Profil Ahmed al-Sharaa, Pemimpin De Facto Suriah yang Dulunya Komandan Al Qaeda
loading...
A
A
A
DAMASKUS - Ahmed al-Sharaa merupakan penguasa de facto baru Suriah. Status ini didapatnya setelah kelompok Hayat Tahrir al-Sham (HTS) yang dipimpinnya berhasil menggulingkan pemerintahan Presiden Bashar al-Assad.
Baru-baru ini, al-Sharaa dikabarkan telah mencapai kesepakatan dengan faksi-faksi pemberontak untuk bergabung sebagai satu kekuatan di bawah Kementerian Pertahanan Suriah. Kabar itu diungkap pemerintahan Suriah yang baru melalui rilis resmi pada Selasa (24/12/2024).
“Pertemuan antara al-Sharaa dan para pemimpin kelompok itu berakhir dengan kesepakatan tentang pembubaran semua kelompok dan integrasi mereka di bawah pengawasan kementerian pertahanan," ungkap pernyataan pemerintahan baru itu.
Setelah pihaknya menggulingkan rezim Assad, al-Sharaa memang memiliki tugas berat untuk segera memulihkan stabilitas Suriah.
Ia juga berusaha keras menghindari bentrokan antar kelompok di sana, termasuk di antaranya melalui cara seperti menarik faksi-faksi oposisi lain menuju pemerintahannya.
Ahmed Hussein al-Sharaa atau biasa dikenal juga dengan nama Abu Mohammad al-Julani merupakan pemimpin kelompok Hayat Tahrir al-Sham (HTS).
Beberapa waktu lalu, kelompok oposisi bersenjata itu berhasil menumbangkan rezim Presiden Bashar al-Assad di Suriah.
Mengutip Al Jazeera, al-Sharaa lahir di Riyadh, Arab Saudi, tahun 1982. Tempat kelahirannya itu dulunya adalah lokasi ayahnya bekerja sebagai insinyur perminyakan.
Keluarganya kemudian kembali ke Suriah pada 1989. Bersama al-Sharaa, mereka menetap di dekat Damaskus.
Menurut pengakuan sejumlah temannya di sekolah dulu, al-Sharaa sebenarnya tampak seperti anak laki-laki biasa yang rajin belajar. Selama masa mudanya, ia juga digambarkan sebagai sosok pendiam dan pemalu, serta tertutup secara sosial.
Bibit radikalisme muncul di dalam dirinya saat Intifada Kedua Palestina pada tahun 2000. Waktu itu, al-Sharaa yang masih berusia antara 17 atau 18 tahun sudah tergerak hatinya untuk membela orang yang ditindas oleh penjajah Israel.
Beberapa waktu berlalu, al-Sharaa pindah pada tahun 2003 ke Irak. Di sini, ia bergabung dengan al-Qaeda yang kala itu menjadi bagian dari perlawanan terhadap invasi Amerika Serikat (AS).
Al-Sharaa sempat ditangkap oleh pasukan AS di Irak dan ditahan selama lima tahun. Setelah bebas, ia kemudian ditugaskan untuk mendirikan cabang al-Qaeda di Suriah, Front al-Nusra, yang waktu itu sedang memperluas pengaruhnya di wilayah yang dikuasai oposisi, khususnya Idlib.
Pada awalnya, al-Sharaa biasa berkoordinasi langsung dengan Abu Bakr al-Baghdadi. Namun, tiba-tiba al-Baghdadi mengumumkan kelompoknya memutuskan hubungan dengan al-Qaeda dan akan memperluas wilayah ke Suriah, termasuk dengan cara menggabungkan Front al-Nusra ke dalam kelompok baru yang disebut ISIL.
Menariknya, al-Sharaa menolak pembelotan ini dan mempertahankan kesetiaannya kepada al-Qaeda.
Dalam wawancara pada tahun 2014, ia mengatakan kepada Al Jazeera bahwa Suriah harus diperintah berdasarkan interpretasi kelompoknya tentang “hukum Islam” dan kaum minoritas di negara tersebut tidak akan diakomodasi.
