Pandemi COVID-19 Melepaskan Tsunami Kebencian, Termasuk Anti-Muslim
loading...
A
A
A
NEW YORK CITY - Sekretaris Jenderal (Sekjen) PBB Antonio Guterres mengatakan pandemi virus corona baru, COVID-19, terus melepaskan "tsunami" kebencian hingga xenophobia termasuk serangan anti-Semit dan anti-Muslim.
Bos PBB itu mengimbau semua pihak berupaya habis-habisan untuk mengakhiri kebencian secara global.
"Sentimen anti-asing telah meningkat secara online dan di jalan-jalan, teori konspirasi anti-Semit telah menyebar, dan serangan anti-Muslim terkait COVID-19 telah terjadi," kata Guterres pada Jumat.
"Para migran dan pengungsi telah difitnah sebagai sumber virus, dan kemudian ditolak akses untuk perawatan medis," lanjut dia seperti dikutip AP, Sabtu (9/5/2020).
"Dengan orang yang lebih tua di antara yang paling rentan, meme yang hina muncul menunjukkan mereka juga yang paling bisa dihabiskan," katanya.
"Dan jurnalis, pelapor, profesional kesehatan, pekerja bantuan dan pembela hak asasi manusia menjadi sasaran hanya karena melakukan pekerjaan mereka," imbuh Guterres.
Sekjen PBB meminta para pemimpin politik dunia untuk menunjukkan solidaritas dengan semua orang. Dia juga menyerukan lembaga-lembaga pendidikan untuk fokus pada "literasi digital" pada saat ekstremis berusaha untuk memangsa audiensi yang potensial dan putus asa.
Lebih lanjut, dia meminta media, terutama media sosial, untuk menghapus konten rasis, misoginis, dan konten berbahaya lainnya. Sedangkan pada masyarakat sipil, Guterres menyerukan untuk memperkuat jangkauan kepada orang-orang yang rentan. Tak hanya itu, dia juga menyerukan tokoh-tokoh agama untuk menjadi contoh dalam praktik saling menghormati.
"Dan saya meminta setiap orang, di mana saja, agar melawan kebencian, memperlakukan satu sama lain dengan bermartabat dan mengambil setiap kesempatan untuk menyebarkan kebaikan," kata Guterres.
"COVID-19 tidak peduli siapa kita, di mana kita tinggal, apa yang kita yakini atau tentang perbedaan lainnya."
Seruan globalnya untuk mengatasi dan melawan ujaran kebencian terkait COVID-19 sebagai tindak lanjut dari pesannya pada 23 April yang menyebut pandemi virus corona baru itu sebagai krisis manusia yang dengan cepat menjadi krisis HAM.
"Pandemi telah melihat efek yang tidak proporsional pada komunitas tertentu, munculnya pidato kebencian, penargetan kelompok-kelompok rentan, dan risiko respons bertangan berat keamanan merusak respons kesehatan," katanya.
"Dengan meningkatnya etno-nasionalisme, populisme, otoritarianisme, dan dorongan balik terhadap hak asasi manusia di beberapa negara, krisis dapat memberikan dalih untuk mengambil langkah-langkah represif untuk tujuan yang tidak terkait dengan pandemi," imbuh dia memperingatkan bahaya dari "tsunami" kebencian.
Pada bulan Februari, Guterres mengeluarkan seruan ke berbagai negara, bisnis, dan orang-orang untuk membantu memperbarui dan menghidupkan kembali hak asasi manusia di seluruh dunia, menyusun rencana tujuh poin di tengah kekhawatiran tentang perubahan iklim, konflik, dan represi.
Bos PBB itu mengimbau semua pihak berupaya habis-habisan untuk mengakhiri kebencian secara global.
"Sentimen anti-asing telah meningkat secara online dan di jalan-jalan, teori konspirasi anti-Semit telah menyebar, dan serangan anti-Muslim terkait COVID-19 telah terjadi," kata Guterres pada Jumat.
"Para migran dan pengungsi telah difitnah sebagai sumber virus, dan kemudian ditolak akses untuk perawatan medis," lanjut dia seperti dikutip AP, Sabtu (9/5/2020).
"Dengan orang yang lebih tua di antara yang paling rentan, meme yang hina muncul menunjukkan mereka juga yang paling bisa dihabiskan," katanya.
"Dan jurnalis, pelapor, profesional kesehatan, pekerja bantuan dan pembela hak asasi manusia menjadi sasaran hanya karena melakukan pekerjaan mereka," imbuh Guterres.
Sekjen PBB meminta para pemimpin politik dunia untuk menunjukkan solidaritas dengan semua orang. Dia juga menyerukan lembaga-lembaga pendidikan untuk fokus pada "literasi digital" pada saat ekstremis berusaha untuk memangsa audiensi yang potensial dan putus asa.
Lebih lanjut, dia meminta media, terutama media sosial, untuk menghapus konten rasis, misoginis, dan konten berbahaya lainnya. Sedangkan pada masyarakat sipil, Guterres menyerukan untuk memperkuat jangkauan kepada orang-orang yang rentan. Tak hanya itu, dia juga menyerukan tokoh-tokoh agama untuk menjadi contoh dalam praktik saling menghormati.
"Dan saya meminta setiap orang, di mana saja, agar melawan kebencian, memperlakukan satu sama lain dengan bermartabat dan mengambil setiap kesempatan untuk menyebarkan kebaikan," kata Guterres.
"COVID-19 tidak peduli siapa kita, di mana kita tinggal, apa yang kita yakini atau tentang perbedaan lainnya."
Seruan globalnya untuk mengatasi dan melawan ujaran kebencian terkait COVID-19 sebagai tindak lanjut dari pesannya pada 23 April yang menyebut pandemi virus corona baru itu sebagai krisis manusia yang dengan cepat menjadi krisis HAM.
"Pandemi telah melihat efek yang tidak proporsional pada komunitas tertentu, munculnya pidato kebencian, penargetan kelompok-kelompok rentan, dan risiko respons bertangan berat keamanan merusak respons kesehatan," katanya.
"Dengan meningkatnya etno-nasionalisme, populisme, otoritarianisme, dan dorongan balik terhadap hak asasi manusia di beberapa negara, krisis dapat memberikan dalih untuk mengambil langkah-langkah represif untuk tujuan yang tidak terkait dengan pandemi," imbuh dia memperingatkan bahaya dari "tsunami" kebencian.
Pada bulan Februari, Guterres mengeluarkan seruan ke berbagai negara, bisnis, dan orang-orang untuk membantu memperbarui dan menghidupkan kembali hak asasi manusia di seluruh dunia, menyusun rencana tujuh poin di tengah kekhawatiran tentang perubahan iklim, konflik, dan represi.
(min)