Perusahaan Farmasi Siap Produksi Satu Miliar Vaksin Covid-19 Tahun Depan
loading...
A
A
A
NEW YORK - Harapan baru soal vaksin corona terus bermunculan. Kini perusahaan raksasa kesehatan Johnson & Johnson siap memproduksi satu miliar vaksin virus corona (Covid-19) pada tahun depan.
Chief Scientific Officer Johnson & Johnson Paul Stoffels mengatakan kepada ABC News bahwa mereka akan meningkatkan skala produksi di pabrik dan memulai memproduksi vaksin pada akhir tahun ini. “Akan menjadi semakin hebat jika penyakit (Covid-19) akan musnah secepatnya, tetapi kita tidak berpikir demikian,” kata Stoffels. Apalagi, virus corona telah menyebar ke seluruh dunia dengan cepat. “Virus corona mustahil hilang tanpa ada vaksin,” imbuhnya.
Pada 30 Maret lalu Johnson & Johnson mengumumkan telah memiliki kandidat vaksin virus corona dan mengantisipasi uji pada manusia pada September 2020. Johnson & Johnson juga bermitra dengan Pemerintah Amerika Serikat (AS) dalam pengembangan vaksin. Pemerintahan Presiden Donald Trump telah memberikan hibah senilai setengah miliar dolar untuk membantu penelitian Johnson & Johnson.
Idealnya, produksi vaksin umumnya butuh lima hingga tujuh tahun. Namun, karena pandemi ini telah menyebar, Johnson & Johnson harus menyesuaikan jadwal dan waktu untuk menemukan vaksin.
Selain pengembangan vaksin, obat antibodi juga dikembangkan banyak lembaga penelitian. “Kita membutuhkan segala upaya dengan pihak lainnya untuk meneliti vaksin virus corona,” kata Presiden dan Chief Scientific Officer Firma Bioteknologi Regeneron, George Yancopoulos. Dia mengungkapkan, semua pihak harus melakukan upaya pencegahan dan pengobatan pasien Covid-19 hingga peneliti dan perusahaan farmasi mendapatkan vaksin. (Baca: Mengaku Buat Kesalahan, WHO Minta Pandemi Tidak Jadi Pion Politik)
Tidak seperti Johnson & Johnson, Regeneron mengembangkan perawatan antibodi Covid-19 yang didesain untuk mencegah dan menyembuhkan penyakit tersebut. Yancopoulos mengungkapkan, apa yang dilakukan vaksin adalah menghasilkan kekebalan di tubuh orang yang mengonsumsi vaksin. “Apa itu imunitas? Itu adalah antibodi yang melawan virus,” ucapnya.
Yancopoulos mengungkapkan, perawatan antibodi tidak bisa digantikan dengan vaksin. “Vaksin memberikan imunitas permanen untuk jumlah orang yang banyak,” katanya. Regeneron juga mengembangkan satu di antara obat yang mereka produksi, Kevzara, untuk merawat pasien Covid-19. Uji klinis obat tersebut akan dilaksanakan pada Juni mendatang.
Bukan hanya negara maju yang mengembangkan vaksin, Bharat Biotech, perusahaan berbasis di India, juga mengembangkan vaksin bernama CoroFlu. Mereka bekerja sama dengan Dewan Penelitian Medis India (ICMR). Proyek itu juga bekerja sama dengan Universitas Wisconsin dan perusahaan vaksin FluGen.
Bharat Biotech juga mengembangkan proyek CSIR-NMITLI, pengembangan antibodi untuk menetralisasi virus korona. Mereka berencana memproduksi antibodi dalam kurun waktu enam bulan mendatang. “Kita akan melakukan apa pun untuk menyukseskan program ini,” kata Direktur Operasional Bharat Biotech Krishna Ella. Dia mengaku bangga bisa bekerja sama dengan ICMR untuk mengembangkan vaksin. “Kita juga hanya satu-satunya perusahaan di negara berkembang yang memiliki fasilitas BioSafety Level 3,” katanya.
Hingga saat ini belum ada obat dan vaksin untuk melawan virus corona. Padahal, lebih dari 100 kandidat vaksin sedang dikembangkan banyak peneliti dan perusahaan farmasi dari berbagai belahan dunia. Kandidat vaksin yang kuat adalah ChAdOx1 nCoV-19 dari Universitas Oxford, mRNA-1273 dari Moderna, Pfizer yang memiliki BNT162, dan Sinovac Biotech dengan PiCoVacc.
Vaksin yang diproduksi Moderna berbasis di Boston, AS, telah memasuki tahap uji kedua. Mereka juga akan merekrut 600 orang dalam beberapa pekan depan untuk uji klinis lebih lanjut. Jika berhasil, vaksin tersebut bisa memperkuat sistem kekebalan tubuh manusia untuk menghasilkan antibodi yang mampu melawan virus korona.
