Perang Teluk Akan Kembali Pecah?

Senin, 30 November 2020 - 10:35 WIB
loading...
Perang Teluk Akan Kembali Pecah?
Analis Iran mengatakan pembunuhan terhadap ilmuwan Iran memicu dugaan kalau Trump dan aliansinya terutama Israel dan Arab Saudi, mencoba untuk mengajak rezim Teheran melakukan konfrontasi total. Foto: dok/Reuters
A A A
TEHERAN - Di saat pemerintahan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump tinggal satu bulan lebih, dia memberikan lampu hijau bagi Israel untuk melakukan pembunuhan terhadap ilmuwan nuklir Iran, Mohsen Fakhrizadeh . Tujuannya bisa jadi memicu perang Teluk dengan Iran dan mempersulit diplomasi nuklir yang dilakukan Teheran terhadap pemerintahan AS Joe Biden mendatang.

Ketika Trump lebih suka mengurangi pasukannya di Irak dan Afghanistan, dia justru lebih suka bermain konflik dengan Iran. Kenapa? AS dengan aliansi terutama Arab Saudi dan Israel tidak lebih memiliki kepentingan dengan Afghanistan dan Suriah karena ISIS sudah tamat. Mereka memiliki musuh yang nyata yakni Iran. (Baca: Ilmuwan Nuklir Iran Mohsen Fakhrizadeh Tewas Dibunuh)

Dengan membuka konflik dengan Iran, maka perang skala besar bisa dimainkan. Hezbollah akan ikut dalam konflik dan Iran bisa saja meluncurkan misil jarak jauhnya. Skenarionya, AS akan menghentikannya dan melancarkan serangan ke Iran. "Pemerintah Trump ingin menciptakan kebencian sehingga proses rekonsiliasi di masa depan tidak akan terjadi," kata Nick Paton Walsh, analis politik Timur Tengah dilansir CNN. Maklum, Presiden terpilih AS Joe Biden memang menginginkan perundingan nuklir 2015 dalam jangka panjang.

Dalam pandangan Simon Tisdall, analis Iran, mengatakan pembunuhan terhadap ilmuwan Iran memicu dugaan kalau Trump dan aliansinya terutama Israel dan Arab Saudi, mencoba untuk mengajak rezim Teheran melakukan konfrontasi total. "Trump masih memiliki kekuasaan dan lat untuk memicu kerusakan. Itu akan dianggap sebagai klimaks dalam kebijakannya terhadap Iran," katanya dilansir The Guardian.

Sebenarnya bukan Trump semata yang ingin berperang melawan Iran. Adalah Perdana Menteri (PM) Benjamin Netanyahu yang memiliki kepentingan dengan kekuatan nuklir di Iran. Netanyahu juga menjadikan isu Iran untuk komoditas politik di dalam negerinya. Apalagi, dia akan menghadapi pemilu tahun depan. Dia pun telah kehilangan sekutu sejatinya yakni Trump yang harus lengser pada pertengahan Januari mendatang. (Baca juga: Sempurnakan Wdhu Agar Ibadah Diterima Allah Ta'ala)

"Israel tidak ingin berperang sendiri melawan Iran," kata Walsh. Dia mengunkapkan, Israel tidak ingin menghadapi misil Iran dari utara dan selatan, meskipun mereka memiliki sistem perlindungan misil yang canggih.

Timur Tengah memang kerap diwarnai ndengan ketegangan, temperamen yang terus memanas, retorika yang meledak, dan tindakan yang tidak bisa diduga sebelumnya. Tidak ada bagian lain seperti Timur Tengah. Sedangkan perang dianggap sebagai jalan terakhir bagi semua pihak.

Di saat AS dan aliansi memiliki kemampuan dalam melakukan serangan. Tapi tidak demikian dengan Iran. Teheran hanya memiliki semangat. Iran saat ini mengalami pelemahan di beberapa bidang. Covid-19 telah melumpuh kota-kota dan mengakibatkan para pejabat seniornya terinfeksi. Ekonomi Iran pun terkena resesi.

Namun demikian, semangat yang dimiliki Iran tidak bisa dipandang remeh. Iran memiliki semangat untuk balas dendam. Mereka juga memiliki pasukan yang loyal dan rakyat yang setia. Meskipun semua keputusan perang atau tidak sangat tergantung dengan pemimpin tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei. (Baca juga: Seleksi Guru PPPK, Guru Wajib Terdata di Dapodik)

Program Nuklir Iran Terus Berjalan

Pembunuhan terhadap ilmuwan nuklir Iran, Mohsen Fakhrizadeh , tidak akan berdampak serius terhadap program nuklir negara tersebut. Insiden tersebut justru akan membuat kesepakatan untuk membatasi program nuklir Iran sulit dikendalikan.

