Mengenal Nine Dash Line, Alasan China Mengklaim Natuna

Selasa, 07 Januari 2020 - 15:48 WIB
Mengenal Nine Dash Line, Alasan China Mengklaim Natuna
Mengenal Nine Dash Line, Alasan China Mengklaim Natuna
A A A
JAKARTA - Hubungan China-Indonesia memanas menyusul pelanggaran kedaulatan yang dilakukan oleh kapal nelayan dan kapal Coast Guard China (CCG) di perairan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) perairan Laut Natuna.

China mengklaim bahwa perairan Natuna, Kepulauan Riau, masuk dalam Nine Dash Line atau sembilan garis putus-putus. Indonesia pun menolak argumen China dan menegaskan bahwa Kepulauan Natuna milik Indonesia sesuai keputusan United Nation Convention of the Law of the Sea (UNCLOS) 1982 atau Hukum Laut Internasional yang disahkan PBB 1982. (Baca: Beberkan Empat Fakta, Indonesia Lawan Klaim China soal Natuna )

Lalu apa itu Nine Dash Line, yang menjadi dasar China mengklaim perairan Natuna dan bahkan Laut China Selatan?

Nine dash line adalah sembilan titik imaginer yang menjadi dasar bagi China, dengan dasar historis, untuk mengklaim wilayah Laut China Selatan. Titik-titik ini dibuat secara sepihak oleh China tanpa melalui konvensi hukum laut internasional di bawah PBB atau UNCLOS 1982 di mana China tercatat sebagai negara yang ikut menandatanganinya.

Menurut UCLOS 1982 suatu negara memiliki kedaulatan atas perairan yang membentang 12 mil laut dari wilayahnya dan kontrol eksklusif atas kegiatan ekonomi yang berjarak 200 mil laut yang disebut sebagai Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE). Namun China berpendapat bahwa Nine Dash Line muncul dalam tatanan dunia baru setelah Perang Dunia Kedua dan muncul jauh sebelum UNCLOS 1982.

China secara sengaja tidak pernah mendefinisikan makna hukum dari Nine Dash Line atau apa saja “hak-hak” yang dimilikinya di dalam batas itu. Ambiguitas ini telah mengarah pada gagasan di antara banyak orang China biasa bahwa itu menandai batas laut negara, tetapi sekali lagi, Beijing tidak pernah membuat ini secara eksplisit.

Nine Dash Line awalnya muncul di peta China sebagai 11 Dash Line pada tahun 1947. Kala itu, angkatan laut Republik China menguasai beberapa pulau di Laut China Selatan yang telah diduduki oleh Jepang selama Perang Dunia Kedua. Setelah Republik Rakyat China didirikan pada tahun 1949 dan pasukan Kuomintang melarikan diri ke Taiwan, pemerintah komunis menyatakan dirinya sebagai satu-satunya perwakilan sah China dan mewarisi semua klaim maritim di wilayah tersebut.

Namun kemudian dua "garis" dihapus pada awal 1950-an untuk memotong Teluk Tonkin sebagai isyarat untuk kawan-kawan komunis di Vietnam Utara.

Keberadaan Nine Dash Line ini yang ambigu ini kerap memantik kekisruhan dengan negara-negara lain di sekitar Laut China Selatan. Berdasarkan peta Laut China Selatan yang dikeluarkan Beijing, wilayah Nine Dash Line membentang dari Kepulauan Paracel hingga laut di Kepulauan Spratly. Masuknya Kepulauan Paracel dalam wilayah Nine Dash Line membuat China berseteru dengan Taiwan dan Vietnam. Sedangkan di Kepulauan Spartly, China berselisih dengan Taiwan, Filipina, Vietnam, Malaysia, dan Brunei Darussalam.

Sementara terkait dengan perairan di Laut Natuna, Indonesia tidak pernah mengklaim bagian dari Laut China Selatan, yang diperselisihkan China dengan Filipina, Brunei, Malaysia, Taiwan dan Vietnam. Tapi perairan yang sekarang disebut Laut Natuna Utara itu tumpang tindih dengan Nine Dash Line yang dinyatakan secara sepihak oleh China, yang menguasai hampir seluruh Laut Cina Selatan. (Baca: China Tuntut Indonesia Batalkan Penamaan Laut Natuna Utara )

China berpendapatan bahwa perairan itu adalah wilayah penangkapan ikan tradisional nelayan China sejak ribuan tahun lalu. Terang saja klaim ini ditolak mentah-mentah oleh pemerintah Indonesia. Menurut Menteri Luar Negeri Indonesia, Retno Marsudi, wilayah ZEE Indonesia telah ditetapkan oleh hukum internasional yaitu melalui UNCLOS 1982.

"Indonesia tidak pernah akan mengakui Nine-Dash Line, klaim sepihak yang dilakukan oleh Tiongkok yang tidak memiliki alasan hukum yang diakui oleh hukum Internasional terutama UNCLOS 1982,” tegas Retno.
(ian)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3265 seconds (0.1#10.140)