Arab Saudi Tuntut Keadilan Bagi Palestina

Selasa, 08 September 2020 - 06:46 WIB
loading...
Arab Saudi Tuntut Keadilan Bagi Palestina
Tepi Barat Palestina menjadi kawasan yang paling diincar Israel untuk dianeksasi. Foto/Reuters
A A A
RIDYADH - Raja Salman dari Arab Saudi berharap konflik Palestina-Israel dapat diselesaikan secara adil dan permanen. Hal itu ditegaskan Salman kepada Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump melalui sambungan telepon kemarin.

Kedua kepala negara melakukan komunikasi terkait adanya perubahan politik bersejarah di kawasan Arab. Untuk pertama kali, negara-negara Teluk membuka hubungan diplomatik dengan Israel. Uni Emirates Arab (UEA) merupakan negara ketiga setelah Mesir dan Yordania yang memulihkan hubungan dengan Israel. (Baca: Profesor Abdul Malik Fadjar Meninggal Dunia)

Salman mengapresiasi upaya dan sikap aktif AS untuk mendukung perdamaian dan kestabilan di Timur Tengah, terutama konflik Palestina-Israel. Namun, dia berharap solusi yang ditawarkan tidak timpang. Karena itu, dia kembali membuka tawaran perdamaian sesuai Arab Peace Initiative yang pernah diajukan Arab Saudi pada 2002.

"Saudi menginginkan tercapainya solusi permanen dan keadilan bagi isu Palestina," kata Raja Salman kepada Trump, dilansir Reuters.

Di bawah Arab Peace Initiative, negara-negara Timur Tengah menawarkan pemulihan hubungan bilateral kepada Israel dengan syarat Israel mengakui Palestina sebagai negara dan melepaskan kawasan jajahan sejak perang 1967. Sejauh ini, Arab Saudi tidak mengakui keberadaan Israel. Namun, Arab Saudi mulai membolehkan penggunaan wilayah udara Arab Saudi oleh maskapai Israel.

Penasihat Gedung Putih Jared Kushner berharap negara Arab yang lain dapat segera memulihkan hubungan diplomatik dengan Israel dalam beberapa bulan ke depan. Pangeran Mohammed dan Kushner telah berdiskusi tentang pentingnya pemulihan negosiasi perdamaian antara Palestina dan Israel setelah UEA menormalisasi hubungan diplomatik. (Baca juga: Gegara Resesi, Singapura Mulai Tak Ramah Pada TKA)

UEA merupakan negara Arab ketiga yang mengakui keberadaan Israel setelah Mesir pada 1979 dan Yordania pada 1994. Sebagai bagian dari kesepakatan, Israel menghentikan pencaplokan wilayah di Tepi Barat. Bagi Perdana Menteri (PM) Israel Benjamin Netanyahu, ini merupakan capaian bersejarah mengingat pemimpin Israel jarang yang sukses menormalisasi hubungan dengan negara Arab.

Meski demikian, perubahan di lapangan sangat kecil. Warga Palestina pesimistis Israel akan memenuhi janjinya, apalagi pergi dari kawasan strategis dan bersejarah seperti Yerusalem. Namun, UEA tetap optimistis dan berharap Palestina akan merdeka dan meraih perdamaian. Beberapa negara Arab juga tampak optimistis dengan adanya aksi nyata.

Sebelumnya, reaksi negara Arab dalam berbagai isu Palestina selalu berujung canggung. Pada akhir 2017, AS mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel. Para pemimpin Arab pun sontak mengajukan protes dan marah. Namun, tak ada yang mampu bertindak lebih dari itu karena mereka tak mengakui keberadaan Israel sebagai negara.

Hubungan tidak resmi antara negara Arab dan Israel juga sebenarnya sudah terbangun dalam bidang keamanan sejak beberapa dekade silam. Pasalnya, kedua belah pihak memiliki musuh yang sama, yakni Iran. Hubungan dalam bidang politik, budaya, dan ekonomi juga mulai membaik belakangan ini. Salah satu tandanya dengan diundangnya Israel dalam 2020 Dubai Expo. (Baca juga: Bisnis Esek-Esek Terancam Tinggal Cerita Gara-Gara Teledildonik)

Negara Arab, terutama Arab Saudi, menganggap Iran sebagai musuh utama karena adanya perbedaan paham agama dan politik sejak berabad-abad silam. Begitu pun sebaliknya. Ketegangan hubungan kedua negara kian kentara sejak Iran mengalami revolusi pada 1979. Persaingan itu dapat dirasakan dalam perang antaragama di Suriah, Irak, dan Yaman.

Sama seperti negara Arab, Israel juga menganggap Iran sebagai musuh politik dan militer. Israel bahkan sering terlibat kontak senjata dengan kelompok yang didukung Iran seperti Hezbollah di wilayah perbatasan. Raja Hamad dari Bahrain juga sangat lantang mendesak ditekannya perdamaian dengan Israel untuk menghadapi Iran dengan kekuatan penuh.

Pemulihan hubungan UEA dan Israel diperkirakan tidak akan memberikan dampak signifikan di lapangan. Bagaimanapun, hubungan resmi itu dapat membantu negara Arab, khususnya UEA, menggalang kepercayaan dari Israel dan negara sekutunya. Saat ini Rusia dan Turki juga sangat aktif secara militer dan mengambil posisi dalam konflik Timur Tengah. (Lihat videonya: Inilah Kriteria Wanita Muslimah yang Dirindukan Surga)

Para ahli memprediksi Bahrain, Maroko, dan Oman akan segera mengikuti UEA, sedangkan Arab Saudi kemungkinan belakangan, kendati AS berharap Arab Saudi juga secepatnya menormalisasi hubungan dengan Israel. Tidak seperti UEA, Arab Saudi memikul tanggung jawab yang berat. Sekali tersandung, Arab Saudi dapat babak belur.

Bahkan, sebagian ahli menduga Arab Saudi tidak akan menjalin hubungan diplomatik dengan Israel sampai Palestina meraih kemerdekaan dan perdamaian. Pasalnya, kritikan terhadap Arab Saudi akan tajam, baik dari masyarakat maupun pemimpin negara dengan penduduk muslim. Pembukaan hubungan dengan Israel juga dapat menjadi bumerang. (Muh Shamil)
(ysw)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.0779 seconds (0.1#10.140)