Myanmar Diadili Kasus Genosida Rohingya, Suu Kyi Pasang Badan
A
A
A
THE HAGUE - Peraih Nobel Perdamaian asal Myanmar Aung San Suu Kyi dijadwalkan akan membela negaranya secara pribadi di Pengadilan Internasional (ICJ) atas tuduhan genosida. Ini menjadi pertaruhan luar biasa bagi wanita berusia 74 tahun yang pernah dipuji sebagai ikon hak asasi.
Pemimpin sipil Myanmar itu akan muncul di ICJ terkait tuduhan bahwa negara mayoritas Buddha itu berusaha memusnahkan etnis minoritas Muslim Rohingya dalam penumpasan militer 2017.
Penyelidik PBB tahun lalu militer Myanmar telah melakukan genosida terhadap etnir Rohingys.
"Saya menuntut keadilan dari dunia," kata Nur Karima, seorang pengungsi Rohingya yang saudara dan kakek neneknya tewas dalam pembantaian di desa Tula Toli pada Agustus 2017.
"Saya ingin melihat para terpidana pergi ke tiang gantungan. Mereka membunuh kami tanpa ampun," kata pengungsi lain dari Tula Toli, Saida Khatun, seperti dikutip dari AFP, Selasa (10/12/2019).
Adalah Gambia yang menyeret Myanmar ke ICJ atas pertumpahan darah itu dengan menuduh negara Asia Tengga tersebut telah melanggar Konvensi Genosida 1948.
Sidang tiga hari ini akan mejadi sejarah bagi ICJ, yang didirikan pada 1946 untuk mengadili perselisihan antara negara-negara anggota PBB.
Gambia yang mayoritas Muslim, bertindak atas nama Organisasi Kerjasama Islam (OKI) yang beranggotakan 57 negara. Negara di Afrika Barat itu akan berbicara di ICJ pada Selasa (10/12/2019), ketika akan meminta pengadilan untuk langkah-langkah darurat guna menghentikan tindakan genodisa yang sedang berlangsung di Myanmar.
"Tindakan genosida yang dilakukan selama operasi ini dimaksudkan untuk menghancurkan Rohingya sebagai sebuah kelompok, secara keseluruhan atau sebagian, dengan menggunakan pembunuhan massal, pemerkosaan dan bentuk-bentuk kekerasan seksual lainnya," kata Gambia dalam pendapatnya di pengadilan seperti dikutip dari AFP.
Sementara itu kantor Suu Kyi mengatakan ia akan membela kepentingan nasional Myanmar karena ia menjadi salah satu pemimpim pertama yang memimpin pertahanan negara mereka di pengadilan.
Ia dijadwalkan akan berbicara di ICJ pada Rabu esok. Diperkirakan, Suu Kyi akan menyatakan bahwa ICJ tidak memiliki yurisdiksi dan Myanmar hanya menargetkan militan Rohingya dalam operasi militernya.
Dalam sejarahnya, adalah fakta bahwa genosida sulit dibuktikan dalam hukum. Hakim ICJ sendiri sejauh ini hanya satu kali memutuskan kasus genosida yaitu dalam pembantaian Srebrenica 1995 di Bosnia.
Myanmar sendiri menghadapi sejumlah tantangan hukum terkait atas nasib Rohingya, termasuk penyelidikan oleh Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) dan gugatannya diajukan oleh Argentina.
Reputasi internasional Suu Kyi telah ternoda oleh aksi bisunya atas keadaan buruk Rohingya, dan pembelaannya terhadap para jenderal yang sama yang pernah membuatnya menjadi tahanan rumah. Ini membuat sejumlah pihak menuntut agar Hadiah Nobel Perdamaian yang diterimanya ditarik, sementara Kanada mencabut kewarganegaraan kehormatannya.
