Perdagangan Pengantin Kian Marak, China Dituding Tutup Mata
loading...

Kasus perdagangan pengantin semakin marak di China dengan korbannya para perempuan dari berbagai negara Asia. Namun, pemerintah China dinilai tutup mata. Foto/RFERL
A
A
A
JAKARTA - Meningkatnya ketidakseimbangan gender dan populasi yang menua dengan cepat di China telah memperburuk masalah perdagangan pengantin dari wilayah Asia, khususnya negara-negara dengan tingkat perekonomian lemah.
Salah satu jenis Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) itu kini tidak hanya terbatas dari negara-negara di Asia Tenggara, tapi juga Asia Selatan seperti Nepal, Pakistan dan Bangladesh, dengan Korea Utara tetap menjadi sumber perdagangan manusia terbesar untuk pernikahan dan perbudakan seksual.
Mengutip dari editorial kantor berita Nepal Pana, Selasa (28/1/2025), Myanmar, Vietnam, dan Kamboja telah menjadi tujuan utama para pelaku TPPO asal China sejak dua dekade terakhir.
Sekarang, ada laporan terbaru mengenai perdagangan pengantin dari Nepal, Korea Utara, dan Pakistan, kata Visalaakshi Annamalai, seorang peneliti di Model International Mobility Convention yang berbasis di New York, Amerika Serikat.
Baca Juga: Tangani Puluhan WNI Korban Pengantin Pesanan, KBRI Lobi China
Salah satu kasus tersebut telah membuat Bangladesh khawatir belakangan ini. Pernikahan paksa atau perjodohan dengan pria China melalui tipu daya, yang sering berakhir dengan perbudakan seksual, telah mengalami peningkatan tajam sejak 2016.
“Kisah penipuan adalah hal biasa. Agen, calo, atau pelaku perdagangan manusia dapat menjanjikan pekerjaan kepada perempuan seperti pekerjaan di bidang pertanian atau industri jasa di China. Tetapi sering kali para pelaku kemudian menjual perempuan tersebut ke perbudakan seksual,” kata Annamalai.
Pada 2024, seorang perempuan di Bangladesh dipaksa menikahkan putrinya dengan seorang pria China bernama Cui Po Wei dengan dalih bahwa pria tersebut beragama Islam, menetap di negara tersebut, dan bekerja di kota Gazipur. Namun, sang pengantin perempuan ternyata dikirim ke rumah bordil di China. Selanjutnya, sang ibu mengajukan pengaduan terhadap suami dan mereka yang terlibat dalam pengaturan pernikahan tersebut.
“Para terdakwa adalah pedagang manusia terorganisir yang memanfaatkan ketidakberdayaan kami, dan menjual putri saya ke China untuk eksploitasi seksual dan prostitusi paksa,” katanya dalam pengaduan tersebut.
Salah satu jenis Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) itu kini tidak hanya terbatas dari negara-negara di Asia Tenggara, tapi juga Asia Selatan seperti Nepal, Pakistan dan Bangladesh, dengan Korea Utara tetap menjadi sumber perdagangan manusia terbesar untuk pernikahan dan perbudakan seksual.
Mengutip dari editorial kantor berita Nepal Pana, Selasa (28/1/2025), Myanmar, Vietnam, dan Kamboja telah menjadi tujuan utama para pelaku TPPO asal China sejak dua dekade terakhir.
Sekarang, ada laporan terbaru mengenai perdagangan pengantin dari Nepal, Korea Utara, dan Pakistan, kata Visalaakshi Annamalai, seorang peneliti di Model International Mobility Convention yang berbasis di New York, Amerika Serikat.
Baca Juga: Tangani Puluhan WNI Korban Pengantin Pesanan, KBRI Lobi China
Salah satu kasus tersebut telah membuat Bangladesh khawatir belakangan ini. Pernikahan paksa atau perjodohan dengan pria China melalui tipu daya, yang sering berakhir dengan perbudakan seksual, telah mengalami peningkatan tajam sejak 2016.
“Kisah penipuan adalah hal biasa. Agen, calo, atau pelaku perdagangan manusia dapat menjanjikan pekerjaan kepada perempuan seperti pekerjaan di bidang pertanian atau industri jasa di China. Tetapi sering kali para pelaku kemudian menjual perempuan tersebut ke perbudakan seksual,” kata Annamalai.
Lonjakan Perdagangan Pengantin
Pada 2024, seorang perempuan di Bangladesh dipaksa menikahkan putrinya dengan seorang pria China bernama Cui Po Wei dengan dalih bahwa pria tersebut beragama Islam, menetap di negara tersebut, dan bekerja di kota Gazipur. Namun, sang pengantin perempuan ternyata dikirim ke rumah bordil di China. Selanjutnya, sang ibu mengajukan pengaduan terhadap suami dan mereka yang terlibat dalam pengaturan pernikahan tersebut.
“Para terdakwa adalah pedagang manusia terorganisir yang memanfaatkan ketidakberdayaan kami, dan menjual putri saya ke China untuk eksploitasi seksual dan prostitusi paksa,” katanya dalam pengaduan tersebut.
Lihat Juga :