Skandal Lixun Diansheng: Perusahaan China Dikecam karena Memotret Karyawan di Toilet
loading...

Perusahaan China, Lixun Diansheng, dikecam setelah memotret karyawan secara ilegal dan menerbitkan foto-foto mereka saat menggunakan toilet. Foto/Economic Times
A
A
A
JAKARTA - Perusahaan China, Lixun Diansheng, dikritik setelah memotret karyawan secara ilegal dan menerbitkan foto-foto mereka saat menggunakan toilet.
Praktik kontroversial Lixun Diansheng, sebuah perusahaan yang berpusat di Shenzhen, provinsi Guangdong, telah memicu kecaman luas secara daring.
Tanggapan awal perusahaan atas pelanggaran terang-terangan terhadap hak asasi manusia (HAM) dan ketenagakerjaan ini tidak memuaskan. Lixun Diansheng mengaku sengaja memotret para karyawannya untuk menegur mereka agar tidak menghabiskan waktu terlalu lama di toilet dan agar segera kembali bekerja.
Dalam editorial Eurasia Review yang ditulis akademisi Staikou Dimitra edisi Selasa (11/2/2025), disebutkan bahwa China dikenal selalu mengutamakan produktivitas ketimbang menghormati hak-hak pekerja. Negara ini menerapkan jadwal kerja tidak manusiawi 9,9,6, mengingatkan para pekerja terhadap slogan yang terkenal tidak menyenangkan: "Kerja itu membebaskanmu."
Menurut laporan pada 20 Januari 2025, para karyawan Lixun Diansheng pergi ke kamar mandi selama waktu istirahat, di mana mereka menggunakan ponsel mereka untuk membuka media sosial dan merokok, yang dilarang dilakukan di dalam kantor. Karena mereka cenderung mengabaikan seruan untuk memperpendek waktu istirahat, para atasan di perusahaan tersebut memutuskan untuk menghukum mereka lewat kerja sama dengan manajemen.
Anggota staf menggunakan tangga untuk mengambil foto karyawan yang sedang berada di toilet dari arah atas. Namun, perusahaan kemudian menghapus foto tersebut beberapa jam setelahnya, mengakui bahwa “foto tersebut tidak terlihat bagus."
Perusahaan membenarkan praktik tersebut, dengan mengeklaim bahwa hal itu diperlukan untuk membatasi aktivitas "non-produktif" seperti merokok dan bermain game secara berlebihan di toilet. Perusahaan juga memberlakukan larangan merokok di tempat fasilitas tersebut sebagai bagian dari kebijakan yang lebih luas.
Pengungkapan tersebut, yang terungkap setelah dipublikasikan kantor berita South China Morning Post (SCMP), telah memicu protes dari pengguna internet dan pakar hukum. Banyak yang mengutuk tindakan perusahaan Lixun Diansheng sebagai pelanggaran serius terhadap privasi dan martabat manusia. Reaksi publik sangat negatif, dengan banyak yang mempertanyakan etika dan hukum perusahaan.
"Hal pertama yang dipikirkan perusahaan adalah foto-foto itu tidak terlihat bagus, alih-alih berpikir bahwa itu adalah bukti ilegal yang menunjukkan bahwa perusahaan tidak memiliki pelatihan hukum yang tepat," kata seorang pengamat daring. Seorang kritikus lain bertanya, "Apakah mereka karyawan atau budak?"
Zhu Xue, seorang pengacara dari firma hukum Celue, mengatakan kepada media China Jimu News bahwa perusahaan telah melanggar privasi karyawannya. "Perusahaan tidak boleh mencatat dan mengelola kemalasan atau perilaku buruk karyawan dengan menggunakan metode ilegal," ujar Zhu.
Insiden ini bukan yang pertama dari jenisnya. Dalam beberapa tahun terakhir, perusahaan China lainnya telah menghadapi pengawasan ketat karena praktik pemantauan yang invasif.
Misalnya, GOME dikritik karena memantau penggunaan internet karyawan dan menghukum mereka atas aktivitas seperti bermain game atau mendengarkan musik selama jam kerja, kondisi yang sangat bertolak belakang dengan perusahaan Skandinavia dan Amerika yang menyadari bahwa musik meningkatkan produktivitas karyawan dan karenanya memutar musik di kantor selama jam kerja diperbolehkan.
