Israel Ingin Berdamai dengan Negara-negara Arab setelah Perangnya Picu Kemarahan
loading...
A
A
A
TEL AVIV - Perdana Menteri (PM) Israel Benjamin Netanyahu mengatakan dia mengupayakan perdamaian dengan negara-negara Arab setelah setahun perang di Gaza dan Lebanon memicu kemarahan dunia Arab.
Netanyahu menyampaikan hal itu kepada anggota Parlemen Israel pada hari Senin saat Washington berupaya menggalang dukungan negara-negara Arab untuk rencana jangka panjang pemerintahan pascaperang di Jalur Gaza, dan kesepakatan normalisasi lebih lanjut dengan Israel setelah Kesepakatan Abraham 2020.
"Saya bercita-cita untuk melanjutkan proses yang saya lalui beberapa tahun lalu, dengan penandatanganan Kesepakatan Abraham yang bersejarah, untuk mencapai perdamaian dengan negara-negara Arab lainnya," kata Netanyahu dalam pidatonya di hadapan para anggota Parlemen.
Kesepakatan Abraham yang ditengahi Amerika Serikat mempertemukan negara-negara Teluk; Bahrain dan Uni Emirat Arab, serta Maroko, yang menjalin hubungan formal dengan Israel.
"Saya menekankan perdamaian demi perdamaian, perdamaian demi kekuatan dengan negara-negara penting di Timur Tengah," kata Netanyahu, seperti dikutip AFP, Selasa (29/10/2024).
"Negara-negara ini dan negara-negara lain melihat dengan jelas pukulan yang kami berikan kepada mereka yang menyerang kami, poros kejahatan Iran," imbuh dia, dua hari setelah Israel mengebom target militer di Iran, sebagai balasan atas serangan ratusan rudal Iran terhadap Israel pada 1 Oktober lalu.
"Mereka terkesan dengan tekad dan keberanian kami. Seperti kami, mereka bercita-cita untuk Timur Tengah yang stabil, aman, dan makmur," ujarnya."
Kesepakatan Abraham dicapai di bawah pemerintahan presiden AS saat itu Donald Trump, yang sekarang sedang berupaya untuk kembali berkuasa di Gedung Putih.
Amerika Serikat, pendukung utama Israel, telah lama berupaya menjadi penengah kesepakatan normalisasi hubungan antara Arab Saudi dan Israel, yang akan memerlukan jaminan keamanan AS untuk kerajaan tersebut.
Washington berharap dapat memberikan insentif kepada Netanyahu untuk menghentikan perang dan mendapatkan sekutu Arab yang kuat, penjaga dua tempat suci umat Islam.
Namun, Riyadh telah mensyaratkan kesepakatan tersebut pada pengakuan Negara Palestina yang merdeka—prospek yang ditolak oleh Israel.
Arab Saudi tidak bergabung dengan Kesepakatan Abraham 2020 dan tidak pernah mengakui Negara Israel.
Namun, kesepakatan tersebut tampak lebih dekat tahun lalu, sebelum serangan Hamas pada 7 Oktober di Israel, yang memicu perang paling mematikan yang pernah ada di Gaza.
Minggu lalu, Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken berupaya membuat kemajuan dengan Arab Saudi dalam normalisasi dengan Israel.
Diplomat tertinggi AS terbang langsung dari Tel Aviv di Israel ke Ibu Kota Arab Saudi, Riyadh, dalam perjalanan ke Timur Tengah beberapa hari sebelum pemilu AS.
"Terlepas dari semua yang telah terjadi, masih ada peluang luar biasa di kawasan ini untuk bergerak ke arah yang sama sekali berbeda," kata Blinken beberapa menit sebelum meninggalkan Israel.
"Arab Saudi akan menjadi inti dari itu, dan itu termasuk kemungkinan normalisasi hubungan dengan Israel."
Netanyahu menyampaikan hal itu kepada anggota Parlemen Israel pada hari Senin saat Washington berupaya menggalang dukungan negara-negara Arab untuk rencana jangka panjang pemerintahan pascaperang di Jalur Gaza, dan kesepakatan normalisasi lebih lanjut dengan Israel setelah Kesepakatan Abraham 2020.
"Saya bercita-cita untuk melanjutkan proses yang saya lalui beberapa tahun lalu, dengan penandatanganan Kesepakatan Abraham yang bersejarah, untuk mencapai perdamaian dengan negara-negara Arab lainnya," kata Netanyahu dalam pidatonya di hadapan para anggota Parlemen.
Kesepakatan Abraham yang ditengahi Amerika Serikat mempertemukan negara-negara Teluk; Bahrain dan Uni Emirat Arab, serta Maroko, yang menjalin hubungan formal dengan Israel.
"Saya menekankan perdamaian demi perdamaian, perdamaian demi kekuatan dengan negara-negara penting di Timur Tengah," kata Netanyahu, seperti dikutip AFP, Selasa (29/10/2024).
"Negara-negara ini dan negara-negara lain melihat dengan jelas pukulan yang kami berikan kepada mereka yang menyerang kami, poros kejahatan Iran," imbuh dia, dua hari setelah Israel mengebom target militer di Iran, sebagai balasan atas serangan ratusan rudal Iran terhadap Israel pada 1 Oktober lalu.
"Mereka terkesan dengan tekad dan keberanian kami. Seperti kami, mereka bercita-cita untuk Timur Tengah yang stabil, aman, dan makmur," ujarnya."
Kesepakatan Abraham dicapai di bawah pemerintahan presiden AS saat itu Donald Trump, yang sekarang sedang berupaya untuk kembali berkuasa di Gedung Putih.
Amerika Serikat, pendukung utama Israel, telah lama berupaya menjadi penengah kesepakatan normalisasi hubungan antara Arab Saudi dan Israel, yang akan memerlukan jaminan keamanan AS untuk kerajaan tersebut.
Washington berharap dapat memberikan insentif kepada Netanyahu untuk menghentikan perang dan mendapatkan sekutu Arab yang kuat, penjaga dua tempat suci umat Islam.
Namun, Riyadh telah mensyaratkan kesepakatan tersebut pada pengakuan Negara Palestina yang merdeka—prospek yang ditolak oleh Israel.
Arab Saudi tidak bergabung dengan Kesepakatan Abraham 2020 dan tidak pernah mengakui Negara Israel.
Namun, kesepakatan tersebut tampak lebih dekat tahun lalu, sebelum serangan Hamas pada 7 Oktober di Israel, yang memicu perang paling mematikan yang pernah ada di Gaza.
Minggu lalu, Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken berupaya membuat kemajuan dengan Arab Saudi dalam normalisasi dengan Israel.
Diplomat tertinggi AS terbang langsung dari Tel Aviv di Israel ke Ibu Kota Arab Saudi, Riyadh, dalam perjalanan ke Timur Tengah beberapa hari sebelum pemilu AS.
"Terlepas dari semua yang telah terjadi, masih ada peluang luar biasa di kawasan ini untuk bergerak ke arah yang sama sekali berbeda," kata Blinken beberapa menit sebelum meninggalkan Israel.
"Arab Saudi akan menjadi inti dari itu, dan itu termasuk kemungkinan normalisasi hubungan dengan Israel."
(mas)