Vaksin yang dikembangkan Universitas Oxford merupakan pengembangan vaksin untuk Middle East Respiratory Syndrome (MERS) dan Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS). MERS dan SARS juga disebabkan virus corona. Karena itu, Oxford tidak menghabiskan banyak waktu untuk mengembangkan vaksin Covid-19. Mereka telah memasuki tahap pertama dengan uji klinis terhadap para sukarelawan berusia 18-55 tahun. Setelah itu selesai, fase kedua dan ketiga akan dilanjutkan dengan lebih banyak sukarelawan.
Vaksin yang diproduksi Pfizer bernama BNT162 dikembangkan bersama perusahaan farmasi Jerman, BioNTech. Fase pertama uji klinis telah dilaksanakan terhadap 360 orang di berbagai rumah sakit. Uji klinis juga dilaksanakan di AS. Pfizer juga berjanji akan memproduksi jutaan dosis vaksin pada 2020 dan ditingkatkan pada tahun depan. (Baca juga: Pandemi Corona Melanda, PBB Setop Kirim Pasukan Penjaga Perdamaian)
Indonesia juga sedang berupaya membuat vaksin. Menteri Riset dan Teknologi (Menristek)/Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Bambang Brodjonegoro mengakui membutuhkan waktu untuk mendapatkan vaksin Covid-19. Namun, saat ini tengah diteliti jenis Covid-19 yang beredar di Indonesia.
“Sedangkan untuk vaksin, memang butuh waktu. Tapi, setidaknya dengan sudah dimulainya whole genome sequencing yang sudah di-submit oleh Eijkman dan Unair Surabaya, maka kita bisa deteksi jenis virus Covid apa yang beredar di Indonesia,” katanya seusai rapat terbatas dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi), Senin (11/5).
Untuk serum, saat ini memang masih tahap awal penelitiannya. Meski begitu, Indonesia juga tengah melakukan uji klinis terhadap berbagai jenis obat yang dipakai di berbagai negara untuk pasien Covid-19. “Kami juga lakukan uji klinis terhadap pil kina terhadap komponen obat modern asli Indonesia,” ungkapnya.
Tidak hanya itu, Indonesia juga sudah mengembangkan suplemen untuk meningkatkan daya tubuh terhadap Covid-19. Saat ini suplemen yang berasal dari berbagai bahan herbal itu tengah diuji klinis di Rumah Sakit Darurat Wisma Atlet.
“Update dari plasma konvalensen, ternyata sudah dikembangkan di beberapa RS dan sudah ada protokol nasional untuk melakukan clinical trial di lebih banyak rumah sakit di Indonesia. Sehingga, diharapkan bisa naikkan tingkat kesembuhan pasien,” tuturnya. Bambang juga mengatakan pendekatan stemcell untuk bisa memperbaiki jaringan paru-paru yang rusak akibat Covid-19 sudah mulai dikembangkan.
Diplomasi Vaksin
Penggagas Kongres Diaspora Indonesia dan Penggagas Indonesia Diaspora Network Dino Patti Djalal mengungkapkan, untuk menangani pandemi Covid-19 di Indonesia juga perlu kerja sama internasional satu di antaranya dengan diplomasi vaksin. “Untuk menangani Covid-19 tidak bisa hanya lockdown atau PSBB, tapi juga harus ada kerja sama internasional,” ungkap Dino dalam diskusi melalui sambungan telekonferensi dari Media Center Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, Graha BNPB, Jakarta (11/5).
Kerja sama internasional saat ini, kata Dino, dengan meningkatkan diplomasi vaksin Covid-19. “Kemudian kita juga harus meningkatkan diplomasi vaksin. Karena yang kita khawatirkan adalah masih ada satu tahun mungkin ya difinalkan, kemudian baru bisa diproduksi dan semua negara akan rebutan,” ucapnya.
Jika tidak gencar melakukan diplomasi vaksin, dikhawatirkan akan sulit untuk mendapatkan vaksin ketika sudah diproduksi. “Dan mungkin yang akan terkena yang paling sulit mendapatkan negara-negara berkembang. Nah, pertanyaannya, Indonesia ngantrenya ke berapa nih nanti pada saat vaksin mulai didistribusikan?” tanya Dino.
Dino pun menegaskan Indonesia harus segera mengencangkan diplomasi vaksin dengan negara internasional. “Sementara ekonomi akan semakin melambat bahkan mungkin kita akan memasuki situasi krisis. Jadi kita harus mengencangkan diplomasi vaksin ini,” katanya.
