Iran dan Israel, Alasan Negara Teluk Berharap Trump Terpilih Kembali
loading...
A
A
A
RIYADH - Analis politik asal Arab Saudi, Ahmed Al Ibrahim menuturkan, banyak negara Teluk yang berharap Donald Trump terpilih kembali menjadi Presiden Amerika Serikat (AS). Alasannya, Trump dinilai mampu melemahkan Iran dan juga dianggap mampu menjembatani hubungan dengan Israel.
Ibrahim mengatakan, banyak negara Teluk, termasuk Saudi khawatir mengenai hasil jajak pendapat, di mana Joe Biden unggul atas Trump. Dia mengatakan, ini bukanlah pertanda baik, terutama karena kebijakan luar negeri Trump selalu sejalan dengan kebutuhan Saudi dan sejumlah negara Teluk lainnya.
(Baca: Upaya Trump Damaikan Arab-Israel Tidak Terlalu Berdampak pada Pilpres AS )
"Trump mungkin seorang tokoh kontroversial, yang selalu mengutarakan pikirannya, tetapi dia dapat diandalkan dan memegang janji. Ditambah, dia memahami kawasan ini dengan baik dan kami memiliki rasa saling percaya dan beberapa kepentingan yang sama," ucapnya, seperti dilansir Sputnik.
Dia mengatakan kepentingan ini terutama bermuara pada anggapan ancaman yang ditimbulkan oleh Iran.
Permusuhan lama antara Iran dan Saudi, yang berkisar pada perbedaan agama, telah berkembang menjadi konfrontasi geopolitik, dengan masing-masing pihak berusaha memposisikan dirinya sebagai pemimpin dunia Muslim dan kekuatan regional.
Program nuklir Iran juga tidak membantu meredakan ketegangan ini dan karena Iran terus memperkaya uranium dan membangun sentrifugal, Riyadh terus menekankan bahwa proyek nuklir Teheran ditujukan untuk mengembangkan senjata pemusnah massal, yang pada akhirnya akan digunakan untuk melawan musuhnya.
Washington di bawah Trump memiliki ketakutan serupa. Itulah sebabnya, segera setelah menjabat, presiden baru itu menarik AS dari kesepakatan nuklir Iran dan memberlakukan serangkaian sanksi yang ditujukan untuk melemahkan Teheran dan mengekang program nuklirnya, tindakan yang disambut dengan antusias di Riyadh.
Namun sekarang, dengan prospek kepergian Trump dan Biden berkuasa menjadi nyata, kebijakan ini mungkin berisiko. ""Jika Biden berkuasa, dia akan memberdayakan musuh kami, Iran dan akan mengembalikan kami ke apa yang kami miliki beberapa tahun lalu," ucap Ibrahim.
Sebagai calon dari partai Demokrat, Biden selalu dikaitkan dengan mantan Barack Obama, yang kebijakannya tidak selalu disukai oleh sebagian pemimpin Arab. Pertama, negara Teluk tidak menyukai cara dia menangani perang Suriah dan menganggapnya terlalu lunak dalam menghadapi krisis.
Kemudian, cara Obama mengecam pemerintah Bahrain tentang masalah HAM dan akhirnya mereka tidak menyukai retorika pro-Arab Spring dan dukungan yang dia tunjukkan pada gerakan Ikhwanul Muslimin Mesir, yang dilarang di beberapa negara Arab.
"Kembalinya metodologi mungkin menyebabkan banyak masalah di negara-negara Dewan Kerjasama Teluk (GCC). Ini juga dikhawatirkan akan menghentikan proses normalisasi Teluk dengan Israel," ungkapnya.
(Baca: Dukun-dukun Peru Adu Kesaktian di Pilpres AS )
"Jika Trump menang, saya berharap proses perdamaian akan berlanjut. Negara-negara Teluk telah menyadari bahwa kita dapat hidup berdampingan dengan Israel, terutama mengingat fakta bahwa kita memiliki ancaman yang sama, yaitu Iran," sambungnya.
Pada akhirnya, kata Ibrahim, publik AS yang akan menentukan siapa yang akan mengambil posisi teratas Amerika dan meskipun jajak pendapat memperkirakan malapetaka dan kesuraman bagi Trump, dia tetap optimis.