Israel merupakan negara yang diyakini sebagai dalang pembunuhan Fakhrizadeh. Badan intelijen Israel, Mossad, dilaporkan di belakang aksi pembunuhan terhadap ilmuwan nuklir Iran lainnya. Para pejabat Israel membenarkan kalau agen Mossad memang kerap mengincar para ilmuwan nuklir tersebut.

Kematian ilmuwan Iran itu merupakan rangkaian serangan yang terakhir dengan tudingan arsiteknya adalah Israel. Menurut para mantan pejabat, pemerintahan Barack Obama dulu pernah meminta Israel tidak melanjutkan program pembunuhan ilmuwan Iran pada 2013 ketika Teheran mau bergabung dengan perundingan untuk menghentikan aktivitas nuklirnya. (Baca juga: Manfaat Kesehatan dan Nutrisi Susu Kambing)

Pada pemerintahan Joe Biden mendatang dipastikan dia juga akan menentang program pembunuhan para ilmuwan tersebut. Apalagi, Biden juga akan menghidupkan kembali program perjanjian nuklirnya dengan Iran yang ditinggalkan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump.

“Saya pikir mereka (Israel) telah mendapatkan lampu hijau dari Washington,” kata Dina Esfandiary, peneliti di Century Foundation, salah satu think tank ternama. “Saya tidak berpikir tidak akan melakukannya tanpa (persetujuan Washington),” imbuhnya.

Apa motif pembunuhan ilmuwan tersebut? Esfandiary menegaskan, itu dilakukan untuk melakukan menekan Iran melakukan hal bodoh agar menjamin pemerintahan Biden bisa terikat ketika mereka mulai melaksanakan negosiasi dan menurunkan ekskalasi.

Namun demikian, pembunuhan Fakhrizadeh tidak akan berdampak banyak. Meskipun badan pengamat nuklir Badan Energi Atom Internasional (IAEA) telah menyebutkan kalau Fakhrizadeh merupakan otak di belakang rencana Amad yag mengembangkan bom nuklir. IAEA menyebutkan Amad yang dibubarkan pada 2003, tetapi Fakhrizadeh masih memiliki jaringan ilmuwan yang memiliki pengetahuan dan pengalaman membuat senjata nuklir. Dengan tidak bekerja sejak 2003, tugas Fakhrizadeh melakukan koordinasi. (Baca juga: Susi Pudjiaastuti Berpeluang Gantikan Edhy Prabowo Jika Gerindra Menolak)

Ariane Tabatabai, peneliti Timur Tengah di German Marshall Fund, membandingkan pembunuhan Fakhrizadeh dengan pembunuhan jenderal Garda Revolusi Qassem Suleimani pada awal tahun ini. “Fakhrizadeh merupakan jaringan utama dari program nuklir Iran yang dijuga dikoordinasi oleh Suleimani,” kata Tabatabai. Dia mengungkapkan, Fakhrizadeh merupakan alat untuk mengembangkan dan menciptakan infrastruktur. “Kematiannya bukan hal fundamental untuk menghalau program nuklir Iran,” jelasnya dilansir Guardian.

Kalau Ellie Geranmayeh, peneliti senior di European Council on Foreign Relations, sepakat dengan perbandingan tersebut. Dia mengungkapkan, pembunuhan itu tidak akan berdampak pada penurunan kapasitas kemampuan nuklir Iran, jika Teheran menempuh opsi melakukan pengembangan nuklir.

“Ketika Fakhrizadeh diyakini memainkan peranan penting dalam aktivitas nuklir Iran, program itu tidak mungkin dipegang oleh satu orang. Misalnya, Pasukan Garda Revolusi Iran juga bukan hanya kasus pembunuhan Soleimani semata,” kata Geranmayeh. Dia menegaskan, tujuan pembunuhan Fakhrizadeh tidak ingin melemahkan program nuklir, tetapi melemahkan diplomasi. (Lihat videonya: Langgar Prokes, Kafe Ditutup)

Musuh-musuh Iran sangat ingin mengetahui bagaimana respons Iran dengan pembunuhan ilmuwan tersebut? Apakah Iran akan menahan urat syarafnya untuk melakukan serangan. Serangan balasan tentunya akan membuat pemerintahan Biden semakin sulit bernegosiasi dan situasi menjadi semakin kompleks yang dihadapi AS mendatang. Semua itu merupakan strategi Trump untuk menjegal diplomasi Biden mendatang.

Pembunuhan Fakhrizadeh bukan tekanan terakhir selama beberapa hari era Trump yang akan berakhir pada pertengahan Januari mendatang. “Permasalahannya adalah kamu ingin terus menekan tombol meskipun itu telah berjalan,” ujar Esfandiary. Dia mengungkapkan, kelompok garis keras yang menguasai pemerintah Iran diperkirakan tidak akan menahan diri dengan pembunuhan mereka. Mereka diprediksi akan membalas dendam. (Andika H Mustaqim)
(ysw)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1494 seconds (0.1#10.140)