Profil Ismail Haniyeh, Pemimpin Hamas yang Terbunuh di Iran
loading...
A
A
A
TEHERAN - Pemimpin Hamas Ismail Haniyeh terbunuh di ibu kota Iran, Teheran. Kabar yang dilansir kantor berita Mehr pada Rabu (31/7/2024) itu sangat mengejutkan.
Kantor berita tersebut mengatakan Haniyeh dan salah satu pengawalnya "mati syahid" setelah kediaman mereka di Teheran menjadi sasaran.
Dia selama ini memang menjadi target pembunuhan Israel. Lantas siapakah sebenarnya Ismail Haniyeh itu?
Pada 6 Mei 2017, Hamas yang menguasai Jalur Gaza, memilih Ismail Abdulsalam Ahmed Haniyeh, sebagai kepala biro politiknya, menggantikan Khaled Meshaal.
Lahir di kamp pengungsi Shati di Gaza dari orang tua yang melarikan diri dari kota Asqalan setelah negara Israel didirikan pada tahun 1948, Haniyeh belajar di Institut Al-Azhar di Gaza dan lulus dengan gelar sastra Arab dari Universitas Islam di Gaza.
Saat kuliah pada tahun 1983, dia bergabung dengan Blok Mahasiswa Islam, cikal bakal Hamas.
Dia naik pangkat di Hamas sebagai ajudan dekat dan asisten salah seorang pendiri Hamas, mendiang Sheikh Ahmed Yassin.
Haniyeh dipenjara beberapa kali oleh otoritas Israel dan tinggal di dalam dan luar Jalur Gaza, setelah menghadapi berbagai upaya deportasi dan pembunuhan oleh Israel.
Awal tahun ini, serangan Israel menewaskan tiga putranya di Gaza utara. Serangan Israel di Gaza utara telah menewaskan tiga putra pemimpin Hamas Ismail Haniyeh saat Israel terus membombardir daerah kantong yang terkepung itu pada hari raya Idul Fitri.
Dalam wawancara dengan Al Jazeera Arabic, Haniyeh mengonfirmasi pembunuhan anak-anaknya Hazem, Amir dan Mohammad beserta sejumlah cucunya.
Kantor berita Shehab melaporkan tiga cucu pemimpin Hamas tewas dalam serangan itu.
Haniyeh mengatakan mereka menjadi sasaran saat mengunjungi kerabat untuk merayakan Idul Fitri di kamp pengungsi Shati.
"Melalui darah para martir dan rasa sakit para korban luka, kita menciptakan harapan, kita menciptakan masa depan, kita menciptakan kemerdekaan dan kebebasan bagi rakyat dan negara kita," tegas dia, seraya menambahkan sekitar 60 anggota keluarganya, termasuk keponakan, telah tewas sejak dimulainya perang.
Pemimpin politik Hamas, yang bermarkas di negara Teluk Qatar itu mengecam apa yang ia gambarkan sebagai kebrutalan Israel di Gaza.
Dia menekankan para pemimpin Palestina tidak akan mundur jika keluarga dan rumah mereka menjadi sasaran.
"Tidak diragukan lagi bahwa musuh kriminal ini didorong oleh semangat balas dendam dan semangat pembunuhan dan pertumpahan darah, dan tidak mematuhi standar atau hukum apa pun," tegas Haniyeh.
"Kami telah melihatnya melanggar segalanya di tanah Gaza. Ada perang pembersihan etnis dan genosida. Ada pengungsian massal."
Haniyeh mengatakan serangan terhadap keluarganya adalah bukti "kegagalan" Israel karena terus menghadapi pejuang Palestina di Gaza.
Dia menambahkan pembunuhan tersebut tidak akan mengubah posisi Hamas dalam perundingan gencatan senjata tidak langsung yang sedang berlangsung.
Dia menekankan Hamas tidak akan menarik tuntutannya, yang mencakup gencatan senjata permanen dan pengembalian warga Palestina yang mengungsi ke rumah mereka.
"Jika mereka berpikir bahwa menargetkan anak-anak saya di puncak pembicaraan ini sebelum tanggapan gerakan (Hamas) diajukan akan menyebabkan Hamas mengubah posisinya, mereka sedang berkhayal," ujar Haniyeh, merujuk pada Israel.