Selain itu, Sangfor Technologies juga menghadapi reaksi keras setelah mempromosikan sistem yang memantau niat karyawan untuk mengundurkan diri dengan melacak aktivitas pencarian kerja mereka.
Insiden Lixun Diansheng menimbulkan pertanyaan penting tentang keseimbangan antara disiplin tempat kerja dan perlindungan privasi karyawan di China. Para pendukung privasi memperingatkan bahwa perusahaan harus berhati-hati dalam pendekatan mereka terhadap pemantauan karyawan, memastikan bahwa pengawasan apa pun harus dilakukan dengan persetujuan dan tidak melanggar undang-undang perlindungan data.
Sejumlah pakar hukum telah menekankan bahwa pemantauan hanya boleh digunakan dalam keadaan tertentu yang sah, dan kehidupan pribadi karyawan tidak boleh menjadi sasaran pengawasan yang tidak beralasan.
“Namun, jika kita sedikit memperluas perspektif tentang peristiwa ini, sudah pasti kita akan membuka Kotak Pandora mengenai penghormatan terhadap hak asasi manusia dan hak buruh di abad ke-21,” kata Dimitra.
“Hal pertama yang menarik perhatian saya secara pribadi mengenai masalah ini adalah upaya perusahaan untuk mengecilkan arti penting dari insiden tersebut dengan menyajikannya sebagai lelucon gagal dan dibesar-besarkan,” sambungnya.
Hal kedua, lanjut Dimitra, adalah adanya sebuah rezim komunis yang menunjukkan ketidakpedulian mencolok perihal rasa hormat terhadap kelompok pekerja, atau bahkan manusia. “Apakah rezim pada akhirnya akan membunuh kuda yang sudah tua di China?” tanya Dimitra, menggunakan analogi kuda untuk mewakili pekerja.
Pertanyaan ini mengarah pada kesimpulan langsung bahwa China adalah negara yang secara umum tidak memberikan perhatian semestinya pada penghormatan terhadap HAM. Hal ini dilakukan tidak hanya bagi warga negaranya (pada tingkat individu, baik kerja kolektif), tetapi juga bagi kaum minoritas yang tinggal di dalamnya, dengan warga Tibet dan Uighur menjadi kelompok minoritas paling menderita.
Komunitas internasional telah mengecam keras China terkait masalah Uighur, menyusul laporan tentang "kamp pendidikan ulang Uighur” yang terkenal kejam. China menyebutnya sebagai semacam sekolah asrama, tempat orang Uighur belajar bahasa Mandarin "dalam kondisi yang baik”. Namun, sejumlah testimoni merujuk pada dugaan terjadinya penganiayaan, penyiksaan, dan pengawasan.
“Jelas bahwa kita harus membentengi diri terhadap paradoks perjuangan global untuk perlindungan data pribadi dan privasi warga negara di satu sisi, dan di sisi lain, menerima kenyataan bahwa insiden seperti pelanggaran privasi mencolok di tempat kerja itu terjadi dari waktu ke waktu,” ungkap Dimitra.
“Tentu saja, kultur ‘woke’ telah berkontribusi, entah kita mau mengakuinya atau tidak, pada pengorbanan individu dan kolektif atas perlindungan data pribadi di altar pendokumentasian kehidupan kita dalam bentuk paparan berlebihan atas kehidupan kita, termasuk beredarnya banyak foto telanjang di media sosial,” sambungnya.
Di saat kaum perempuan berupaya keras memperkuat peran mereka secara global dalam masyarakat dan tempat kerja dan tampaknya terus berhasil, Bianca Sensori yang telanjang, ditemani suaminya, Kanye West, disingkirkan dari Grammy Awards karena pendirian mereka dalam mempromosikan objektifikasi tubuh perempuan telanjang.
“Jika kita tidak bereaksi, insiden seperti yang terjadi di China akan semakin banyak, dan seperti yang dikatakan John Windman dalam bukunya Chrysalis, ‘Kualitas hidup yang hakiki adalah hidup; kualitas hidup yang hakiki adalah perubahan; perubahan adalah evolusi; dan kita adalah bagian darinya’,” pungkas Dimitra.
