Trump Tumbang, Apakah Era Populisme Akan Tenggelam?

Kamis, 03 Desember 2020 - 10:13 WIB
loading...
A A A
Pemimpin populis di Asia juga menunjukkan tren menguat. Di India, Perdana Menteri (PM) Narendra Modi justru menguat karena Partai Bharatiya Janata beraliran sayap kanan nasionalis berhasil memenangkan pemilu di negara bagian. Kemudian, popularitas Presiden Filipina Rodrigo Duterte juga cenderung meningkat.

Di Eropa tengah, tren populisme juga semakin meningkat. Di Polandia, Partai Hukum dan Keadilan yang berkuasa mendoronga pembelakuan hukum aborsi yang ditentang oposisi. Di Hungaria, Perdana Menteri Viktor Orbán mengajukan perubahan undang-undang untuk memperkuat kekuasaan. Di Prancis, Marine Le Pen yang memimpin kelompok kanan jauh juga tetap memperoleh dukungan luas. (Baca juga: Manfaat konsumsi Air Rebusan Jahe di Pagi Hari)

“Gerakan populis dari dari perubahan budaya jangka panjang, sehingga kamu tidak dapat memperkirakan mereka akan tenggelam. Meskipun citra brand itu rusak dengan kekakalah Trump sebagai pemimpin global populisme,” kata Pippa Norris dari Kennedy School of Government, Universitas Harvard, kepada CNN.

Pemimpin populis muncul dipicu sejumlah peristiwa besar seperti krisis keuangan pada 2007-2008 dan gelombang pengungsi ke Eropa pada 2015. Itu mendorong munculnya partai populis yang cenderung anti-imigran.

“Kita juga menghadapi Brexit pada pertengahan 2016, dan jika kita tidak menghadapi krisis pengungsi, saya pikir hasilnya tidak akan seperti itu,” jelasnya. Dia mengungkapkan, dunia seharusnya mengingat Trump baik konsekuensi dan perubahan karenanya. “Populisme di Eropa terus tumbuh karena Trump,” ujarnya.

Bagaimana kedepannya? “Populisme akan terus berkembang di saat krisis, terutama krisis ekonomi,” katanya. Dana Moneter Internasional (IMF) telah memproyek ekonomi dunia akan berkontraksi hingga 4,4% pada 2020. Sejauh ini, ekonomi turun 1% pada 2019 dikarenakan krisis keuangan ketika tingkat pengangguran melonjak hingga 212 juta orang. (Baca juga: DPR Harap Kerawanan Pilkada Papua Mampu Diredam)

Pandemi memang menjadi kekuatan yang tidak diprediksi. Di saat PM Selandia Baru Jacinda Ardern dan PM Australia Scott Morrison sukses mengatasi pandemi. Tapi, Bolsonaro, Putin dan Erdogan yang dianggap gagal mengatasi pandemi juga terus mengalami peningkatan popularitas.

Di Eropa, Daphne Halikiopoulou dari University of Reading di Inggris mengatakan, pemilu AS mampu menjadi penyemangat kubu kiri dan tengah-kiri. “Jika Trump menang, ada perayaan bagi kelompok populis kanan jauh karena mereka mengatakan, ‘lihat, ide kita menjadi mainstream’,” kata Halikiopoulou. Tapi, sinyal yang diperoleh dari pemilu AS adalah kubu kiri dan kanan akan mencoba mencari resep baru untuk bisa menggapai akses.

Di Brasil, pemilu lokal juga menunjukkan bahwa warga Brasil masih menginginkan pemimpin populis terus berkuasa. Pada 2022m Bolsonaro juga diprediksi akan kembali menang. “Bolsonaro memang kecewa dengan apa yang terjadi di AS,” kata Mark Langevin, direktur lembaga konsultan politik BrazilWorks. Tapi, peluang Bolsonaro, menurut Langevin, masih tetap kuat. (Lihat videonya: 5 Tips Aman Menerima Paket Disaat Pandemi)

Langevin mengungkapkan, Bolsonaro memang tidak membangun kekuatan komunikasi personal yang kuat dengan pers. Misalnya, ketika dia berkunjung keliling Brasil, tak ada sepatah kata yang diungkapannya. Tapi, dia hanya makan kue para politikus lokal. “Rakyat Brasil pun sudah senang dengan gaya komunikasi seperti itu,” ujarnya.(Andika H Mustaqim)
Halaman :
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1712 seconds (0.1#10.140)