Bongkar Borok HAM Australia, Rezim Kim Jong-un Diolok-olok
loading...
A
A
A
CANBERRA - Rezim Kim Jong-un yang berkuasa di Korea Utara (Korut) secara mengejutkan membongkar pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Australia . Namun, politisi Canberra dan jurnalis Barat merespons dengan mengolok-olok rezim Pyongyang.
Selama acara pertemuan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) minggu ini, perwakilan Korut; Kim Song, mengatakan Korea Utara terus mengkhawatirkan pelanggaran HAM di Australia. Dia kemudian melanjutkan dengan memberikan daftar bidang yang menjadi perhatiannya.
“Kami mengacu pada hukum hak asasi manusia internasional dan merekomendasikan Australia untuk mengikutinya,” katanya.
“Pertama, Australia harus mengakhiri rasisme yang mengakar dan perlakuan terhadap etnis minoritas," ujarnya.
"Kedua, menghentikan perlakuan tidak manusiawi di pusat penahanan. Ketiga, untuk memastikan hak bagi semua untuk berpartisipasi dalam pemilihan," lanjut Kim Song.
Komentar tersebut dibalas dengan ejekan secara brutal oleh beberapa komentator, termasuk anggota parlemen Liberal Dave Sharma yang mengatakan bahwa Korea Utara sedang membuat ironi.
Jurnalis Inggris Andrew Neil, seperti dikutip news.com.au, Jumat (22/1/2021) mengatakan komentar Kim Song "di luar parodi".
Rezim Korut selama ini dilaporkan mempertahankan ketakutan melalui penahanan sewenang-wenang, kerja paksa yang tidak dibayar, penyiksaan, penghilangan paksa, eksekusi dan menolak kebebasan dasar bagi warganya.
Tetapi komentar terhadap Australia sangat mengejutkan mengingat apa yang terjadi di Korea Utara saat ini.
Beberapa organisasi hak asasi manusia mengatakan negara komunis itu telah menghancurkan kebebasan lebih jauh dengan mengambil langkah-langkah "ekstrem" untuk menghentikan penyebaran COVID-19 dan ada laporan mengerikan tentang kelaparan massal yang bermunculan.
Negara ini telah menutup perbatasannya dengan China dan Rusia dengan perintah untuk "menembak tanpa syarat" pada pandangan siapa pun yang masuk tanpa izin.
Partai Buruh Korea Utara diketahui telah mengirim mereka yang melanggar aturan karantina ke kamp dan menetapkan mereka sebagai "penjahat khusus".
Dengan melakukan itu, mereka dapat mengirim warga ke kamp kerja paksa di mana rezim menempatkan mereka dalam kondisi yang mengerikan yang mengakibatkan kematian.
Seorang sumber di Korut mengatakan kepada berita North Korean (NK) News bahwa beberapa narapidana telah meninggal karena perlakuan kasar.
"Pemerintah Kim Jong-un menggunakan pembatasan COVID-19 sebagai dalih untuk lebih memperkuat pemerintahan totaliter dan menjaga warga Korea Utara terisolasi dari seluruh dunia," kata direktur advokasi Asia di Human Rights Watch, John Sifton.
Bangsa ini juga mulai kehabisan makanan karena penutupan perbatasan.
Pada pertengahan Desember, kantor berita AsiaPress yang berbasis di Jepang melaporkan bahwa penduduk beberapa kota yang kelaparan, termasuk anak-anak, setiap hari pergi ke pedesaan untuk mencari makanan.
“Orang-orang yang paling rentan di kota, termasuk para orang lanjut usia, sedang sekarat karena kekurangan gizi dan penyakit,” kata seorang reporter untuk publikasi tersebut.
Daily NK, yang berbasis di Ibu Kota Korea Selatan; Seoul, dan mengandalkan kontak di Korea Utara untuk liputannya, melukiskan gambaran yang suram untuk situasi saat ini di Korea Utara.
"Jika Anda makan dua kali sehari, Anda baik-baik saja," kata sumber dari negara tertutup itu kepada Daily NK. "Kebanyakan orang hanya makan satu kali makan bubur atau nasi yang dicampur dengan daun lobak sehari."
“Saat ini, Anda menemukan banyak tunawisma yang meninggal di pagi hari di sekitar stasiun kereta Hyesan atau Wiyon, dekat asrama universitas atau lokasi konstruksi,” kata sumber itu. "Dengan orang-orang yang mati kelaparan di sekitar, suasananya suram."
