Biden dan Xi Jinping Sepakat Manusia yang Harus Mendikte Senjata Nuklir, Bukan AI
loading...
A
A
A
LIMA - Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden dan koleganya dari China Xi Jinping bertemu pada Sabtu sore dan sepakat bahwa manusia, bukan artificial intelligence (AI), yang harus mendikte penggunaan senjata nuklir.
Kedua pemimpin tersebut bertemu di sela-sela KTT Kerja Sama Ekonomi Asia-Pasifik tahunan, yang diselenggarakan di Peru.
Ini diyakini sebagai pertemuan tatap muka terakhir antara kedua pemimpin dunia saat Biden masih berada di Oval Office Gedung Putih.
Sebelum menyampaikan pidato pembukaan mereka pada konferensi pers bersama, Biden dan Xi berjabat tangan dan bertukar senyum ramah. Pertemuan itu berlangsung di tengah-tengah masa jabatan presidensial Donald Trump yang semakin dekat.
“Kedua pemimpin menegaskan perlunya mempertahankan kendali manusia atas keputusan untuk menggunakan senjata nuklir,” kata Gedung Putih dalam sebuah pernyataan, seperti dikutip First Post, Minggu (17/11/2024).
“Kedua pemimpin juga menekankan perlunya mempertimbangkan dengan saksama potensi risiko dan mengembangkan teknologi AI di bidang militer dengan cara yang bijaksana dan bertanggung jawab," lanjut pernyataan Gedung Putih.
Meskipun tidak jelas apakah pertemuan mereka akan mengarah pada pembicaraan lebih lanjut antara kedua negara, pernyataan Gedung Putih menandai diskusi pertama antara kedua pemimpin mengenai AI dan senjata nuklir.
Washington telah mendesak Beijing selama berbulan-bulan untuk menghentikan penolakannya yang telah berlangsung lama terhadap pembicaraan senjata nuklir.
Sebelumnya, kedua negara sempat melanjutkan pembicaraan tingkat resmi mengenai senjata nuklir. Namun, negosiasi tersebut telah terhenti selama berbulan-bulan dengan pejabat AS yang menyatakan frustrasi mengenai keengganan rekan-rekan mereka dari China.
Tidak hanya itu, kembalinya Trump ke Gedung Putih juga menimbulkan bayangan hitam atas hubungan kedua negara karena masih belum jelas bagaimana AS akan menangani China di bawah rezim Trump.
Selama kampanyenya, Trump menunjukkan pendekatan agresif terhadap China, dengan berjanji untuk menaikkan tarif hingga 60 persen atas impor Beijing.
Setelah kemenangannya dalam Pemilu 2024, Trump memilih Senator Marco Rubio sebagai menteri luar negeri dan politisi Partai Republik Mike Waltz sebagai penasihat keamanan nasional, yang keduanya telah menyuarakan pandangan agresif terhadap China.
Sementara itu, Xi Jinping mengucapkan selamat kepada Trump atas kemenangan telaknya, dengan menyatakan bahwa kedua negara mereka harus "saling rukun di era baru", dalam sebuah pernyataan.
"Hubungan China-AS yang stabil, sehat, dan berkelanjutan merupakan kepentingan bersama kedua negara dan sejalan dengan harapan masyarakat internasional," kata Xi Jinping baru-baru ini.
Meskipun demikian, hubungan antara China dan AS telah berada di ujung tanduk baru-baru ini setelah penyelidikan FBI menunjukkan bahwa pemerintah Beijing mencoba meretas jaringan telekomunikasi Washington untuk mencoba mencuri informasi dari pekerja pemerintah dan politisi Amerika.
Bulan lalu, para pejabat menyebutkan bahwa operasi yang terkait dengan China menargetkan telepon Trump dan pasangannya; JD Vance, bersama dengan staf Kamala Harris.
Kedua pemimpin tersebut bertemu di sela-sela KTT Kerja Sama Ekonomi Asia-Pasifik tahunan, yang diselenggarakan di Peru.
Ini diyakini sebagai pertemuan tatap muka terakhir antara kedua pemimpin dunia saat Biden masih berada di Oval Office Gedung Putih.
Sebelum menyampaikan pidato pembukaan mereka pada konferensi pers bersama, Biden dan Xi berjabat tangan dan bertukar senyum ramah. Pertemuan itu berlangsung di tengah-tengah masa jabatan presidensial Donald Trump yang semakin dekat.
“Kedua pemimpin menegaskan perlunya mempertahankan kendali manusia atas keputusan untuk menggunakan senjata nuklir,” kata Gedung Putih dalam sebuah pernyataan, seperti dikutip First Post, Minggu (17/11/2024).
“Kedua pemimpin juga menekankan perlunya mempertimbangkan dengan saksama potensi risiko dan mengembangkan teknologi AI di bidang militer dengan cara yang bijaksana dan bertanggung jawab," lanjut pernyataan Gedung Putih.
Meskipun tidak jelas apakah pertemuan mereka akan mengarah pada pembicaraan lebih lanjut antara kedua negara, pernyataan Gedung Putih menandai diskusi pertama antara kedua pemimpin mengenai AI dan senjata nuklir.
Washington telah mendesak Beijing selama berbulan-bulan untuk menghentikan penolakannya yang telah berlangsung lama terhadap pembicaraan senjata nuklir.
Sebelumnya, kedua negara sempat melanjutkan pembicaraan tingkat resmi mengenai senjata nuklir. Namun, negosiasi tersebut telah terhenti selama berbulan-bulan dengan pejabat AS yang menyatakan frustrasi mengenai keengganan rekan-rekan mereka dari China.
Tidak hanya itu, kembalinya Trump ke Gedung Putih juga menimbulkan bayangan hitam atas hubungan kedua negara karena masih belum jelas bagaimana AS akan menangani China di bawah rezim Trump.
Selama kampanyenya, Trump menunjukkan pendekatan agresif terhadap China, dengan berjanji untuk menaikkan tarif hingga 60 persen atas impor Beijing.
Setelah kemenangannya dalam Pemilu 2024, Trump memilih Senator Marco Rubio sebagai menteri luar negeri dan politisi Partai Republik Mike Waltz sebagai penasihat keamanan nasional, yang keduanya telah menyuarakan pandangan agresif terhadap China.
Sementara itu, Xi Jinping mengucapkan selamat kepada Trump atas kemenangan telaknya, dengan menyatakan bahwa kedua negara mereka harus "saling rukun di era baru", dalam sebuah pernyataan.
"Hubungan China-AS yang stabil, sehat, dan berkelanjutan merupakan kepentingan bersama kedua negara dan sejalan dengan harapan masyarakat internasional," kata Xi Jinping baru-baru ini.
Meskipun demikian, hubungan antara China dan AS telah berada di ujung tanduk baru-baru ini setelah penyelidikan FBI menunjukkan bahwa pemerintah Beijing mencoba meretas jaringan telekomunikasi Washington untuk mencoba mencuri informasi dari pekerja pemerintah dan politisi Amerika.
Bulan lalu, para pejabat menyebutkan bahwa operasi yang terkait dengan China menargetkan telepon Trump dan pasangannya; JD Vance, bersama dengan staf Kamala Harris.
(mas)