Namun, seiring waktu pandangan al-Sharaa juga ikut berubah. Ia kemudian mulai menjauhkan diri dari proyek al-Qaeda yang bertujuan mendirikan “kekhalifahan global” di semua negara berpenduduk mayoritas Muslim.
Sebagai gantinya, al-Sharaa bersama para anak buahnya yang setia memulai misi baru. Di Suriah, ia kemudian mengumumkan penggabungan sejumlah kelompok oposisi dengan nama Hayat Tahrir al-Sham (HTS).
Tujuan HTS yang dinyatakan waktu itu adalah untuk membebaskan Suriah dari pemerintahan otokratis Assad.
Selain itu, kelompok ini ingin mengusir milisi Iran dari negara tersebut dan mendirikan pemerintahan baru sesuai dengan interpretasi mereka sendiri tentang “hukum Islam”.
Sebagai pendiri HTS, al-Sharaa telah berusaha memisahkan diri dari pihak lain dan hanya berfokus pada pembentukan “republik Islam” di Suriah.
Sejak 2016, ia telah memposisikan dirinya dan kelompok sebagai penjaga yang kredibel bagi Suriah jika sudah terbebas dari rezim al-Assad.
Secara perlahan, HTS menghimpun kekuatan dari provinsi Idlib. Setelah beberapa waktu menunggu, mereka melancarkan serangan yang mengejutkan rezim Assad di Damaskus di akhir tahun 2024.
Tak butuh waktu lama, Assad akhirnya melarikan diri ke luar negeri. Sebagai gantinya, al-Sharaa yang menjadi pemimpin HTS pun secara tidak langsung menjadi pemimpin de facto Suriah sekarang.
Tambahan informasi, sebelumnya al-Sharaa juga masuk deretan buronan Amerika Serikat dalam daftar " Teroris Global yang Ditunjuk Khusus " pada bulan Mei 2013 dengan hadiah sebesar USD10 juta untuk informasi yang mengarah pada penangkapannya.
Namun, status tersebut dicabut pada awal Desember 2024 setelah al-Sharaa bertemu dengan delegasi AS untuk berunding mengenai kondisi di Suriah.
Demikianlah ulasan mengenai profil Ahmed al-Sharaa, pemimpin de facto Suriah yang dulunya menjadi komandan di salah satu cabang Al Qaeda.
Baru-baru ini, al-Sharaa dikabarkan telah mencapai kesepakatan dengan faksi-faksi pemberontak untuk bergabung sebagai satu kekuatan di bawah Kementerian Pertahanan Suriah. Kabar itu diungkap pemerintahan Suriah yang baru melalui rilis resmi pada Selasa (24/12/2024).
“Pertemuan antara al-Sharaa dan para pemimpin kelompok itu berakhir dengan kesepakatan tentang pembubaran semua kelompok dan integrasi mereka di bawah pengawasan kementerian pertahanan," ungkap pernyataan pemerintahan baru itu.
Setelah pihaknya menggulingkan rezim Assad, al-Sharaa memang memiliki tugas berat untuk segera memulihkan stabilitas Suriah.
Ia juga berusaha keras menghindari bentrokan antar kelompok di sana, termasuk di antaranya melalui cara seperti menarik faksi-faksi oposisi lain menuju pemerintahannya.
Profil Ahmed al-Sharaa
Ahmed Hussein al-Sharaa atau biasa dikenal juga dengan nama Abu Mohammad al-Julani merupakan pemimpin kelompok Hayat Tahrir al-Sham (HTS).
Beberapa waktu lalu, kelompok oposisi bersenjata itu berhasil menumbangkan rezim Presiden Bashar al-Assad di Suriah.
Mengutip Al Jazeera, al-Sharaa lahir di Riyadh, Arab Saudi, tahun 1982. Tempat kelahirannya itu dulunya adalah lokasi ayahnya bekerja sebagai insinyur perminyakan.
Keluarganya kemudian kembali ke Suriah pada 1989. Bersama al-Sharaa, mereka menetap di dekat Damaskus.
Menurut pengakuan sejumlah temannya di sekolah dulu, al-Sharaa sebenarnya tampak seperti anak laki-laki biasa yang rajin belajar. Selama masa mudanya, ia juga digambarkan sebagai sosok pendiam dan pemalu, serta tertutup secara sosial.