Ini bukan pertama kalinya bangsa ini menghadapi kelaparan massal. Kelaparan selama empat tahun pada pertengahan 1990-an—yang disebabkan oleh kekeringan, banjir, dan salah urus ekonomi kronis—diperkirakan telah menewaskan sebanyak 3,5 juta orang.
Selama acara pertemuan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) minggu ini, perwakilan Korut; Kim Song, mengatakan Korea Utara terus mengkhawatirkan pelanggaran HAM di Australia. Dia kemudian melanjutkan dengan memberikan daftar bidang yang menjadi perhatiannya.
“Kami mengacu pada hukum hak asasi manusia internasional dan merekomendasikan Australia untuk mengikutinya,” katanya.
“Pertama, Australia harus mengakhiri rasisme yang mengakar dan perlakuan terhadap etnis minoritas," ujarnya.
"Kedua, menghentikan perlakuan tidak manusiawi di pusat penahanan. Ketiga, untuk memastikan hak bagi semua untuk berpartisipasi dalam pemilihan," lanjut Kim Song.
Komentar tersebut dibalas dengan ejekan secara brutal oleh beberapa komentator, termasuk anggota parlemen Liberal Dave Sharma yang mengatakan bahwa Korea Utara sedang membuat ironi.
Jurnalis Inggris Andrew Neil, seperti dikutip news.com.au, Jumat (22/1/2021) mengatakan komentar Kim Song "di luar parodi".
Rezim Korut selama ini dilaporkan mempertahankan ketakutan melalui penahanan sewenang-wenang, kerja paksa yang tidak dibayar, penyiksaan, penghilangan paksa, eksekusi dan menolak kebebasan dasar bagi warganya.
Tetapi komentar terhadap Australia sangat mengejutkan mengingat apa yang terjadi di Korea Utara saat ini.
Beberapa organisasi hak asasi manusia mengatakan negara komunis itu telah menghancurkan kebebasan lebih jauh dengan mengambil langkah-langkah "ekstrem" untuk menghentikan penyebaran COVID-19 dan ada laporan mengerikan tentang kelaparan massal yang bermunculan.
Negara ini telah menutup perbatasannya dengan China dan Rusia dengan perintah untuk "menembak tanpa syarat" pada pandangan siapa pun yang masuk tanpa izin.
Partai Buruh Korea Utara diketahui telah mengirim mereka yang melanggar aturan karantina ke kamp dan menetapkan mereka sebagai "penjahat khusus".
Dengan melakukan itu, mereka dapat mengirim warga ke kamp kerja paksa di mana rezim menempatkan mereka dalam kondisi yang mengerikan yang mengakibatkan kematian.
Seorang sumber di Korut mengatakan kepada berita North Korean (NK) News bahwa beberapa narapidana telah meninggal karena perlakuan kasar.
"Pemerintah Kim Jong-un menggunakan pembatasan COVID-19 sebagai dalih untuk lebih memperkuat pemerintahan totaliter dan menjaga warga Korea Utara terisolasi dari seluruh dunia," kata direktur advokasi Asia di Human Rights Watch, John Sifton.
Bangsa ini juga mulai kehabisan makanan karena penutupan perbatasan.
Pada pertengahan Desember, kantor berita AsiaPress yang berbasis di Jepang melaporkan bahwa penduduk beberapa kota yang kelaparan, termasuk anak-anak, setiap hari pergi ke pedesaan untuk mencari makanan.
“Orang-orang yang paling rentan di kota, termasuk para orang lanjut usia, sedang sekarat karena kekurangan gizi dan penyakit,” kata seorang reporter untuk publikasi tersebut.
Daily NK, yang berbasis di Ibu Kota Korea Selatan; Seoul, dan mengandalkan kontak di Korea Utara untuk liputannya, melukiskan gambaran yang suram untuk situasi saat ini di Korea Utara.
"Jika Anda makan dua kali sehari, Anda baik-baik saja," kata sumber dari negara tertutup itu kepada Daily NK. "Kebanyakan orang hanya makan satu kali makan bubur atau nasi yang dicampur dengan daun lobak sehari."
“Saat ini, Anda menemukan banyak tunawisma yang meninggal di pagi hari di sekitar stasiun kereta Hyesan atau Wiyon, dekat asrama universitas atau lokasi konstruksi,” kata sumber itu. "Dengan orang-orang yang mati kelaparan di sekitar, suasananya suram."
Ini bukan pertama kalinya bangsa ini menghadapi kelaparan massal. Kelaparan selama empat tahun pada pertengahan 1990-an—yang disebabkan oleh kekeringan, banjir, dan salah urus ekonomi kronis—diperkirakan telah menewaskan sebanyak 3,5 juta orang.
(min)