Selain itu, kata Dino, Indonesia juga harus berperan untuk menjadikan WHO sebagai platform untuk saling kerja sama dalam mengatasi pandemi Covid-19. “Jangan menjadikan WHO tempat bersaing secara negatif,” ujarnya. Dino melihat sekarang sudah mulai ada jalinan kerja sama baik di ASEAN, G-20, maupun PBB. (Andika H Mustaqim/Dita Angga/Binti Mufarida)
Chief Scientific Officer Johnson & Johnson Paul Stoffels mengatakan kepada ABC News bahwa mereka akan meningkatkan skala produksi di pabrik dan memulai memproduksi vaksin pada akhir tahun ini. “Akan menjadi semakin hebat jika penyakit (Covid-19) akan musnah secepatnya, tetapi kita tidak berpikir demikian,” kata Stoffels. Apalagi, virus corona telah menyebar ke seluruh dunia dengan cepat. “Virus corona mustahil hilang tanpa ada vaksin,” imbuhnya.
Pada 30 Maret lalu Johnson & Johnson mengumumkan telah memiliki kandidat vaksin virus corona dan mengantisipasi uji pada manusia pada September 2020. Johnson & Johnson juga bermitra dengan Pemerintah Amerika Serikat (AS) dalam pengembangan vaksin. Pemerintahan Presiden Donald Trump telah memberikan hibah senilai setengah miliar dolar untuk membantu penelitian Johnson & Johnson.
Idealnya, produksi vaksin umumnya butuh lima hingga tujuh tahun. Namun, karena pandemi ini telah menyebar, Johnson & Johnson harus menyesuaikan jadwal dan waktu untuk menemukan vaksin.
Selain pengembangan vaksin, obat antibodi juga dikembangkan banyak lembaga penelitian. “Kita membutuhkan segala upaya dengan pihak lainnya untuk meneliti vaksin virus corona,” kata Presiden dan Chief Scientific Officer Firma Bioteknologi Regeneron, George Yancopoulos. Dia mengungkapkan, semua pihak harus melakukan upaya pencegahan dan pengobatan pasien Covid-19 hingga peneliti dan perusahaan farmasi mendapatkan vaksin. (Baca: Mengaku Buat Kesalahan, WHO Minta Pandemi Tidak Jadi Pion Politik)
Tidak seperti Johnson & Johnson, Regeneron mengembangkan perawatan antibodi Covid-19 yang didesain untuk mencegah dan menyembuhkan penyakit tersebut. Yancopoulos mengungkapkan, apa yang dilakukan vaksin adalah menghasilkan kekebalan di tubuh orang yang mengonsumsi vaksin. “Apa itu imunitas? Itu adalah antibodi yang melawan virus,” ucapnya.
Yancopoulos mengungkapkan, perawatan antibodi tidak bisa digantikan dengan vaksin. “Vaksin memberikan imunitas permanen untuk jumlah orang yang banyak,” katanya. Regeneron juga mengembangkan satu di antara obat yang mereka produksi, Kevzara, untuk merawat pasien Covid-19. Uji klinis obat tersebut akan dilaksanakan pada Juni mendatang.
Bukan hanya negara maju yang mengembangkan vaksin, Bharat Biotech, perusahaan berbasis di India, juga mengembangkan vaksin bernama CoroFlu. Mereka bekerja sama dengan Dewan Penelitian Medis India (ICMR). Proyek itu juga bekerja sama dengan Universitas Wisconsin dan perusahaan vaksin FluGen.
Bharat Biotech juga mengembangkan proyek CSIR-NMITLI, pengembangan antibodi untuk menetralisasi virus korona. Mereka berencana memproduksi antibodi dalam kurun waktu enam bulan mendatang. “Kita akan melakukan apa pun untuk menyukseskan program ini,” kata Direktur Operasional Bharat Biotech Krishna Ella. Dia mengaku bangga bisa bekerja sama dengan ICMR untuk mengembangkan vaksin. “Kita juga hanya satu-satunya perusahaan di negara berkembang yang memiliki fasilitas BioSafety Level 3,” katanya.
Hingga saat ini belum ada obat dan vaksin untuk melawan virus corona. Padahal, lebih dari 100 kandidat vaksin sedang dikembangkan banyak peneliti dan perusahaan farmasi dari berbagai belahan dunia. Kandidat vaksin yang kuat adalah ChAdOx1 nCoV-19 dari Universitas Oxford, mRNA-1273 dari Moderna, Pfizer yang memiliki BNT162, dan Sinovac Biotech dengan PiCoVacc.
Vaksin yang diproduksi Moderna berbasis di Boston, AS, telah memasuki tahap uji kedua. Mereka juga akan merekrut 600 orang dalam beberapa pekan depan untuk uji klinis lebih lanjut. Jika berhasil, vaksin tersebut bisa memperkuat sistem kekebalan tubuh manusia untuk menghasilkan antibodi yang mampu melawan virus korona.
