuk pemerintahan persatuan nasional setelah hasil pemilu resmi menunjukkan bahwa mereka dengan mudah memenangkan kursi parlemen yang cukup untuk membentuk pemerintahan berikutnya.

26 Januari 2021
Juru bicara militer Angkatan Darat Brigadir Jenderal Zaw Min Tun memperingatkan pihaknya akan "mengambil tindakan" jika sengketa pemilu tidak diselesaikan dan menolak untuk mengesampingkan adanya kudeta, meminta komisi pemilu untuk menyelidiki daftar pemilih yang dikatakan mengandung ketidaksesuaian.

28 Januari 2021
Komisi pemilu menolak tuduhan adanya penipuan suara, dengan mengatakan tidak ada kesalahan yang cukup besar untuk memengaruhi kredibilitas suara dalam pemilu.

30 Januari 2021
Militer Myanmar mengatakan akan melindungi dan mematuhi konstitusi dan bertindak sesuai hukum. Demonstrasi pro-militer diadakan di beberapa kota besar, termasuk Yangon. Keesokan harinya, tentara "dengan tegas menyangkal" menghalangi transisi demokrasi dalam sebuah pernyataan di Facebook.

1 Februari 2021
Suu Kyi, Presiden U Win Myint dan tokoh senior lainnya dari partai yang berkuasa ditahan dalam penggerebekan dini hari. Internet dan beberapa layanan telepon terputus di Yangon dan tentara terlihat dikerahkan di luar balai kota. Meski tidak mengonfirmasi, militer telah mengambil alih kekuasaan alias kudeta terhadap pemerintah yang secara de facto dipimpin Suu Kyi.
(min)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1843 seconds (0.1#10.140)