Iran Ancam Akhiri Larangan Memperoleh Senjata Nuklir
loading...
A
A
A
LONDON - Iran mengancam akan mengakhiri larangannya untuk memperoleh senjata nuklir jika sanksi Barat diberlakukan kembali terhadap Teheran.
Ancaman itu disampaikan Menteri Luar Negeri Abbas Araghchi dalam wawancaranya dengan The Guardian yang yang diterbitkan Kamis menjelang pembicaraan Iran dan trio Eropa (Inggris, Prancis, dan Jerman) tentang program nuklir Teheran.
Pembicaraan itu akan berlangsung pada hari Jumat (29/11/2024) setelah ketiga pemerintah Eropa tersebut bergabung dengan Amerika Serikat untuk mengecam Teheran terkait pengayaan uranium seperti yang dibeberkan pengawas Badan Energi Atom Internasional (IAEA) di bawah PBB.
Iran tersinggung ketika pengayaan uraniumnya diusik. Para pejabatnya kemudian mengisyaratkan kesediaan Teheran untuk terlibat perundingan dengan pihak lain menjelang kembalinya Presiden terpilih Amerika Serikat (AS) Donald Trump ke Gedung Putih—yang pemerintahan terakhirnya menerapkan kebijakan "tekanan maksimum" terhadap republik Islam tersebut.
Iran bersikeras atas haknya atas energi nuklir untuk tujuan damai, tetapi menurut IAEA, Iran adalah satu-satunya negara non-senjata nuklir yang memperkaya uranium hingga 60 persen.
Araghchi, dalam wawancara tersebut, memperingatkan bahwa rasa frustrasi di Teheran atas komitmen yang tidak terpenuhi, seperti pencabutan sanksi, memicu perdebatan tentang apakah negara itu harus mengubah kebijakan nuklirnya.
"Kami tidak berniat untuk melangkah lebih jauh dari 60 persen untuk saat ini, dan ini adalah tekad kami saat ini," katanya kepada surat kabar Inggris tersebut.
"[Namun], ada perdebatan yang terjadi di Iran, dan sebagian besar di antara para elite, apakah kami harus mengubah doktrin nuklir kami," ujarnya.
"Karena sejauh ini terbukti tidak memadai dalam praktiknya," lanjut dia yang kecewa terhadap komitmen Barat soal pencabutan sanksi terhadap Iran.
Kesepakatan nuklir 2015 antara Teheran dan negara-negara besar bertujuan untuk memberikan Iran keringanan dari sanksi Barat yang melumpuhkan sebagai imbalan atas pembatasan program nuklirnya untuk mencegahnya mengembangkan kemampuan untuk memiliki senjata atom.
Teheran secara konsisten membantah adanya niat untuk mengembangkan senjata atom.
Iran telah meningkatkan pengayaan uranium menjadi 60 persen—mendekati 90 persen yang dibutuhkan untuk membuat bom nuklir.
Berdasarkan kesepakatan nuklir 2015—yang akan berakhir pada Oktober 2025—pengayaan uranium Iran dibatasi pada 3,67 persen.
Pemimpin Tertinggi Ayatollah Ali Khamenei, yang memiliki wewenang terakhir dalam pengambilan keputusan Iran, telah mengeluarkan dekrit agama atau fatwa yang melarang Iran memperoleh senjata nuklir.
Diplomat Iran Majid Takht-Ravanchi, yang menjabat sebagai wakil politik Araghchi, dijadwalkan mewakili Iran dalam pembicaraan hari Jumat.
Dia akan bertemu terlebih dahulu dengan Enrique Mora, wakil sekretaris jenderal badan urusan luar negeri Uni Eropa, menurut kantor berita negara Iran; IRNA.
Minggu lalu, dewan gubernur IAEA yang beranggotakan 35 negara mengadopsi resolusi yang mengecam Iran karena kurangnya kerja sama dalam masalah nuklir.
Iran menggambarkan resolusi yang dibawa oleh Inggris, Prancis, Jerman, dan Amerika Serikat sebagai "bermotif politik".
Sebagai tanggapan, Teheran mengumumkan peluncuran sentrifugal canggih baru yang dirancang untuk menambah persediaan uranium yang diperkaya.
Bagi Teheran, tujuan perundingan pada hari Jumat adalah untuk menghindari skenario "bencana ganda", di mana negara itu akan menghadapi tekanan baru dari Trump dan negara-negara Eropa, menurut analis politik Mostafa Shirmohammadi.
Dia mencatat bahwa dukungan Iran di antara pemerintah Eropa telah terkikis oleh tuduhan bahwa Iran menawarkan bantuan militer untuk invasi Rusia ke Ukraina.