"Darah anak-anak saya tidak lebih berharga daripada darah anak-anak rakyat Palestina... Semua martir Palestina adalah anak-anak saya."
Kantor berita tersebut mengatakan Haniyeh dan salah satu pengawalnya "mati syahid" setelah kediaman mereka di Teheran menjadi sasaran.
Dia selama ini memang menjadi target pembunuhan Israel. Lantas siapakah sebenarnya Ismail Haniyeh itu?
Profil Ismail Haniyeh
Pada 6 Mei 2017, Hamas yang menguasai Jalur Gaza, memilih Ismail Abdulsalam Ahmed Haniyeh, sebagai kepala biro politiknya, menggantikan Khaled Meshaal.
Lahir di kamp pengungsi Shati di Gaza dari orang tua yang melarikan diri dari kota Asqalan setelah negara Israel didirikan pada tahun 1948, Haniyeh belajar di Institut Al-Azhar di Gaza dan lulus dengan gelar sastra Arab dari Universitas Islam di Gaza.
Saat kuliah pada tahun 1983, dia bergabung dengan Blok Mahasiswa Islam, cikal bakal Hamas.
Dia naik pangkat di Hamas sebagai ajudan dekat dan asisten salah seorang pendiri Hamas, mendiang Sheikh Ahmed Yassin.
Haniyeh dipenjara beberapa kali oleh otoritas Israel dan tinggal di dalam dan luar Jalur Gaza, setelah menghadapi berbagai upaya deportasi dan pembunuhan oleh Israel.
Tiga Putranya Tewas Dibunuh Israel
Awal tahun ini, serangan Israel menewaskan tiga putranya di Gaza utara. Serangan Israel di Gaza utara telah menewaskan tiga putra pemimpin Hamas Ismail Haniyeh saat Israel terus membombardir daerah kantong yang terkepung itu pada hari raya Idul Fitri.
Dalam wawancara dengan Al Jazeera Arabic, Haniyeh mengonfirmasi pembunuhan anak-anaknya Hazem, Amir dan Mohammad beserta sejumlah cucunya.
Kantor berita Shehab melaporkan tiga cucu pemimpin Hamas tewas dalam serangan itu.
Haniyeh mengatakan mereka menjadi sasaran saat mengunjungi kerabat untuk merayakan Idul Fitri di kamp pengungsi Shati.
"Melalui darah para martir dan rasa sakit para korban luka, kita menciptakan harapan, kita menciptakan masa depan, kita menciptakan kemerdekaan dan kebebasan bagi rakyat dan negara kita," tegas dia, seraya menambahkan sekitar 60 anggota keluarganya, termasuk keponakan, telah tewas sejak dimulainya perang.
Pemimpin politik Hamas, yang bermarkas di negara Teluk Qatar itu mengecam apa yang ia gambarkan sebagai kebrutalan Israel di Gaza.
Dia menekankan para pemimpin Palestina tidak akan mundur jika keluarga dan rumah mereka menjadi sasaran.
"Tidak diragukan lagi bahwa musuh kriminal ini didorong oleh semangat balas dendam dan semangat pembunuhan dan pertumpahan darah, dan tidak mematuhi standar atau hukum apa pun," tegas Haniyeh.
"Kami telah melihatnya melanggar segalanya di tanah Gaza. Ada perang pembersihan etnis dan genosida. Ada pengungsian massal."
Haniyeh mengatakan serangan terhadap keluarganya adalah bukti "kegagalan" Israel karena terus menghadapi pejuang Palestina di Gaza.
Dia menambahkan pembunuhan tersebut tidak akan mengubah posisi Hamas dalam perundingan gencatan senjata tidak langsung yang sedang berlangsung.
Dia menekankan Hamas tidak akan menarik tuntutannya, yang mencakup gencatan senjata permanen dan pengembalian warga Palestina yang mengungsi ke rumah mereka.
"Jika mereka berpikir bahwa menargetkan anak-anak saya di puncak pembicaraan ini sebelum tanggapan gerakan (Hamas) diajukan akan menyebabkan Hamas mengubah posisinya, mereka sedang berkhayal," ujar Haniyeh, merujuk pada Israel.
"Darah anak-anak saya tidak lebih berharga daripada darah anak-anak rakyat Palestina... Semua martir Palestina adalah anak-anak saya."
(sya)