Profil Ahmed al-Sharaa, Pemimpin De Facto Suriah yang Dulunya Komandan Al Qaeda
loading...
A
A
A
Bibit radikalisme muncul di dalam dirinya saat Intifada Kedua Palestina pada tahun 2000. Waktu itu, al-Sharaa yang masih berusia antara 17 atau 18 tahun sudah tergerak hatinya untuk membela orang yang ditindas oleh penjajah Israel.
Beberapa waktu berlalu, al-Sharaa pindah pada tahun 2003 ke Irak. Di sini, ia bergabung dengan al-Qaeda yang kala itu menjadi bagian dari perlawanan terhadap invasi Amerika Serikat (AS).
Al-Sharaa sempat ditangkap oleh pasukan AS di Irak dan ditahan selama lima tahun. Setelah bebas, ia kemudian ditugaskan untuk mendirikan cabang al-Qaeda di Suriah, Front al-Nusra, yang waktu itu sedang memperluas pengaruhnya di wilayah yang dikuasai oposisi, khususnya Idlib.
Pada awalnya, al-Sharaa biasa berkoordinasi langsung dengan Abu Bakr al-Baghdadi. Namun, tiba-tiba al-Baghdadi mengumumkan kelompoknya memutuskan hubungan dengan al-Qaeda dan akan memperluas wilayah ke Suriah, termasuk dengan cara menggabungkan Front al-Nusra ke dalam kelompok baru yang disebut ISIL.
Menariknya, al-Sharaa menolak pembelotan ini dan mempertahankan kesetiaannya kepada al-Qaeda.
Dalam wawancara pada tahun 2014, ia mengatakan kepada Al Jazeera bahwa Suriah harus diperintah berdasarkan interpretasi kelompoknya tentang “hukum Islam” dan kaum minoritas di negara tersebut tidak akan diakomodasi.
Namun, seiring waktu pandangan al-Sharaa juga ikut berubah. Ia kemudian mulai menjauhkan diri dari proyek al-Qaeda yang bertujuan mendirikan “kekhalifahan global” di semua negara berpenduduk mayoritas Muslim.
Sebagai gantinya, al-Sharaa bersama para anak buahnya yang setia memulai misi baru. Di Suriah, ia kemudian mengumumkan penggabungan sejumlah kelompok oposisi dengan nama Hayat Tahrir al-Sham (HTS).
Tujuan HTS yang dinyatakan waktu itu adalah untuk membebaskan Suriah dari pemerintahan otokratis Assad.
Selain itu, kelompok ini ingin mengusir milisi Iran dari negara tersebut dan mendirikan pemerintahan baru sesuai dengan interpretasi mereka sendiri tentang “hukum Islam”.
Beberapa waktu berlalu, al-Sharaa pindah pada tahun 2003 ke Irak. Di sini, ia bergabung dengan al-Qaeda yang kala itu menjadi bagian dari perlawanan terhadap invasi Amerika Serikat (AS).
Al-Sharaa sempat ditangkap oleh pasukan AS di Irak dan ditahan selama lima tahun. Setelah bebas, ia kemudian ditugaskan untuk mendirikan cabang al-Qaeda di Suriah, Front al-Nusra, yang waktu itu sedang memperluas pengaruhnya di wilayah yang dikuasai oposisi, khususnya Idlib.
Pada awalnya, al-Sharaa biasa berkoordinasi langsung dengan Abu Bakr al-Baghdadi. Namun, tiba-tiba al-Baghdadi mengumumkan kelompoknya memutuskan hubungan dengan al-Qaeda dan akan memperluas wilayah ke Suriah, termasuk dengan cara menggabungkan Front al-Nusra ke dalam kelompok baru yang disebut ISIL.
Menariknya, al-Sharaa menolak pembelotan ini dan mempertahankan kesetiaannya kepada al-Qaeda.
Dalam wawancara pada tahun 2014, ia mengatakan kepada Al Jazeera bahwa Suriah harus diperintah berdasarkan interpretasi kelompoknya tentang “hukum Islam” dan kaum minoritas di negara tersebut tidak akan diakomodasi.
Namun, seiring waktu pandangan al-Sharaa juga ikut berubah. Ia kemudian mulai menjauhkan diri dari proyek al-Qaeda yang bertujuan mendirikan “kekhalifahan global” di semua negara berpenduduk mayoritas Muslim.
Sebagai gantinya, al-Sharaa bersama para anak buahnya yang setia memulai misi baru. Di Suriah, ia kemudian mengumumkan penggabungan sejumlah kelompok oposisi dengan nama Hayat Tahrir al-Sham (HTS).
Tujuan HTS yang dinyatakan waktu itu adalah untuk membebaskan Suriah dari pemerintahan otokratis Assad.
Selain itu, kelompok ini ingin mengusir milisi Iran dari negara tersebut dan mendirikan pemerintahan baru sesuai dengan interpretasi mereka sendiri tentang “hukum Islam”.