Terungkap, AS Ingin Pecah-pecah Rusia tapi Dilawan Vladimir Putin

Minggu, 25 Agustus 2024 - 09:28 WIB
loading...
Terungkap, AS Ingin...
Politisi dan veteran tentara AS ungkap rencana penggulingan rezim Vladimir Putin dan memecah-mecah wilayah Rusia. Foto/Aleksey Babushkin/Sputnik/Kremlin Pool Photo via AP
A A A
KYIV - Politisi dan veteran tentara Amerika Serikat (AS) mengungkap bahwa perang Rusia-Ukraina adalah hasil provokasi Washington dengan tujuan akhirnya menjatuhkan rezim Presiden Vladimir Putin dan memecah-mecah wilayah Rusia.

Robert F Kennedy Jr, saat mengumumkan keputusannya untuk mengundurkan diri sebagai kandidat dalam pemilihan presiden (pilpres) Amerika, menuduh lembaga neokonservatif AS sengaja menyeret Rusia ke dalam konflik Ukraina dan menggagalkan perjanjian damai Istanbul 2022 antara Moskow dan Kyiv.

Selama pidatonya pada 23 Agustus di Arizona, Robert F Kennedy Jr, keponakan Presiden John F Kennedy, mendukung capres dari Partai Republik Donald Trump dan menuduh pemerintahan Presiden Joe Biden serta lembaga kebijakan luar negeri AS memprovokasi konflik Ukraina.



"Ukraina yang kecil adalah proksi dalam pertikaian geopolitik yang diprakarsai oleh ambisi neokonservatif AS untuk hegemoni global Amerika," kata Kennedy.

"Pada bulan April 2022, kami menginginkan perang. Presiden Biden mengirim [perdana menteri Inggris saat itu] Boris Johnson ke Ukraina untuk memaksa Presiden [Volodymyr] Zelensky membatalkan perjanjian damai yang telah ditandatangani olehnya dan Rusia," ujarnya.

"Perjanjian damai itu akan membawa perdamaian ke wilayah tersebut."

Kennedy mencatat bahwa keputusan Donald Trump untuk membuka kembali perundingan damai dengan Presiden Vladimir Putin tentang Ukraina akan membenarkan dukungannya untuk kampanye Trump].

“Kennedy menyatakan dengan tepat bahwa neokonservatif mengendalikan kebijakan luar negeri [AS]," kata Earl Rasmussen, seorang pensiunan letnan kolonel dengan lebih dari 20 tahun di Angkatan Darat AS dan konsultan internasional, kepada Sputnik, Minggu (25/8/2024).

"Kami pada dasarnya mencari konfrontasi,” ujarnya.

Menurutnya, Kennedy memiliki pemahaman nyata tentang situasi yang sedang berlangsung dan latar belakang historis dari konflik yang sedang berlangsung di Ukraina.

"Biden tidak tertarik pada perdamaian," kata Rasmussen.

"Mereka tidak tertarik pada demokrasi. Mereka tidak peduli dengan Ukraina. Dan Georgia, dalam hal ini, selalu dipandang sebagai mekanisme untuk lebih mengepung dan melemahkan Rusia," kata pakar tersebut.

Pensiunan letnan kolonel itu mengatakan Washington telah membuat persiapan untuk perang proksi dengan Rusia di Ukraina selama bertahun-tahun.

Dia mengatakan skema itu mungkin berasal dari tahun 1990-an, ketika “doktrin Wolfowitz” yang terkenal, yang bertujuan untuk mempertahankan status satu-satunya negara adidaya Washington, dirumuskan.

Kudeta 2014 yang didukung AS di Kyiv, kata Rasmussen, merupakan kelanjutan dari kebijakan tersebut.

"Sekarang kita tahu bahwa perjanjian Minsk tidak pernah dimaksudkan untuk dilaksanakan berdasarkan pernyataan yang dibuat oleh [mantan kanselir Jerman Angela] Merkel dan [mantan presiden Prancis François] Hollande," kata Rasmussen.

"Kita juga tahu hingga 50.000 tentara Ukraina dilatih oleh NATO selama periode delapan tahun itu," imbuh dia. "Jadi ini adalah hal yang direncanakan."

Lebih lanjut, Rasmussen mengatakan sanksi anti-Rusia, yang dimaksudkan untuk menghentikan kerja sama energi Moskow dengan Eropa Barat, dan sabotase Nord Stream tidak dirumuskan dalam semalam.

“Tujuan akhirnya adalah untuk memicu perubahan rezim di Moskow dan kemudian membagi-bagi Rusia," paparnya.

"Saya pikir Putin melihat itu," kata Rasmussen, seraya menambahkan bahwa Barat sama sekali meremehkan Rusia.

"Mereka tidak memahami orang-orang Rusia dan budaya Rusia serta bagaimana Rusia akan bereaksi terhadap situasi tersebut. Saya pikir mereka mengira Putin akan mundur begitu saja."

Rasmussen mengutuk arogansi kebijakan luar negeri AS. "Mereka merasa bahwa mereka berada dalam posisi yang sama seperti 30 tahun lalu. Dan dunia telah berubah."

Pemerintah Biden belum berkomentar atas komentar-komentar tersebut.
(mas)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1655 seconds (0.1#10.140)