Vaksin yang dikembangkan Universitas Oxford merupakan pengembangan vaksin untuk Middle East Respiratory Syndrome (MERS) dan Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS). MERS dan SARS juga disebabkan virus corona. Karena itu, Oxford tidak menghabiskan banyak waktu untuk mengembangkan vaksin Covid-19. Mereka telah memasuki tahap pertama dengan uji klinis terhadap para sukarelawan berusia 18-55 tahun. Setelah itu selesai, fase kedua dan ketiga akan dilanjutkan dengan lebih banyak sukarelawan.
Vaksin yang diproduksi Pfizer bernama BNT162 dikembangkan bersama perusahaan farmasi Jerman, BioNTech. Fase pertama uji klinis telah dilaksanakan terhadap 360 orang di berbagai rumah sakit. Uji klinis juga dilaksanakan di AS. Pfizer juga berjanji akan memproduksi jutaan dosis vaksin pada 2020 dan ditingkatkan pada tahun depan. (Baca juga: Pandemi Corona Melanda, PBB Setop Kirim Pasukan Penjaga Perdamaian)
Indonesia juga sedang berupaya membuat vaksin. Menteri Riset dan Teknologi (Menristek)/Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Bambang Brodjonegoro mengakui membutuhkan waktu untuk mendapatkan vaksin Covid-19. Namun, saat ini tengah diteliti jenis Covid-19 yang beredar di Indonesia.
“Sedangkan untuk vaksin, memang butuh waktu. Tapi, setidaknya dengan sudah dimulainya whole genome sequencing yang sudah di-submit oleh Eijkman dan Unair Surabaya, maka kita bisa deteksi jenis virus Covid apa yang beredar di Indonesia,” katanya seusai rapat terbatas dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi), Senin (11/5).
Untuk serum, saat ini memang masih tahap awal penelitiannya. Meski begitu, Indonesia juga tengah melakukan uji klinis terhadap berbagai jenis obat yang dipakai di berbagai negara untuk pasien Covid-19. “Kami juga lakukan uji klinis terhadap pil kina terhadap komponen obat modern asli Indonesia,” ungkapnya.
Tidak hanya itu, Indonesia juga sudah mengembangkan suplemen untuk meningkatkan daya tubuh terhadap Covid-19. Saat ini suplemen yang berasal dari berbagai bahan herbal itu tengah diuji klinis di Rumah Sakit Darurat Wisma Atlet.
“Update dari plasma konvalensen, ternyata sudah dikembangkan di beberapa RS dan sudah ada protokol nasional untuk melakukan clinical trial di lebih banyak rumah sakit di Indonesia. Sehingga, diharapkan bisa naikkan tingkat kesembuhan pasien,” tuturnya. Bambang juga mengatakan pendekatan stemcell untuk bisa memperbaiki jaringan paru-paru yang rusak akibat Covid-19 sudah mulai dikembangkan.
Diplomasi Vaksin
Penggagas Kongres Diaspora Indonesia dan Penggagas Indonesia Diaspora Network Dino Patti Djalal mengungkapkan, untuk menangani pandemi Covid-19 di Indonesia juga perlu kerja sama internasional satu di antaranya dengan diplomasi vaksin. “Untuk menangani Covid-19 tidak bisa hanya lockdown atau PSBB, tapi juga harus ada kerja sama internasional,” ungkap Dino dalam diskusi melalui sambungan telekonferensi dari Media Center Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, Graha BNPB, Jakarta (11/5).
Kerja sama internasional saat ini, kata Dino, dengan meningkatkan diplomasi vaksin Covid-19. “Kemudian kita juga harus meningkatkan diplomasi vaksin. Karena yang kita khawatirkan adalah masih ada satu tahun mungkin ya difinalkan, kemudian baru bisa diproduksi dan semua negara akan rebutan,” ucapnya.
Jika tidak gencar melakukan diplomasi vaksin, dikhawatirkan akan sulit untuk mendapatkan vaksin ketika sudah diproduksi. “Dan mungkin yang akan terkena yang paling sulit mendapatkan negara-negara berkembang. Nah, pertanyaannya, Indonesia ngantrenya ke berapa nih nanti pada saat vaksin mulai didistribusikan?” tanya Dino.
Dino pun menegaskan Indonesia harus segera mengencangkan diplomasi vaksin dengan negara internasional. “Sementara ekonomi akan semakin melambat bahkan mungkin kita akan memasuki situasi krisis. Jadi kita harus mengencangkan diplomasi vaksin ini,” katanya.
Selain itu, kata Dino, Indonesia juga harus berperan untuk menjadikan WHO sebagai platform untuk saling kerja sama dalam mengatasi pandemi Covid-19. “Jangan menjadikan WHO tempat bersaing secara negatif,” ujarnya. Dino melihat sekarang sudah mulai ada jalinan kerja sama baik di ASEAN, G-20, maupun PBB. (Andika H Mustaqim/Dita Angga/Binti Mufarida)
(ysw)