"Suu Kyi hal terbaik yang bisa dilakukan untuk mengembalikan citranya di mata dunia adalah dengan mengatakan bahwa orang-orang Rohingya telah dianiaya," kata Abdul Malik Mujahid, seorang imam yang memimpin Satuan Tugas Myanmar yang bermarkas di AS.
"Tanpa itu pembelaannya akan menggelikan," tukasnya.
Pemimpin sipil Myanmar itu akan muncul di ICJ terkait tuduhan bahwa negara mayoritas Buddha itu berusaha memusnahkan etnis minoritas Muslim Rohingya dalam penumpasan militer 2017.
Penyelidik PBB tahun lalu militer Myanmar telah melakukan genosida terhadap etnir Rohingys.
"Saya menuntut keadilan dari dunia," kata Nur Karima, seorang pengungsi Rohingya yang saudara dan kakek neneknya tewas dalam pembantaian di desa Tula Toli pada Agustus 2017.
"Saya ingin melihat para terpidana pergi ke tiang gantungan. Mereka membunuh kami tanpa ampun," kata pengungsi lain dari Tula Toli, Saida Khatun, seperti dikutip dari AFP, Selasa (10/12/2019).
Adalah Gambia yang menyeret Myanmar ke ICJ atas pertumpahan darah itu dengan menuduh negara Asia Tengga tersebut telah melanggar Konvensi Genosida 1948.
Sidang tiga hari ini akan mejadi sejarah bagi ICJ, yang didirikan pada 1946 untuk mengadili perselisihan antara negara-negara anggota PBB.
Gambia yang mayoritas Muslim, bertindak atas nama Organisasi Kerjasama Islam (OKI) yang beranggotakan 57 negara. Negara di Afrika Barat itu akan berbicara di ICJ pada Selasa (10/12/2019), ketika akan meminta pengadilan untuk langkah-langkah darurat guna menghentikan tindakan genodisa yang sedang berlangsung di Myanmar.
"Tindakan genosida yang dilakukan selama operasi ini dimaksudkan untuk menghancurkan Rohingya sebagai sebuah kelompok, secara keseluruhan atau sebagian, dengan menggunakan pembunuhan massal, pemerkosaan dan bentuk-bentuk kekerasan seksual lainnya," kata Gambia dalam pendapatnya di pengadilan seperti dikutip dari AFP.
Sementara itu kantor Suu Kyi mengatakan ia akan membela kepentingan nasional Myanmar karena ia menjadi salah satu pemimpim pertama yang memimpin pertahanan negara mereka di pengadilan.
Ia dijadwalkan akan berbicara di ICJ pada Rabu esok. Diperkirakan, Suu Kyi akan menyatakan bahwa ICJ tidak memiliki yurisdiksi dan Myanmar hanya menargetkan militan Rohingya dalam operasi militernya.
Dalam sejarahnya, adalah fakta bahwa genosida sulit dibuktikan dalam hukum. Hakim ICJ sendiri sejauh ini hanya satu kali memutuskan kasus genosida yaitu dalam pembantaian Srebrenica 1995 di Bosnia.
Myanmar sendiri menghadapi sejumlah tantangan hukum terkait atas nasib Rohingya, termasuk penyelidikan oleh Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) dan gugatannya diajukan oleh Argentina.
Reputasi internasional Suu Kyi telah ternoda oleh aksi bisunya atas keadaan buruk Rohingya, dan pembelaannya terhadap para jenderal yang sama yang pernah membuatnya menjadi tahanan rumah. Ini membuat sejumlah pihak menuntut agar Hadiah Nobel Perdamaian yang diterimanya ditarik, sementara Kanada mencabut kewarganegaraan kehormatannya.
"Suu Kyi hal terbaik yang bisa dilakukan untuk mengembalikan citranya di mata dunia adalah dengan mengatakan bahwa orang-orang Rohingya telah dianiaya," kata Abdul Malik Mujahid, seorang imam yang memimpin Satuan Tugas Myanmar yang bermarkas di AS.
"Tanpa itu pembelaannya akan menggelikan," tukasnya.
(ian)