Perundingan Damai Afghanistan Bahas Gencatan Senjata dan Hak-Hak Perempuan

Senin, 14 September 2020 - 12:15 WIB
loading...
Perundingan Damai Afghanistan Bahas Gencatan Senjata dan Hak-Hak Perempuan
Delegasi Taliban berjabat tangan dengan utusan pemerintah Afghanistan saat perundingan perdamaian di Doha, Qatar, kemarin. Foto/Reuters
A A A
DOHA - Perwakilan Pemerintah Afghanistan dan gerilyawan Taliban menggelar perundingan damai penuh sejarah untuk mengakhiri perang yang berlangsung selama dua dekade dan menewaskan puluhan ribu orang. Isu utama yang dibicarakan dalam perundingan tersebut adalah gencatan senjata dan pemenuhan hak-hak perempuan.

Perundingan damai itu juga menguntungkan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump yang ingin mengakhiri perang terpanjang yang dijalani negaranya. Dia juga akan memanfaatkan itu sebagai kesempatan untuk mengangkat prestasinya menjelang Pemilu Presiden AS. Dia juga menjanjikan banyak bantuan untuk menyukseskan kesepakatan itu. (Baca: Disebut Sebagai LSM, Begini Jawaban Majelis Ulama Indonesia)

Pembukaan negosiasi perdamaian itu sehari setelah peringatan ke-19 Serangan 11 September di AS yang memicu perang di Afghanistan. Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo memperingatkan kedua belah pihak untuk mengambil kesempatan dalam mencapai kesepakatan dan mencari solusi atas tantangan ke depannya.

“Pilihan sistem politik ada di tangan kalian semua untuk membuatnya,” kata Pompeo saat upacara pembukaan perundingan perdamaian di Doha, Qatar, Sabtu (12/9). “Kita yakin bahwa melindungi hak-hak seluruh rakyat Afghan adalah cara terbaik untuk menghentikan kekerasan,” katanya.

Kepala dewan perdamaian Afghanistan, Abdullah Abdullah mengatakan, jika kedua belah pihak tidak mencapai kata sepakat pada semua poin, mereka harus tetap kompromi. “Delegasi saya di Doha mewakili sistem politik didukung jutaan perempuan dan lelaki dari beragam budaya serta latar belakang etnik dan sosial di tanah air kita,” katanya. Sementara pemimpin Taliban, Mullah Baradar Akhund mengungkapkan, Afghanistan seharusnya memiliki sistem Islami pada semua etnik dan suku tanpa adanya diskriminasi dalam kehidupan mereka.

Pompeo memperingatkan tentang skala dan ukuran bantuan keuangan AS untuk Afghanistan tergantung dengan pendanaan internasional. “Bantuan itu akan tergantung dengan pilihan dan pelaksanaan hasil perundingan damai,” ucapnya.

Utusan khusus AS untuk Afghanistan, Zalmay Khalilzad mengatakan, mencegah aksi terorisme merupakan syarat utama perdamaian. Selain itu, melindungi hak minoritas dan perempuan juga akan menjadi hal penting. Para pejabat, diplomat, dan analisis menyatakan negosiasi itu sebagai pencapai besar. Tapi, cukup sulit mewujudkan perdamaian di Afghanistan seiring peningkatan kekerasan di negara tersebut.

Abdullah mengatakan, pengurangan kekerasan dan tercapainya gencatan senjata permanen menjadi isu utama yang akan didiskusikan kemarin. Tantangan berat adalah mengamankan hak perempuan dan warga minoritas menjadi hal sulit bagi Taliban. (Baca juga: Wabah Corona, Bolehkah Salat Memakai Masker?)

Sementara itu, banyak warga Afghanistan mendukung perundingan damai tersebut. Pariwash Farkish, seorang guru di Kabul, mengaku memberikan perhatian penuh dengan perdamaian tersebut. Dia mengaku menjadi saksi banyak ledakan dan kekerasan di negaranya. “Ketika saya melihat negosiasi perdamaian itu, saya tidak melihat ada perempuan dari rombongan Taliban. Itu mengkhawatirkan saya,” katanya.

Perundingan damai itu bisa terlaksana setelah tertunda selama berbulan-bulan. Perundingan digelar menyusul kesepakatan keamanan AS-Taliban pada Februari. Namun, perdebatan soal pertukaran tawanan yang kontroversial memperlambat tahapan berikutnya, begitu pula kekerasan di Afghanistan, tempat perang yang telah berlangsung selama empat dekade menemui jalan buntu.

Perundingan perdamaian adalah pertemuan langsung pertama antara Taliban dan perwakilan Pemerintah Afghanistan. Sebelumnya, kelompok militan itu selalu menolak menemui pemerintah, menyebut mereka tidak berdaya dan “boneka” AS. Kedua kubu bertujuan mencapai rekonsiliasi politik dan mengakhiri kekerasan yang berlangsung puluhan tahun, yang dimulai dengan invasi Uni Soviet pada 1979.

Perundingan ini seharusnya dimulai pada Maret, tapi ditunda berkali-kali karena perselisihan soal pertukaran tawanan yang disepakati dalam perjanjian AS-Taliban pada Februari serta kekerasan di Afghanistan. Kesepakatan AS-Taliban yang terpisah, namun saling terkait menetapkan jadwal untuk penarikan pasukan asing, dengan imbalan berupa jaminan kontra-terorisme.

Kesepakatan tersebut perlu satu tahun untuk difinalisasi, dan perundingan pemerintah-Taliban diperkirakan akan menjadi lebih kompleks. Banyak yang khawatir bahwa kemajuan yang dicapai dalam hal hak-hak perempuan bisa dikorbankan dalam prosesnya. (Baca juga: Tiga Raksasa Asia Mundur, Bagaimana Nasib Piala Thomas dan Uber?)

Perundingan ini juga menjadi tantangan bagi Taliban yang harus mengajukan visi politik nyata bagi Afghanistan. Sejauh ini mereka selalu samar-samar menyatakan mereka mendambakan pemerintahan yang “Islami”, tapi juga “inklusif”. Perundingan ini mungkin akan menunjukkan bukti tentang bagaimana kelompok gerilyawan tersebut telah berubah sejak 1990-an, ketika mereka menggunakan interpretasi keras dari hukum syariah.

Apa saja yang dibahas dalam perundingan damai itu? AS dan sekutu mereka di NATO setuju menarik semua pasukan dalam waktu 14 bulan, sedangkan Taliban berkomitmen tidak membiarkan al-Qaeda atau kelompok ekstremis lainnya beroperasi di wilayah yang mereka kuasai. AS juga setuju mencabut sanksi terhadap Taliban dan bekerja sama dengan PBB untuk mencabut sanksi-sanksi lainnya terhadap kelompok itu serta mengurangi jumlah pasukannya di negara itu dari sekitar 12.000 menjadi 8.600 dan menutup beberapa pangkalan. (Lihat videonya: Peran Ki Gede Sala dalam Berdirinya Kota Solo)

Perang Afghanistan telah berlangsung selama 19 tahun dengan nama sandi Operation Enduring Freedom dan kemudian Operation Freedom's Sentinel. Pada awal operasi tersebut tahun 2001, AS dibantu koalisi internasional dan dengan cepat meruntuhkan kekuasaan Taliban. Namun, kelompok militan itu berubah menjadi pasukan pemberontak yang melancarkan serangan mematikan terhadap pasukan koalisi. (Muh Shamil)
(ysw)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1637 seconds (0.1#10.140)