Iran telah membantah tuduhan ini dan berharap untuk memperbaiki hubungan dengan Eropa, sementara juga mempertahankan sikap tegas.
Ancaman itu disampaikan Menteri Luar Negeri Abbas Araghchi dalam wawancaranya dengan The Guardian yang yang diterbitkan Kamis menjelang pembicaraan Iran dan trio Eropa (Inggris, Prancis, dan Jerman) tentang program nuklir Teheran.
Pembicaraan itu akan berlangsung pada hari Jumat (29/11/2024) setelah ketiga pemerintah Eropa tersebut bergabung dengan Amerika Serikat untuk mengecam Teheran terkait pengayaan uranium seperti yang dibeberkan pengawas Badan Energi Atom Internasional (IAEA) di bawah PBB.
Iran tersinggung ketika pengayaan uraniumnya diusik. Para pejabatnya kemudian mengisyaratkan kesediaan Teheran untuk terlibat perundingan dengan pihak lain menjelang kembalinya Presiden terpilih Amerika Serikat (AS) Donald Trump ke Gedung Putih—yang pemerintahan terakhirnya menerapkan kebijakan "tekanan maksimum" terhadap republik Islam tersebut.
Iran bersikeras atas haknya atas energi nuklir untuk tujuan damai, tetapi menurut IAEA, Iran adalah satu-satunya negara non-senjata nuklir yang memperkaya uranium hingga 60 persen.
Araghchi, dalam wawancara tersebut, memperingatkan bahwa rasa frustrasi di Teheran atas komitmen yang tidak terpenuhi, seperti pencabutan sanksi, memicu perdebatan tentang apakah negara itu harus mengubah kebijakan nuklirnya.
"Kami tidak berniat untuk melangkah lebih jauh dari 60 persen untuk saat ini, dan ini adalah tekad kami saat ini," katanya kepada surat kabar Inggris tersebut.
"[Namun], ada perdebatan yang terjadi di Iran, dan sebagian besar di antara para elite, apakah kami harus mengubah doktrin nuklir kami," ujarnya.
"Karena sejauh ini terbukti tidak memadai dalam praktiknya," lanjut dia yang kecewa terhadap komitmen Barat soal pencabutan sanksi terhadap Iran.
Kesepakatan nuklir 2015 antara Teheran dan negara-negara besar bertujuan untuk memberikan Iran keringanan dari sanksi Barat yang melumpuhkan sebagai imbalan atas pembatasan program nuklirnya untuk mencegahnya mengembangkan kemampuan untuk memiliki senjata atom.
Teheran secara konsisten membantah adanya niat untuk mengembangkan senjata atom.
Iran telah meningkatkan pengayaan uranium menjadi 60 persen—mendekati 90 persen yang dibutuhkan untuk membuat bom nuklir.
Berdasarkan kesepakatan nuklir 2015—yang akan berakhir pada Oktober 2025—pengayaan uranium Iran dibatasi pada 3,67 persen.
Pemimpin Tertinggi Ayatollah Ali Khamenei, yang memiliki wewenang terakhir dalam pengambilan keputusan Iran, telah mengeluarkan dekrit agama atau fatwa yang melarang Iran memperoleh senjata nuklir.
Diplomat Iran Majid Takht-Ravanchi, yang menjabat sebagai wakil politik Araghchi, dijadwalkan mewakili Iran dalam pembicaraan hari Jumat.
Dia akan bertemu terlebih dahulu dengan Enrique Mora, wakil sekretaris jenderal badan urusan luar negeri Uni Eropa, menurut kantor berita negara Iran; IRNA.
Minggu lalu, dewan gubernur IAEA yang beranggotakan 35 negara mengadopsi resolusi yang mengecam Iran karena kurangnya kerja sama dalam masalah nuklir.
Iran menggambarkan resolusi yang dibawa oleh Inggris, Prancis, Jerman, dan Amerika Serikat sebagai "bermotif politik".
Sebagai tanggapan, Teheran mengumumkan peluncuran sentrifugal canggih baru yang dirancang untuk menambah persediaan uranium yang diperkaya.
Bagi Teheran, tujuan perundingan pada hari Jumat adalah untuk menghindari skenario "bencana ganda", di mana negara itu akan menghadapi tekanan baru dari Trump dan negara-negara Eropa, menurut analis politik Mostafa Shirmohammadi.
Dia mencatat bahwa dukungan Iran di antara pemerintah Eropa telah terkikis oleh tuduhan bahwa Iran menawarkan bantuan militer untuk invasi Rusia ke Ukraina.
Iran telah membantah tuduhan ini dan berharap untuk memperbaiki hubungan dengan Eropa, sementara juga mempertahankan sikap tegas.
(mas)