Praktik kontroversial Lixun Diansheng, sebuah perusahaan yang berpusat di Shenzhen, provinsi Guangdong, telah memicu kecaman luas secara daring.
Tanggapan awal perusahaan atas pelanggaran terang-terangan terhadap hak asasi manusia (HAM) dan ketenagakerjaan ini tidak memuaskan. Lixun Diansheng mengaku sengaja memotret para karyawannya untuk menegur mereka agar tidak menghabiskan waktu terlalu lama di toilet dan agar segera kembali bekerja.
Dalam editorial Eurasia Review yang ditulis akademisi Staikou Dimitra edisi Selasa (11/2/2025), disebutkan bahwa China dikenal selalu mengutamakan produktivitas ketimbang menghormati hak-hak pekerja. Negara ini menerapkan jadwal kerja tidak manusiawi 9,9,6, mengingatkan para pekerja terhadap slogan yang terkenal tidak menyenangkan: "Kerja itu membebaskanmu."
Menurut laporan pada 20 Januari 2025, para karyawan Lixun Diansheng pergi ke kamar mandi selama waktu istirahat, di mana mereka menggunakan ponsel mereka untuk membuka media sosial dan merokok, yang dilarang dilakukan di dalam kantor. Karena mereka cenderung mengabaikan seruan untuk memperpendek waktu istirahat, para atasan di perusahaan tersebut memutuskan untuk menghukum mereka lewat kerja sama dengan manajemen.
Anggota staf menggunakan tangga untuk mengambil foto karyawan yang sedang berada di toilet dari arah atas. Namun, perusahaan kemudian menghapus foto tersebut beberapa jam setelahnya, mengakui bahwa “foto tersebut tidak terlihat bagus."
Perusahaan membenarkan praktik tersebut, dengan mengeklaim bahwa hal itu diperlukan untuk membatasi aktivitas "non-produktif" seperti merokok dan bermain game secara berlebihan di toilet. Perusahaan juga memberlakukan larangan merokok di tempat fasilitas tersebut sebagai bagian dari kebijakan yang lebih luas.
Pengungkapan tersebut, yang terungkap setelah dipublikasikan kantor berita South China Morning Post (SCMP), telah memicu protes dari pengguna internet dan pakar hukum. Banyak yang mengutuk tindakan perusahaan Lixun Diansheng sebagai pelanggaran serius terhadap privasi dan martabat manusia. Reaksi publik sangat negatif, dengan banyak yang mempertanyakan etika dan hukum perusahaan.
"Hal pertama yang dipikirkan perusahaan adalah foto-foto itu tidak terlihat bagus, alih-alih berpikir bahwa itu adalah bukti ilegal yang menunjukkan bahwa perusahaan tidak memiliki pelatihan hukum yang tepat," kata seorang pengamat daring. Seorang kritikus lain bertanya, "Apakah mereka karyawan atau budak?"
Keseimbangan Disiplin dan Privasi Karyawan
Zhu Xue, seorang pengacara dari firma hukum Celue, mengatakan kepada media China Jimu News bahwa perusahaan telah melanggar privasi karyawannya. "Perusahaan tidak boleh mencatat dan mengelola kemalasan atau perilaku buruk karyawan dengan menggunakan metode ilegal," ujar Zhu.
Insiden ini bukan yang pertama dari jenisnya. Dalam beberapa tahun terakhir, perusahaan China lainnya telah menghadapi pengawasan ketat karena praktik pemantauan yang invasif.
Misalnya, GOME dikritik karena memantau penggunaan internet karyawan dan menghukum mereka atas aktivitas seperti bermain game atau mendengarkan musik selama jam kerja, kondisi yang sangat bertolak belakang dengan perusahaan Skandinavia dan Amerika yang menyadari bahwa musik meningkatkan produktivitas karyawan dan karenanya memutar musik di kantor selama jam kerja diperbolehkan.
