Pilpres Amerika Serikat, Trump Masih Punya Kesempatan Menang
loading...
A
A
A
Hal senada juga diungkapkan Jesse Wegman, analis politik The New York Times. “Trump bisa menang pemilu presiden karena electoral college (suara elektoral),” katanya. Trump memiliki kesempatan menang karena demokrasi di AS bukan satu orang, satu suara, tetapi demokrasi AS menerapkan pengumpulan ide dan praktik yang didasarkan pada konsep dua abad lalu.
“Sistem elektoral memang kompleks, tidak representatif, dan tidak baru sehingga dinilai tidak demokratis,” katanya.
Pada 2016, Trump merebut Gedung Putih dengan menghasilkan suara mayoritas dari elektoral, meskipun terdapat tiga juta warga AS memilih Hillary Clinton berdasarkan suara populer. (Baca juga: Dua Sekolah di Solo Gelar Simulasi Pembelajaran Tatap Muka)
Pemilu AS memiliki mitos yang melegenda dari pemilu ke pemilu lain. Apa itu? “Demokrat akan selalu memenangkan suara populer. Namun, banyak orang tidak ingin mengubah suara elektoral karena Partai Republik tidak ingin menghilangkan keseimbangan,” kata Wegman dilansir The New York Times.
Suara elektoral dianggap oleh para pendiri negara AS sebagai karya suci konstitusional yang jenius. Para pendiri AS bertarung seperti kucing dan anjing untuk menentukan bagaimana presiden dipilih. Dulu karena dipengaruhi oleh sistem perbudakan di mana negara bagian yang menganut sistem perbudakan tidak ingin suara populer.
“Sistem elektoral merupakan legasi dari sistem perbudakan yang masih dijalankan hingga saat ini,” kata Wegman.
Mitos yang pada sistem elektoral adalah menjaga negara bagian yang kecil. Kenapa? Dengan suara populer, maka California dan New York akan mendominasi pemilu. Suara dari negara bagian yang kecil, seperti Rhode Island dan Wyoming pun akan terabaikan. Tapi, mitos itu tak selamanya benar. Florida, Pennsylvania, dan Michigan bukan negara bagian kecil, tetapi mereka menjadi swing state. Perhatian pemilu AS juga selalu pada negara bagian yang belum jelas memberikan suara pada pemilu AS tersebut. (Lihat videonya: Pengelola Kantor Wajib Mematuhi Protokol Kesehatan)
Wegman tetap beranggapan pemilu seharusnya diberikan kepada pemenang yang mendapatkan suara terbanyak, bukan suara elektoral. “Itu menyangkut keadilan paling dasar,” katanya. Biarkan seluruh rakyat yang memberikan suara untuk menentukan presiden. (Andika H Mustaqim)
“Sistem elektoral memang kompleks, tidak representatif, dan tidak baru sehingga dinilai tidak demokratis,” katanya.
Pada 2016, Trump merebut Gedung Putih dengan menghasilkan suara mayoritas dari elektoral, meskipun terdapat tiga juta warga AS memilih Hillary Clinton berdasarkan suara populer. (Baca juga: Dua Sekolah di Solo Gelar Simulasi Pembelajaran Tatap Muka)
Pemilu AS memiliki mitos yang melegenda dari pemilu ke pemilu lain. Apa itu? “Demokrat akan selalu memenangkan suara populer. Namun, banyak orang tidak ingin mengubah suara elektoral karena Partai Republik tidak ingin menghilangkan keseimbangan,” kata Wegman dilansir The New York Times.
Suara elektoral dianggap oleh para pendiri negara AS sebagai karya suci konstitusional yang jenius. Para pendiri AS bertarung seperti kucing dan anjing untuk menentukan bagaimana presiden dipilih. Dulu karena dipengaruhi oleh sistem perbudakan di mana negara bagian yang menganut sistem perbudakan tidak ingin suara populer.
“Sistem elektoral merupakan legasi dari sistem perbudakan yang masih dijalankan hingga saat ini,” kata Wegman.
Mitos yang pada sistem elektoral adalah menjaga negara bagian yang kecil. Kenapa? Dengan suara populer, maka California dan New York akan mendominasi pemilu. Suara dari negara bagian yang kecil, seperti Rhode Island dan Wyoming pun akan terabaikan. Tapi, mitos itu tak selamanya benar. Florida, Pennsylvania, dan Michigan bukan negara bagian kecil, tetapi mereka menjadi swing state. Perhatian pemilu AS juga selalu pada negara bagian yang belum jelas memberikan suara pada pemilu AS tersebut. (Lihat videonya: Pengelola Kantor Wajib Mematuhi Protokol Kesehatan)
Wegman tetap beranggapan pemilu seharusnya diberikan kepada pemenang yang mendapatkan suara terbanyak, bukan suara elektoral. “Itu menyangkut keadilan paling dasar,” katanya. Biarkan seluruh rakyat yang memberikan suara untuk menentukan presiden. (Andika H Mustaqim)
(ysw)