Putin Desak AS Setujui Pakta Tak Saling Ikut Campur Pemilu
loading...
A
A
A
MOSKOW - Presiden Rusia Vladimir Putin telah mendesak Amerika Serikat (AS) untuk menyetujui pakta yang mengamanatkan kedua negara tidak saling ikut campur dalam pemilihan umum (pemilu) masing-masing.
Desakan itu muncul ketika kedua negara sama-sama menuduh satu sama lain melakukan kampanye disinformasi dan campur tangan pemilu via media sosial.
Menteri Luar Negeri Sergei Lavrov membacakan pernyataan dari Putin, ketika presiden Rusia itu mengunjungi latihan militer yang melibatkan China dan Iran di Rusia selatan. (Baca: Pencipta Novichok Sebut Racun Novichok Sebanding dengan Bom Nuklir )
"Putin meminta kedua negara untuk terlibat dalam dialog ahli profesional yang akan menciptakan jaminan tidak adanya campur tangan dalam urusan internal satu sama lain, terutama penggunaan teknologi informasi dan komunikasi," bunyi pernyataan Putin, seperti dikutip kantor berita TASS, Sabtu (26/9/2020).
Putin mengusulkan agar kedua negara mencapai kesepakatan untuk mencegah insiden besar dunia maya, membandingkan kesepakatan tersebut dengan kesepakatan Soviet-Amerika 1972 untuk mengurangi kemungkinan insiden di laut atau di udara.
"Salah satu tantangan strategis utama saat ini adalah risiko konfrontasi skala besar di bidang digital," kata pemimpin Rusia itu. "Tanggung jawab khusus untuk pencegahannya terletak pada pemain kunci di bidang memastikan keamanan informasi internasional.” (Baca: FBI Bongkar Cara Rusia Rusak Kampanye Joe Biden )
Badan intelijen AS telah menyimpulkan bahwa Rusia ikut campur dalam pemilihan presiden AS 2016, termasuk meretas kampanye Hillary Clinton, meskipun Moskow membantah tuduhan tersebut.
Rusia juga menyangkal tuduhan baru bahwa mereka berusaha ikut campur dalam kampanye pemilihan presiden AS tahun 2020 meskipun ada bukti yang mengatakan sebaliknya. Facebook minggu ini mem-boot tiga jaringan troll yang terkait dengan troll farms intelijen Rusia yang diduga terlibat dalam campur tangan dalam pemilu 2016.
Ketiga jaringan tersebut diduga menggunakan Facebook terutama sebagai sarana untuk memperkuat konten dari situs web di luar platform dan untuk menemukan serta merekrut orang-orang otentik dan tanpa disadari untuk membantu menyebarkan propaganda mereka, yang banyak dari mereka adalah jurnalis. (Baca juga: Trump Tak Jamin Transfer Kekuasaan Berlangsung Damai Jika Dia Kalah Pilpres )
"Seperti yang telah kami katakan berulang kali, tidak ada dasar untuk pernyataan seperti itu," sangkal Lavrov. "Kami mendukung diskusi profesional dan konstruktif dari semua masalah yang ada melalui negosiasi," imbuh kata diplomat top Rusia itu.
Sebagai balasannya, Rusia menuduh negara-negara Barat melancarkan kampanye disinformasi besar-besaran atas peracunan pemimpin oposisi Alexei Navalny. Laboratorium di Jerman, Prancis dan Swedia semuanya mengonfirmasi bahwa Navalny diracun dengan agen saraf Novichok, tetapi Kremlin telah menepis tuduhan itu dan menyatakan Navalny telah mengatur tindakan tersebut.
Desakan itu muncul ketika kedua negara sama-sama menuduh satu sama lain melakukan kampanye disinformasi dan campur tangan pemilu via media sosial.
Menteri Luar Negeri Sergei Lavrov membacakan pernyataan dari Putin, ketika presiden Rusia itu mengunjungi latihan militer yang melibatkan China dan Iran di Rusia selatan. (Baca: Pencipta Novichok Sebut Racun Novichok Sebanding dengan Bom Nuklir )
"Putin meminta kedua negara untuk terlibat dalam dialog ahli profesional yang akan menciptakan jaminan tidak adanya campur tangan dalam urusan internal satu sama lain, terutama penggunaan teknologi informasi dan komunikasi," bunyi pernyataan Putin, seperti dikutip kantor berita TASS, Sabtu (26/9/2020).
Putin mengusulkan agar kedua negara mencapai kesepakatan untuk mencegah insiden besar dunia maya, membandingkan kesepakatan tersebut dengan kesepakatan Soviet-Amerika 1972 untuk mengurangi kemungkinan insiden di laut atau di udara.
"Salah satu tantangan strategis utama saat ini adalah risiko konfrontasi skala besar di bidang digital," kata pemimpin Rusia itu. "Tanggung jawab khusus untuk pencegahannya terletak pada pemain kunci di bidang memastikan keamanan informasi internasional.” (Baca: FBI Bongkar Cara Rusia Rusak Kampanye Joe Biden )
Badan intelijen AS telah menyimpulkan bahwa Rusia ikut campur dalam pemilihan presiden AS 2016, termasuk meretas kampanye Hillary Clinton, meskipun Moskow membantah tuduhan tersebut.
Rusia juga menyangkal tuduhan baru bahwa mereka berusaha ikut campur dalam kampanye pemilihan presiden AS tahun 2020 meskipun ada bukti yang mengatakan sebaliknya. Facebook minggu ini mem-boot tiga jaringan troll yang terkait dengan troll farms intelijen Rusia yang diduga terlibat dalam campur tangan dalam pemilu 2016.
Ketiga jaringan tersebut diduga menggunakan Facebook terutama sebagai sarana untuk memperkuat konten dari situs web di luar platform dan untuk menemukan serta merekrut orang-orang otentik dan tanpa disadari untuk membantu menyebarkan propaganda mereka, yang banyak dari mereka adalah jurnalis. (Baca juga: Trump Tak Jamin Transfer Kekuasaan Berlangsung Damai Jika Dia Kalah Pilpres )
"Seperti yang telah kami katakan berulang kali, tidak ada dasar untuk pernyataan seperti itu," sangkal Lavrov. "Kami mendukung diskusi profesional dan konstruktif dari semua masalah yang ada melalui negosiasi," imbuh kata diplomat top Rusia itu.
Sebagai balasannya, Rusia menuduh negara-negara Barat melancarkan kampanye disinformasi besar-besaran atas peracunan pemimpin oposisi Alexei Navalny. Laboratorium di Jerman, Prancis dan Swedia semuanya mengonfirmasi bahwa Navalny diracun dengan agen saraf Novichok, tetapi Kremlin telah menepis tuduhan itu dan menyatakan Navalny telah mengatur tindakan tersebut.
(min)