Tingkatkan Angka Kelahiran, China Ingin Antisipasi Krisis Ketenagakerjaan
loading...
A
A
A
SHANGHAI - Pemerintah China berencana menerapkan peraturan baru untuk mendorong angka kelahiran menyusul adanya proyeksi penuaan penduduk dalam jangka waktu panjang. Mereka akan memulai program ini dengan memberikan bantuan keuangan kepada keluarga baru.
“Kebijakan kependudukan yang lebih inklusif akan diterapkan untuk mendorong angka kelahiran, meningkatkan kualitas ketenagakerjaan, dan memperkuat struktur kemasyarakatan China,” kata Wakil Presiden China Population Association Yuan Xin, dikutip Reuters. (Baca: Apakah Amal Bisa Mengubah Takdir?)
China telah menerapkan kebijakan satu anak pada 1978 untuk menghindari hambatan ekonomi dan kemiskinan. Namun, pada 2016, peraturan itu diperlonggar dengan diperbolehkannya dua anak menyusul tingginya angka penuaan penduduk. Para ahli menilai kini saatnya aturan itu dicabut.
Jumlah warga lanjut usia (lansia) berusia 60 tahun ke atas di China saat ini mencapai 254 juta orang atau 18,1% dari total penduduk. Angkanya diperkirakan naik menjadi 300 juta orang pada 2025 dan 400 juta orang pada 2035. Hal itu akan memberikan tekanan dalam sistem sosial dan kesehatan.
Para ahli kependudukan juga menilai jumlah anak muda usia produktif akan berkurang sebanyak 200 juta pada 2050 jika mengikuti tren saat ini. Kebijakan baru juga perlu didorong. Sebab, meski sebelumnya sudah diperlonggar, jumlah bayi hidup per 1.000 orang menurun menjadi 10,48 dari 10,94.
“Untuk mengatasi penuaan penduduk secara proaktif, kami perlu melakukan reformasi perencanaan keluarga dan membebaskan angka kelahiran,” kata ahli sosial Zheng Bingwen. Para ahli yang lain juga mengatakan penurunan jumlah generasi muda yang aktif dan produktif akan mengancam ekonomi global. (Baca juga: Siap-siap! Seleksi PPPK Guru Honorer Segera Dibuka)
Selain China , Jepang, Korea Selatan (Korsel), dan Singapura juga menghadapi permasalahan serupa. Saat ini, sedikit warga Jepang yang menikah dan memiliki anak lebih dari dua. Warga Jepang Katsunori dan Kaori mengatakan, Jepang mengalami kemajuan sehingga tuntutan kehidupan tinggi.
“Ketika masih berusia 20-an atau 30-an tahun, kita benar-benar tidak dapat tinggal di tempat hunian yang lebih besar di Nagoya. Kami sadar jika kami menginginkan lebih banyak anak, kami tidak dapat melakukannya di Nagoya karena biaya hidup sangat tinggi dan kami tidak mampu,” kata Katsunori, dikutip CNN.
Empat belas tahun kemudian, Kaori bersama keluarganya pindah menuju Nagi, kampung halaman Katsunori. Kota pertanian di bagian barat itu menjadi kantong program peningkatan angka kelahiran di Jepang. Dengan populasi sekitar 6.000 orang, Nagi begitu damai dan cocok untuk membangun rumah tangga.
Pemerintah Jepang juga mendorong warga Nagi agar memiliki banyak keturunan. Mereka memberikan kompensasi biaya hidup bagi keluarga yang memiliki anak, semakin banyak semakin besar. Anak pertama akan diberi kompensasi 100.000 yen, kedua 150.000 yen, dan tertinggi 400.000 yen untuk anak kelima. (Baca juga: Tips Memilih Dokter untuk Konsultasi Anak)
“Kebijakan kependudukan yang lebih inklusif akan diterapkan untuk mendorong angka kelahiran, meningkatkan kualitas ketenagakerjaan, dan memperkuat struktur kemasyarakatan China,” kata Wakil Presiden China Population Association Yuan Xin, dikutip Reuters. (Baca: Apakah Amal Bisa Mengubah Takdir?)
China telah menerapkan kebijakan satu anak pada 1978 untuk menghindari hambatan ekonomi dan kemiskinan. Namun, pada 2016, peraturan itu diperlonggar dengan diperbolehkannya dua anak menyusul tingginya angka penuaan penduduk. Para ahli menilai kini saatnya aturan itu dicabut.
Jumlah warga lanjut usia (lansia) berusia 60 tahun ke atas di China saat ini mencapai 254 juta orang atau 18,1% dari total penduduk. Angkanya diperkirakan naik menjadi 300 juta orang pada 2025 dan 400 juta orang pada 2035. Hal itu akan memberikan tekanan dalam sistem sosial dan kesehatan.
Para ahli kependudukan juga menilai jumlah anak muda usia produktif akan berkurang sebanyak 200 juta pada 2050 jika mengikuti tren saat ini. Kebijakan baru juga perlu didorong. Sebab, meski sebelumnya sudah diperlonggar, jumlah bayi hidup per 1.000 orang menurun menjadi 10,48 dari 10,94.
“Untuk mengatasi penuaan penduduk secara proaktif, kami perlu melakukan reformasi perencanaan keluarga dan membebaskan angka kelahiran,” kata ahli sosial Zheng Bingwen. Para ahli yang lain juga mengatakan penurunan jumlah generasi muda yang aktif dan produktif akan mengancam ekonomi global. (Baca juga: Siap-siap! Seleksi PPPK Guru Honorer Segera Dibuka)
Selain China , Jepang, Korea Selatan (Korsel), dan Singapura juga menghadapi permasalahan serupa. Saat ini, sedikit warga Jepang yang menikah dan memiliki anak lebih dari dua. Warga Jepang Katsunori dan Kaori mengatakan, Jepang mengalami kemajuan sehingga tuntutan kehidupan tinggi.
“Ketika masih berusia 20-an atau 30-an tahun, kita benar-benar tidak dapat tinggal di tempat hunian yang lebih besar di Nagoya. Kami sadar jika kami menginginkan lebih banyak anak, kami tidak dapat melakukannya di Nagoya karena biaya hidup sangat tinggi dan kami tidak mampu,” kata Katsunori, dikutip CNN.
Empat belas tahun kemudian, Kaori bersama keluarganya pindah menuju Nagi, kampung halaman Katsunori. Kota pertanian di bagian barat itu menjadi kantong program peningkatan angka kelahiran di Jepang. Dengan populasi sekitar 6.000 orang, Nagi begitu damai dan cocok untuk membangun rumah tangga.
Pemerintah Jepang juga mendorong warga Nagi agar memiliki banyak keturunan. Mereka memberikan kompensasi biaya hidup bagi keluarga yang memiliki anak, semakin banyak semakin besar. Anak pertama akan diberi kompensasi 100.000 yen, kedua 150.000 yen, dan tertinggi 400.000 yen untuk anak kelima. (Baca juga: Tips Memilih Dokter untuk Konsultasi Anak)