Selain itu, Sangfor Technologies juga menghadapi reaksi keras setelah mempromosikan sistem yang memantau niat karyawan untuk mengundurkan diri dengan melacak aktivitas pencarian kerja mereka.
Insiden Lixun Diansheng menimbulkan pertanyaan penting tentang keseimbangan antara disiplin tempat kerja dan perlindungan privasi karyawan di China. Para pendukung privasi memperingatkan bahwa perusahaan harus berhati-hati dalam pendekatan mereka terhadap pemantauan karyawan, memastikan bahwa pengawasan apa pun harus dilakukan dengan persetujuan dan tidak melanggar undang-undang perlindungan data.
Sejumlah pakar hukum telah menekankan bahwa pemantauan hanya boleh digunakan dalam keadaan tertentu yang sah, dan kehidupan pribadi karyawan tidak boleh menjadi sasaran pengawasan yang tidak beralasan.
“Namun, jika kita sedikit memperluas perspektif tentang peristiwa ini, sudah pasti kita akan membuka Kotak Pandora mengenai penghormatan terhadap hak asasi manusia dan hak buruh di abad ke-21,” kata Dimitra.
“Hal pertama yang menarik perhatian saya secara pribadi mengenai masalah ini adalah upaya perusahaan untuk mengecilkan arti penting dari insiden tersebut dengan menyajikannya sebagai lelucon gagal dan dibesar-besarkan,” sambungnya.
Hal kedua, lanjut Dimitra, adalah adanya sebuah rezim komunis yang menunjukkan ketidakpedulian mencolok perihal rasa hormat terhadap kelompok pekerja, atau bahkan manusia. “Apakah rezim pada akhirnya akan membunuh kuda yang sudah tua di China?” tanya Dimitra, menggunakan analogi kuda untuk mewakili pekerja.
Perlindungan Data Pribadi
Pertanyaan ini mengarah pada kesimpulan langsung bahwa China adalah negara yang secara umum tidak memberikan perhatian semestinya pada penghormatan terhadap HAM. Hal ini dilakukan tidak hanya bagi warga negaranya (pada tingkat individu, baik kerja kolektif), tetapi juga bagi kaum minoritas yang tinggal di dalamnya, dengan warga Tibet dan Uighur menjadi kelompok minoritas paling menderita.
Komunitas internasional telah mengecam keras China terkait masalah Uighur, menyusul laporan tentang "kamp pendidikan ulang Uighur” yang terkenal kejam. China menyebutnya sebagai semacam sekolah asrama, tempat orang Uighur belajar bahasa Mandarin "dalam kondisi yang baik”. Namun, sejumlah testimoni merujuk pada dugaan terjadinya penganiayaan, penyiksaan, dan pengawasan.
“Jelas bahwa kita harus membentengi diri terhadap paradoks perjuangan global untuk perlindungan data pribadi dan privasi warga negara di satu sisi, dan di sisi lain, menerima kenyataan bahwa insiden seperti pelanggaran privasi mencolok di tempat kerja itu terjadi dari waktu ke waktu,” ungkap Dimitra.
“Tentu saja, kultur ‘woke’ telah berkontribusi, entah kita mau mengakuinya atau tidak, pada pengorbanan individu dan kolektif atas perlindungan data pribadi di altar pendokumentasian kehidupan kita dalam bentuk paparan berlebihan atas kehidupan kita, termasuk beredarnya banyak foto telanjang di media sosial,” sambungnya.
Di saat kaum perempuan berupaya keras memperkuat peran mereka secara global dalam masyarakat dan tempat kerja dan tampaknya terus berhasil, Bianca Sensori yang telanjang, ditemani suaminya, Kanye West, disingkirkan dari Grammy Awards karena pendirian mereka dalam mempromosikan objektifikasi tubuh perempuan telanjang.
“Jika kita tidak bereaksi, insiden seperti yang terjadi di China akan semakin banyak, dan seperti yang dikatakan John Windman dalam bukunya Chrysalis, ‘Kualitas hidup yang hakiki adalah hidup; kualitas hidup yang hakiki adalah perubahan; perubahan adalah evolusi; dan kita adalah bagian darinya’,” pungkas Dimitra.
(mas)
Lihat Juga :