Kisah Michiko, Bagaimana Seorang Gadis Hiroshima Selamat dari Bom Nuklir Amerika
loading...
A
A
A
"Kami Tak Bisa Biarkan Darahmu Campur dengan Darah Keluarga Kami"
Dampak tersebut terkadang membutuhkan waktu bertahun-tahun atau bahkan puluhan tahun untuk terwujud dan menjadi penyebab diskriminasi serta sumber penghinaan bagi para hibakusha, bahkan di tangan sesama warga Jepang.
Ada ketakutan bahwa para hibakusha mengidap penyakit yang tidak terlihat dan menular, yang membuat mereka sulit mencari pekerjaan di bagian lain Jepang, atau bahkan untuk menikah.
Pada tahun-tahun setelah serangan nuklir, Michiko dan keluarganya berusaha membangun kembali kehidupan mereka.
Ayahnya melakukan upaya yang gagal untuk memulai kembali bisnis penerbitan keluarga, dan akhirnya menjadi editor majalah anak-anak.
Ibunya, yang dibesarkan dalam keluarga samurai aristokrat yang telah membekalinya dengan keterampilan membuat kimono dan menampilkan tarian tradisional Jepang, tidak tahu banyak tentang pekerjaan rumah tangga dan harus menyesuaikan diri. Dia menukar kimono yang tersisa dengan sayuran untuk memberi makan keluarganya, dan ketika kimono habis, dia mulai membuat dan menjualnya.
Karena tekanan keuangan, Michiko tidak dapat kuliah dan terpaksa mencari pekerjaan. Dia mendapatkan pekerjaan sebagai pegawai administrasi dan segera menjalin hubungan dengan seorang kolega muda yang telah kehilangan ayahnya dalam perang. Keluarganya tinggal di luar Hiroshima, jauh dari daerah yang terkena radiasi.
Suatu hari, pemuda itu meminta Michiko untuk pulang menemui ibunya. Ini hanya berarti satu hal.
“Ketika kami tiba, kami menemukan banyak sekali kerabat di sana. Seorang paman yang lebih tua berkata: ‘Saya mendengar dari keponakan saya bahwa dia ingin menikahi Anda, oleh karena itu kami meneliti keluarga Anda—dan tidak ada masalah dengan asal usul Anda. Tetapi kami mendengar bahwa Anda seorang hibakusha. Jadi, kami tidak bisa membiarkan darahmu bercampur dengan darah keluarga kami'," kenang Michiko.
Itu adalah pukulan yang menghancurkan, tetapi Michiko mengatakan bahwa dia bisa mengerti.
“Saya merasa sedih saat itu—lagipula, saya tidak melakukan apa pun yang pantas menerima ini. Bukan salah saya jika bom nuklir dijatuhkan. Tetapi saya juga telah membaca berita tentang bayi lahir mati, keguguran, dan anak-anak cacat, semuanya karena bom atom—dan kerabat pacar saya tentu saja tidak ingin hal seperti itu terjadi dalam keluarga mereka sendiri," paparnya.