"Trump kuat dalam hal keamanan dan dia memahami apa yang baik bagi ekonomi negara. Semakin banyak orang Amerika sekarang menyadari hal ini. Jadi, jangan heran jika dia memenangkan perlombaan itu," tukasnya.
Ibrahim mengatakan, banyak negara Teluk, termasuk Saudi khawatir mengenai hasil jajak pendapat, di mana Joe Biden unggul atas Trump. Dia mengatakan, ini bukanlah pertanda baik, terutama karena kebijakan luar negeri Trump selalu sejalan dengan kebutuhan Saudi dan sejumlah negara Teluk lainnya.
(Baca: Upaya Trump Damaikan Arab-Israel Tidak Terlalu Berdampak pada Pilpres AS )
"Trump mungkin seorang tokoh kontroversial, yang selalu mengutarakan pikirannya, tetapi dia dapat diandalkan dan memegang janji. Ditambah, dia memahami kawasan ini dengan baik dan kami memiliki rasa saling percaya dan beberapa kepentingan yang sama," ucapnya, seperti dilansir Sputnik.
Dia mengatakan kepentingan ini terutama bermuara pada anggapan ancaman yang ditimbulkan oleh Iran.
Permusuhan lama antara Iran dan Saudi, yang berkisar pada perbedaan agama, telah berkembang menjadi konfrontasi geopolitik, dengan masing-masing pihak berusaha memposisikan dirinya sebagai pemimpin dunia Muslim dan kekuatan regional.
Program nuklir Iran juga tidak membantu meredakan ketegangan ini dan karena Iran terus memperkaya uranium dan membangun sentrifugal, Riyadh terus menekankan bahwa proyek nuklir Teheran ditujukan untuk mengembangkan senjata pemusnah massal, yang pada akhirnya akan digunakan untuk melawan musuhnya.
Washington di bawah Trump memiliki ketakutan serupa. Itulah sebabnya, segera setelah menjabat, presiden baru itu menarik AS dari kesepakatan nuklir Iran dan memberlakukan serangkaian sanksi yang ditujukan untuk melemahkan Teheran dan mengekang program nuklirnya, tindakan yang disambut dengan antusias di Riyadh.
Namun sekarang, dengan prospek kepergian Trump dan Biden berkuasa menjadi nyata, kebijakan ini mungkin berisiko. ""Jika Biden berkuasa, dia akan memberdayakan musuh kami, Iran dan akan mengembalikan kami ke apa yang kami miliki beberapa tahun lalu," ucap Ibrahim.
Sebagai calon dari partai Demokrat, Biden selalu dikaitkan dengan mantan Barack Obama, yang kebijakannya tidak selalu disukai oleh sebagian pemimpin Arab. Pertama, negara Teluk tidak menyukai cara dia menangani perang Suriah dan menganggapnya terlalu lunak dalam menghadapi krisis.
Kemudian, cara Obama mengecam pemerintah Bahrain tentang masalah HAM dan akhirnya mereka tidak menyukai retorika pro-Arab Spring dan dukungan yang dia tunjukkan pada gerakan Ikhwanul Muslimin Mesir, yang dilarang di beberapa negara Arab.
"Kembalinya metodologi mungkin menyebabkan banyak masalah di negara-negara Dewan Kerjasama Teluk (GCC). Ini juga dikhawatirkan akan menghentikan proses normalisasi Teluk dengan Israel," ungkapnya.
(Baca: Dukun-dukun Peru Adu Kesaktian di Pilpres AS )
"Jika Trump menang, saya berharap proses perdamaian akan berlanjut. Negara-negara Teluk telah menyadari bahwa kita dapat hidup berdampingan dengan Israel, terutama mengingat fakta bahwa kita memiliki ancaman yang sama, yaitu Iran," sambungnya.
Pada akhirnya, kata Ibrahim, publik AS yang akan menentukan siapa yang akan mengambil posisi teratas Amerika dan meskipun jajak pendapat memperkirakan malapetaka dan kesuraman bagi Trump, dia tetap optimis.
"Trump kuat dalam hal keamanan dan dia memahami apa yang baik bagi ekonomi negara. Semakin banyak orang Amerika sekarang menyadari hal ini. Jadi, jangan heran jika dia memenangkan perlombaan itu," tukasnya.
(esn)