Bibit radikalisme muncul di dalam dirinya saat Intifada Kedua Palestina pada tahun 2000. Waktu itu, al-Sharaa yang masih berusia antara 17 atau 18 tahun sudah tergerak hatinya untuk membela orang yang ditindas oleh penjajah Israel.
Beberapa waktu berlalu, al-Sharaa pindah pada tahun 2003 ke Irak. Di sini, ia bergabung dengan al-Qaeda yang kala itu menjadi bagian dari perlawanan terhadap invasi Amerika Serikat (AS).
Al-Sharaa sempat ditangkap oleh pasukan AS di Irak dan ditahan selama lima tahun. Setelah bebas, ia kemudian ditugaskan untuk mendirikan cabang al-Qaeda di Suriah, Front al-Nusra, yang waktu itu sedang memperluas pengaruhnya di wilayah yang dikuasai oposisi, khususnya Idlib.
Pada awalnya, al-Sharaa biasa berkoordinasi langsung dengan Abu Bakr al-Baghdadi. Namun, tiba-tiba al-Baghdadi mengumumkan kelompoknya memutuskan hubungan dengan al-Qaeda dan akan memperluas wilayah ke Suriah, termasuk dengan cara menggabungkan Front al-Nusra ke dalam kelompok baru yang disebut ISIL.
Menariknya, al-Sharaa menolak pembelotan ini dan mempertahankan kesetiaannya kepada al-Qaeda.
Dalam wawancara pada tahun 2014, ia mengatakan kepada Al Jazeera bahwa Suriah harus diperintah berdasarkan interpretasi kelompoknya tentang “hukum Islam” dan kaum minoritas di negara tersebut tidak akan diakomodasi.
Namun, seiring waktu pandangan al-Sharaa juga ikut berubah. Ia kemudian mulai menjauhkan diri dari proyek al-Qaeda yang bertujuan mendirikan “kekhalifahan global” di semua negara berpenduduk mayoritas Muslim.
Sebagai gantinya, al-Sharaa bersama para anak buahnya yang setia memulai misi baru. Di Suriah, ia kemudian mengumumkan penggabungan sejumlah kelompok oposisi dengan nama Hayat Tahrir al-Sham (HTS).
Tujuan HTS yang dinyatakan waktu itu adalah untuk membebaskan Suriah dari pemerintahan otokratis Assad.
Selain itu, kelompok ini ingin mengusir milisi Iran dari negara tersebut dan mendirikan pemerintahan baru sesuai dengan interpretasi mereka sendiri tentang “hukum Islam”.
Sebagai pendiri HTS, al-Sharaa telah berusaha memisahkan diri dari pihak lain dan hanya berfokus pada pembentukan “republik Islam” di Suriah.
Sejak 2016, ia telah memposisikan dirinya dan kelompok sebagai penjaga yang kredibel bagi Suriah jika sudah terbebas dari rezim al-Assad.
Secara perlahan, HTS menghimpun kekuatan dari provinsi Idlib. Setelah beberapa waktu menunggu, mereka melancarkan serangan yang mengejutkan rezim Assad di Damaskus di akhir tahun 2024.
Tak butuh waktu lama, Assad akhirnya melarikan diri ke luar negeri. Sebagai gantinya, al-Sharaa yang menjadi pemimpin HTS pun secara tidak langsung menjadi pemimpin de facto Suriah sekarang.
Tambahan informasi, sebelumnya al-Sharaa juga masuk deretan buronan Amerika Serikat dalam daftar " Teroris Global yang Ditunjuk Khusus " pada bulan Mei 2013 dengan hadiah sebesar USD10 juta untuk informasi yang mengarah pada penangkapannya.
Namun, status tersebut dicabut pada awal Desember 2024 setelah al-Sharaa bertemu dengan delegasi AS untuk berunding mengenai kondisi di Suriah.
Demikianlah ulasan mengenai profil Ahmed al-Sharaa, pemimpin de facto Suriah yang dulunya menjadi komandan di salah satu cabang Al Qaeda.
(sya)